Berita  

Panduan Memahami NFT, Tren Koleksi Konten Digital Dibayar dengan Mata Uang Kripto

panduan-memahami-nft,-tren-koleksi-konten-digital-dibayar-dengan-mata-uang-kripto

Seiring dengan meroketnya nilai aset berbagai mata uang kripto, selebritas macam Lindsay Lohan dan Logan Paul menciptakan konten digital bernama non-fungible token (NFT) untuk dijual dan dikoleksi penggemar. Kontennya bisa dalam format JPEG, GIF, bahkan twit dan MP3. Pembeli akan menerima token Ethereum (semacam nomor seri) sebagai bukti kepemilikan. Sejak awal 2021, NFT merupakan tren yang terus membesar, rutin didiskusikan netizen berbagai negara.

Pendek kata, kalian membeli “sertifikat” kepemilikan sebuah benda digital yang sebenarnya tak perlu disimpan (toh, kalau mau berlama-lama menonton file format JPEG/PNG, siapapun cukup mengklik save as di ponsel dan komputernya). Kepemilikan ini lebih bernilai simbolis, alih-alih memiliki sesuatu secara riil. Tapi berbeda dari sekadar dukungan bagi kreator lewat gofundme, NFT bisa dijual lagi. Menurut para peminat, nilai NFT bisa naik seiring waktu seperti karya seni arus utama. Sebab, jumlah NFT secara alamiah terbatas.


Dalam tiga bulan terakhir, tak sedikit orang yang menghabiskan jutaan dolar untuk membeli file NFT. Situs berita spesialis isu bitcoin, CoinDesk, melansir bahwa sejak 2017, netizen berbagai negara telah membelanjakan US$174 juta (setara Rp2,1 triliun) untuk bermacam NFT.

Seniman jadi yang paling bersemangat memanfaatkan tren bisnis digital ini untuk menjual karya mereka. Daniella Attfield, seniman yang tinggal di Afrika Selatan, menjual ilustrasi di platform NFT bernama SuperRare. Dia sudah berurusan dengan NFT sejak 2018, tapi baru fokus berjualan mulai Juli tahun lalu. Daniella sekarang mengandalkan NFT sebagai penghasilan utamanya.

“Karyaku memiliki riwayat yang tercatat pada blockchain, jadi bisa dibuktikan keasliannya. Pembeli pun merasa mereka telah mendukung seniman,” ujarnya. “Permintaan terus meningkat seiring dengan bertambahnya pengguna di situs tersebut.”

Orang-orang terkenal, seperti investor Silicon Valley Mark Cuban, ikut berjualan NFT dengan harga fantastis—bisa melebihi US$81.000 atau setara Rp1,1 miliar. Sementara itu, kisaran harga karya seni biasanya sampai ratusan ribu dolar. Co-founder Twitter, Jack Dorsey, bahkan menjual twit pertamanya dalam wujud NFT untuk lelang amal, laku hingga US$2,5 juta.

Rekor lain pecah pada 8 Februari 2021, ketika dua pemain video game membeli sepetak “lahan” dalam game Axie Infinity seharga US$1,5 juta (Rp21 miliar) dalam mata uang kripto. Untuk seniman yang kurang dikenal, mereka mematok harga beberapa dolar saja.

Pembaca yang tidak familiar dengan NFT pasti keheranan melihat orang menghamburkan uangnya, untuk konten internet yang bisa disimpan secara cuma-cuma. Namun, bagi ribuan pembeli token unik, mereka melakukan itu untuk mendukung seniman dan membuktikan kepemilikan. Ilustrator Alejandra Her dari Venezuela mengatakan, aspek blockchain menumbuhkan rasa kepemilikan yang lebih kuat atas aset tak berwujud.

“Orang bisa saja memfoto sebuah karya di museum dan mencetaknya, tapi mereka sadar tidak dapat memiliki karya itu. Sama halnya dengan NFT,” tuturnya. “Saya rasa NFT-ku dibeli oleh berbagai jenis kolektor. Ada yang ingin menjualnya lagi, ada yang beli karena suka, dan ada juga seniman yang ingin membantu satu sama lain.”

Pengguna Ethereum membuka gambar NFT dalam koleksi mereka dengan dompet kripto khusus, jika tidak, transaksi blockchain-nya berfungsi seperti struk pembayaran untuk melihat gambar menggunakan platform web macam OpenSea atau Rarible.

SuperRare (platform favorit Soulja Boy), Rarible dan Nifty Gateway hanyalah segelintir dari setengah lusin platform populer yang membantu seseorang menciptakan atau menjual NFT. Platform sejenis ini terkadang memiliki sistem built-in yang memungkinkan seniman untuk mengunggah file audio atau visual mereka dan membuat token yang sesuai dalam beberapa klik saja.

Banyak seniman NFT yang sukses dan menghasilkan jutaan dolar lewat koleksi digital. Mike Winkelmann, misalnya, meraup US3,5 juta (Rp50 miliar) pada Nifty Gateway. Menurut postingan blog Gemini, perusahaan induk Nifty Gateway, platform itu telah mengalami pertumbuhan transaksi 50 persen dari bulan ke bulan sejak Maret 2020.

