Umar Para lahir dan besar di Kashmir, wilayah sengketa India dan Pakistan yang dijaga ketat pasukan militer. Bagi lelaki berusia 22 tahun itu, yang selalu hidup dalam kecemasan akibat suara tembakan dan sirene jam malam, merantau ke ibu kota New Delhi adalah kesempatan emas untuk memperbaiki nasib. Harapannya, ia bisa menjadi fotografer profesional di sana.
Apa yang dicita-citakan olehnya telah terwujud, tapi kenyataan tak seindah yang ia bayangkan. Setelah diterima menjadi fotografer setahun lalu, Umar sering kali harus bekerja hingga 13 jam selama 3-4 hari berturut-turut. Tugasnya tak jelas — kadang disuruh mengabadikan pesta pernikahan, kadang juga mesti memfoto langit. Itu pun dia mendapat upah yang sama, tak peduli seberapa berat sesi foto yang dihadapinya.
Tenaga Umar dikuras habis-habisan, namun ia belum menyadari lingkungan kerjanya tidak sehat. Barulah setelah berat badannya turun 20 kilo, Umar terbuka matanya bahwa selama ini, dia dituntut memikul beban kerja tinggi dengan upah yang tak sepadan. “Saya baru sadar itu contoh klasik eksploitasi tenaga kerja setelah saya keluar setahun kemudian,” tuturnya. “Sejak menjadi fotografer lepas, saya menerima 10.000 Rupee (Rp1,8 juta) untuk satu hari acara pernikahan. Dulu, saya menerima 25.000 (Rp4,6 juta) per bulan untuk berbagai macam pemotretan.”
Hal ini terjadi jauh sebelum “quiet quitting” ngetren di kalangan generasi muda. Pertama kali diciptakan sekitar tahun 2009, konsep tersebut mirip gerakan Tang Ping asal Tiongkok yang menentang budaya kerja berlebihan dan pasar kerja kompetitif. Alih-alih stres atau memilih berhenti kerja karena sudah muak dengan beban kerja yang tidak realistis, quiet quitting mengajak orang untuk bekerja sesuai porsinya.
Konsep ini mulai viral berkat video unggahan pengguna TikTok @zkchillin (sekarang berubah menjadi @zaidleppelin) pada Juli lalu. Dengan menetapkan batasan, seperti tidak menyanggupi permintaan bekerja di akhir pekan atau melakukan pekerjaan ekstra tanpa bayaran lebih, kamu dijamin tak akan mengalami yang namanya burnout. Quiet quitting memprioritaskan kesehatan mental pekerja, serta menciptakan keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi. Videonya kini telah ditonton lebih dari 4 juta kali. Andai saja Umar memahami batasannya lebih awal, ia mungkin tak perlu sampai mengorbankan kesehatan demi memenuhi kemauan bos.
Konsep ini berbanding terbalik dengan budaya “hustle” — keduanya tampak menjadi pembeda utama antara Gen-Z dan tenaga kerja lainnya yang lebih tua. Sebelum meningkatnya kesadaran akan pentingnya lingkungan kerja sehat, telah tertanam kuat dalam pikiran kita untuk mencintai pekerjaan, meski gajinya kecil, wajib lembur tanpa kompensasi dan dipimpin bos yang tak memedulikan kesejahteraan pegawainya.
CEO sebuah startup baru-baru ini mengatakan, para fresh graduate tidak boleh gampang mengeluh dan harus siap bekerja 18 jam sehari. Dalam postingan LinkedIn yang kini telah dihapus, seorang pemimpin perusahaan dengan bangga memamerkan triknya menelepon calon kandidat larut malam untuk melihat kesediaan mereka bekerja lembur, dan menelepon pagi-pagi sekali untuk melihat apakah mereka bisa bangun pagi sebagai bagian dari wawancara kerja.
Psikolog Jasleen Kaur Sachdev mengungkapkan gagasan kerja berlebihan kerap berkaitan dengan narasi yang diajarkan kepada kita sejak kecil — bahwa hanya pekerja keras yang mampu meraih kesuksesan. Karena alasan ini jugalah pelajar kerap memaksakan diri mengambil posisi magang dan kegiatan ekstrakurikuler yang tidak sesuai minat mereka semata-mata untuk menambah pengalaman, agar mendapat peluang kerja yang lebih besar di kemudian hari.
“Ada juga gagasan kerja keras berarti mendapat lebih banyak pekerjaan, sehingga quiet quitting perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas,” imbuhnya. “Jika seluruh hidup kita hanya untuk mengejar karier, kita mungkin tak akan menyadari telah bekerja lebih dari yang semestinya. Kita membutuhkan panutan yang lebih baik dan menemukan kesenangan di luar pekerjaan.”
Menurut Sachdev, untuk melihat perlu tidaknya kamu melakukan quiet quitting, kamu bisa memikirkan apakah selama ini kamu masih punya waktu untuk menikmati hidup dan menekuni hal-hal di luar urusan pekerjaan. Atau jangan-jangan, kamu selalu pulang dalam keadaan lelah sampai-sampai tidak sempat membersihkan badan sebelum tidur?
“Dalam kasus seperti itu, kamu harus mengevaluasi ulang hari-harimu, batasanmu dan perlahan-lahan melepaskan diri dari aspek pekerjaan di luar skala gajimu,” terangnya. “Kamu perlu mengajak atasan ngobrol tentang batasan-batasan yang perlu diterapkan. Jika kamu keburu takut melakukan ini, maka pekerjaanmu itu enggak worth it.”
Lizanne Dsouza, yang menjalankan agen HR dan perekrutan, menekankan kita perlu meminta penjelasan seputar deskripsi pekerjaan sebelum menandatangani kontrak. Dengan begini, kita bisa memiliki pegangan yang lebih kuat saat mendiskusikan batasan dengan perusahaan.
Selain itu, penting juga bagi para perekrut untuk memahami anak muda kini memiliki motivasi yang berbeda saat mencari pekerjaan.
“Orang tua kita bertahan di perusahaan yang sama hingga puluhan tahun, terkadang bahkan memulai dan pensiun untuk pekerjaan yang sama. Mereka melakukannya untuk membangun kehidupan yang mapan,” ujarnya. “Tapi, generasi sekarang tidak menginginkan itu karena mereka mudah mengasah keterampilan secara gratis. Mereka bekerja untuk dihargai, memperbaiki kualitas hidup dan mereka tidak akan berkompromi.”
Bagi Dsouza, perusahaan sendirilah yang akan dirugikan apabila berpegang teguh pada budaya kerja tidak sehat, serta memperlakukan karyawan seolah-olah mereka bukan manusia.
Follow Arman di Twitter dan Instagram.