Sementara dunia khawatir serangan Rusia ke Ukraina pecah menjadi perang besar, lelaki Tiongkok sibuk mengagumi pesona perempuan Ukraina.
“Saya siap menampung gadis-gadis Ukraina yang kehilangan rumah mereka,” tulis seseorang dengan nama pengguna Niruomeixiongjiubiexiong di Weibo. Postingannya diunggah pada 24 Februari, tak lama setelah Rusia melancarkan operasi militer ke Ukraina. “Diprioritaskan yang masih muda, cantik, sehat dan belum menikah. Perang memang kejam, tapi dunia ini masih dipenuhi cinta.”
Profil akun tersebut telah dihapus dari Weibo menyusul penindakan keras terhadap lelucon tentang perang.
Meski hanya segelintir yang membuat unggahan semacam itu, para lelaki Tiongkok sudah lama tersihir oleh “kecantikan perempuan Ukraina”. Bahkan ada yang mengiklankan ucapan selamat ulang tahun langsung dari perempuan Ukraina yang mengenakan kostum kelinci seksi di marketplace populer macam Taobao.
Lelaki Rusia Pavel Stepanets meluncurkan layanan perjodohan Meilishka pada 2017. Dengan bergabung menjadi anggota, para jomblo di Tiongkok bisa mencari calon istri idaman yang tinggal di Eropa Timur. Mereka cukup membayar kira-kira 6.700 hingga 80.000 yuan (Rp15-181 juta) untuk berkenalan dan bertemu dengan perempuan Rusia, Ukraina dan Belarusia. Semakin cantik dan muda para perempuannya, semakin mahal biaya perjodohannya — apalagi kalau mereka mengerti bahasa Mandarin. Dari 70 lelaki yang menjadi anggota klub, sudah ada delapan hingga sembilan pasangan yang menikah berkat perjodohan tersebut. Tak semua yang dicomblangkan berakhir di pelaminan.
Menurut Pavel, minat terhadap perempuan Ukraina melonjak drastis selama perang. Yang biasanya mereka hanya menerima lima pesan sehari mendadak naik menjadi 10. “Klien kami sadar perempuan Ukraina sedang bersedih hati dan menganggap Tiongkok sebagai tempat yang aman. Mereka berpikir para perempuan ini bersedia dinikahi lelaki Tiongkok,” katanya kepada VICE World News.
Namun, rupanya perempuan Ukraina tak hanya memikat lelaki Tiongkok saja. Bisnis perjodohan online semacam ini juga berkembang pesat di negara-negara Barat. Mereka dipandang lemah lembut, penurut, cantik dan siap menikah dengan lelaki mana pun demi keluar dari negaranya yang dilanda perang dan kesulitan ekonomi.
Bagi para lelaki Tiongkok, ada kebanggaan tersendiri jika mereka berhasil mempersunting perempuan bule berambut pirang. Mei Aisi, misalnya, mendadak tenar usai menikahi gadis asal Ukraina yang 12 tahun lebih muda darinya. Pernikahan mereka menjadi pemberitaan nasional pada 2014. Banyak lelaki yang bermimpi memiliki apa yang dimiliki Mei.
Mei rutin memamerkan keseharian bersama sang istri di Ukraina kepada 1,6 juta pengikutnya di Douyin, platform berbagi video mirip TikTok. Kebanyakan videonya fokus pada istri bulenya yang asyik menari, berenang dan berpose bak model. Respons netizen yang iri membanjiri kolom komentar.
Pavel mengatakan, lelaki Tiongkok menilai perempuan kelahiran Eropa Timur tidak ‘matre’ seperti perempuan lokal. Lalu ada keinginan untuk ‘memperbaiki keturunan’, sehingga perempuan berkulit putih dengan rambut pirang dan mata biru terlihat lebih menarik.
“Perempuan Ukraina disebut-sebut menjadi yang tercantik di seluruh dunia,” tuturnya. “Semua orang sudah tahu ini.”
Influencer Ukraina bernama Lisa pernah tinggal di Tiongkok selama tujuh tahun. Dia sering membuat konten dengan tagar #UkrainianBeauty di Douyin. Lisa sama sekali tak tersinggung dengan istilah tersebut. Begitu banyak lelaki memintanya untuk memperkenalkan mereka kepada perempuan Ukraina.
“Sangat lucu melihatnya. Gimana caranya cari pacar asal-asalan?” ujar perempuan 26 tahun itu. “Saya tidak menganggapnya buruk. Hanya saja agak geli melihat mereka cukup naif.”