Masha Vyazemsky selaku direktur komunikasi startup Rarible membeberkan, sebanyak 6.482 pengguna telah melakukan transaksi NFT sebesar US$5.668.986 (senilaiRp81 miliar) hanya dalam sebulan terakhir. Filenya tak hanya berupa gambar visual, tetapi juga musik dan video.

Ini bukanlah praktik jual beli yang murah. Pengguna perlu membayar biaya transaksi Ethereum untuk menciptakan dan mentransfer NFT. Bagi seniman baru seperti Daniella, biaya transaksi ini memakan sekitar 10 persen dari pendapatan bulanannya. Dia melihatnya sebagai ongkos bisnis yang membantunya menjangkau pembeli internasional.

“Konsep transaksi NFT memang paling bagus buat edisi tunggal. Yang paling sulit kalau saya bikin beberapa edisi sekaligus, karena harga karya seni jadi sama dengan gas [biaya transaksi]. Rasanya tidak sepadan,” dia menerangkan. “Saya rajin berinteraksi dengan pengikut di Twitter dan berusaha meningkatkan kualitas ilustrasiku.”

Jake Brukhman, co-founder Coinfund sekaligus investor Rarible, mengakui biaya transaksi yang tinggi—didorong oleh bull market yang lebih luas—sebagai tantangan terbesar di sektor ini.

“Opsinya adalah beralih ke solusi lapisan kedua, seperti Matic atau Optimism. [Kedua platform ini] baru diluncurkan dan masih diuji coba dalam versi beta,” kata Brukhman. “Itu artinya pasar semakin terfragmentasi di antara dua solusi ini. Sebenarnya beralih di antara keduanya lebih mahal. Dua kali lipat biaya transaksi.”

Dia menambahkan bahwa kreator dan pemegang NFT yang paham teknologi kemungkinan bisa mentransfer karya mereka ke blockchain selain Ethereum tahun depan. Dengan demikian, seniman macam Alejandra masih harus membayar “gas”, julukan bagi biaya transaksi pembuatan NFT lewat sistem blockhain.

“Saya menghabiskan US$200 (Rp2,9 juta) untuk gas dalam 30 hari terakhir. Sebelum Desember lalu, saya hanya membayar US$50 (Rp720 ribu) per bulan,” terang Alejandra, menambahkan penjualan NFT masih mewakili 80 persen pendapatan bulanannya. “Saya meluangkan waktu memproduksi serangkaian karya seni baru karena harga gas yang tinggi. Saya mencetak lebih sedikit, tapi beban kerjanya tetap sama.”

Problem lain yang kini menghantui adalah soal batasan kreatif NFT dan maraknya tudingan plagiarisme. NFT, seperti konten lain yang lahir di internet, memiliki sifat kolase dan pastiche. Banyak orang terbiasa melahirkan konten baru, meminjam berbagai referensi lalu mencampurkannya jadi satu. Debat antara pendukung seniman Indonesia Ardneks dan artis NFT Twisted Vacancy merupakan salah satu contoh kalau NFT tak bebas dari kritik sesama pegiat seni.

Pencurian NFT oleh hacker juga dilaporkan sudah terjadi pada 14 Maret 2021. Beberapa kolektor di Nifty Gateway mengalami pencurian itu, lantaran tidak menerapkan sistem two-step verification untuk password-nya. Belum lagi kritik dari pengamat IT, karena pembuatan satu NFT (sering disebut ‘mint’) menyedot kebutuhan energi yang setara pemakaian listrik empat hari berturut-turut. Artinya, praktik NFT masih belum ramah lingkungan.

Dengan berbagai hal yang masih memicu kontroversi dan diskusi, termasuk dimensi etik dari komersialisasi NFT, tak bisa dipungkiri kalau tren ini bertahan lama yang untung adalah pelaku industri kreatif. Mereka tak harus mengandalkan perantara pasar arus utama, seperti museum atau makelar seni, dan bisa langsung menjangkau konsumen.

Menurut Brukhman, NFT pun tak sebatas seni cetak digital. “Jangan hanya berpaku pada karya seni. NFT berlaku untuk semua konten digital, bukan cuma karya seni. Musik, model 3D, peta dan font kaligrafi [juga termasuk NFT],” tegasnya.

NFT juga bisa digunakan untuk kampanye sosial, seperti yang dilakukan Calvin Liu. Investor itu membeli NFT dari influencer fiktif Miquela untuk menggalang dana sebesar US$82.361 (setara Rp1,2 miliar). Ketika seseorang memasarkan NFT yang bersifat personal, Calvin mengutarakan hal itu bisa menciptakan semacam “perjanjian informal” bahwa seniman akan terus menghasilkan karya yang dinikmati penggemar.

“[NFT] itu sedang dipajang melalui galeri digital Crypto Voxels,” kata Liu. “Sudah banyak seniman dan desainer yang terjun ke platform ini.”