Banyak laki-laki Tiongkok mengeluh sulit menemukan tambatan hati di dalam negeri. Hal ini sebagian karena jomplangnya rasio gender antara laki-laki dan perempuan. Kebijakan satu anak yang lebih mendambakan anak laki-laki telah menyebabkan para ibu menggugurkan janin mereka yang berjenis kelamin perempuan. Di sisi lain, perempuan Tiongkok semakin terdidik dan mandiri secara finansial dewasa ini, sehingga mereka ogah menjerumuskan diri dalam pernikahan yang tidak bahagia.
“Secara demografis, ada jutaan lelaki Tiongkok yang sulit mendapat pasangan lokal karena kebijakan satu anak dan budaya yang lebih menyukai anak laki-laki,” terang Pan Wang, dosen Studi Asia dan Tiongkok di University of New South Wales.
“Pada saat yang sama, rasio jenis kelamin yang timpang di Ukraina (lebih banyak perempuan daripada laki-laki) mendorong perempuan mencari suami di luar negeri atau menikah dengan anggota kelompok masyarakat yang berbeda darinya.”
Ironisnya, lelaki Tiongkok yang menikahi perempuan asing selain kulit putih tak diistimewakan seperti rekan-rekannya yang punya istri bule. Sementara menjalin hubungan dengan perempuan Kaukasia dianggap sebagai suatu kesuksesan, lelaki dipandang miskin jika menikahi perempuan lokal atau sesama Asia. Selama perempuannya berambut pirang atau berkulit putih, status ekonomi mereka menjadi nomor sekian.
Tak sedikit perempuan Tiongkok yang mengecam lelucon seksis tersebut. Dalam video yang diunggah pekan lalu, pelajar asal Tiongkok di Ukraina menekankan candaan semacam ini semakin memperburuk sentimen anti-Cina.
Platform media sosial, seperti Weibo, Douyin dan WeChat, telah menghapus konten seputar perempuan Ukraina. Media pemerintah mengklaim hanya segelintir yang membuat postingan vulgar, sedangkan sisanya bernada anti-Cina.
“Ini menunjukkan betapa rakyat Tiongkok lebih khawatir reputasinya tercoreng karena lelucon ini, daripada menganggap postingannya ofensif dan diskriminatif terhadap perempuan Ukraina,” tandas Elena Barabantseva, akademisi yang mendalami obsesi Tiongkok terhadap perempuan Ukraina di University of Manchester.
Elena mengutarakan, lelaki Tiongkok mulai membuat lelucon tentang “kecantikan Ukraina” pada 2014, ketika terjadi konflik di Donbas, wilayah yang dikuasai kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina timur. Padahal aslinya, pasangan Tionghoa-Ukraina masih langka di Tiongkok. Publik penasaran dengan hubungan mereka karena terlihat lebih menonjol.
Beijing enggan mengutuk invasi Rusia dan justru menyalahkan blok Barat yang dipimpin AS sebagai dalang konflik. Sementara itu, wacana seputar konflik Rusia-Ukraina yang beredar di kalangan netizen Tiongkok didominasi sentimen pro-Rusia. Mereka-mereka yang mendukung perdamaian di Ukraina memilih bungkam.
Influencer Ukraina di Tiongkok, kebanyakan istri lelaki Tiongkok, menjadi satu-satunya yang mengangkat perspektif lain. Mereka memuji keberanian rakyat Ukraina, menceritakan betapa sulitnya mengetahui keluarga mereka terjebak perang dan menentang invasi Rusia.
Lisa sama sekali tak menyangka akan menerima komentar penuh kebencian di akun Douyin-nya. Pesan-pesan berbunyi, “Semoga kamu cepat mati” dan “Cepatlah pulang ke Ukraina dan mati bersama orang-orangmu”, terus berdatangan—bahkan sebelum dia mulai membuat postingan tentang perang.
Komentar semacam ini berbeda 180 derajat dari perlakuan yang dulu dia terima sebelum pindah ke Kanada. Namun, itu tidak mengendurkan semangatnya untuk terus bersuara tentang konflik yang merugikan rakyat kedua negara.
“Saya tidak peduli kalau mereka berkata jahat kepadaku. Saya hanya ingin orang-orang melihat kebenarannya, dan apa yang sebenarnya terjadi di sana,” simpulnya.
Follow Viola Zhou di Twitter, dan Koh Ewe di Twitter dan Instagram.