Pesawat yang ditumpangi 132 orang menukik tajam sebelum menabrak kawasan pegunungan Provinsi Guangxi di Tiongkok selatan, menjadikannya kecelakaan pesawat terburuk di negara itu sepanjang satu dekade terakhir.
Kemungkinan adanya korban selamat sangat kecil, mengingat posisi jatuh pesawat sangat tidak biasa. Data dan rekaman detik-detik pesawat jatuh telah mengejutkan pakar penerbangan hingga mantan pilot.
“Dari sudut pandang pilot sekali pun, kecelakaan ini sangat membingungkan—sulit untuk membayangkan bagaimana itu bisa terjadi,” terang Minoru Uchida, mantan kapten Boeing 767 milik Japan Airlines, saat dihubungi VICE World News.
“Kalau pun mesinnya mengalami masalah, pesawat seharusnya masih bisa terangkat berkat sayap,” lanjut lelaki yang kini mengajar Manajemen Krisis Teknologi Penerbangan di Chiba Institute of Science.
Pesawat milik China Eastern Airlines itu berjenis Boeing 737-800 NG, yang menurut data perusahaan penerbangan Cirium, menyumbang sekitar 17 persen dari 25.000 pesawat terbang di seluruh dunia.
Tiongkok dikenal sebagai negara dengan keselamatan penerbangan terbaik di dunia. Insiden pesawat jatuh terakhir kali terjadi pada 2004, ketika Bombardier CRJ-200 jatuh tak lama setelah lepas landas di Mongolia Dalam. Kecelakaan tersebut menewaskan seluruh penumpang yang totalnya 53 orang.
Kotak hitam yang merekam data penerbangan Boeing 737-800 belum ditemukan, tapi para ahli telah berspekulasi mengenai penyebab jatuhnya pesawat.
Hiroyuki Kobayashi sudah 42 tahun berpengalaman di dunia penerbangan. Mantan pilot Japan Airlines ini sekarang berprofesi sebagai konsultan keselamatan penerbangan. Dia menduga pesawat jatuh karena masalah mekanis, turbulensi ekstrem, atau bahkan percobaan bunuh diri.
Uchida memperhatikan, bahwa di dalam video, tampaknya pesawat sudah tidak punya sayap saat terjatuh. Dia curiga sayap pesawat patah akibat menabrak sesuatu, atau terkoyak oleh ledakan hebat.
“Percobaan terdahulu telah menunjukkan sayap baru bisa patah jika bengkok setidaknya 70 derajat. Tapi itu pun sangat sulit dilakukan,” lanjutnya.
Sementara itu, pakar penerbangan Hiroshi Sugie membandingkan insiden Senin kemarin dengan kecelakaan Pesawat Alaska Airlines 261, yang jatuh secara vertikal di Samudra Pasifik pada 31 Januari 2000. Kecelakaan yang disebabkan oleh macetnya stabilizer horizontal menelan 88 korban jiwa.
Boeing 737-800 NG merupakan salah satu model pesawat berseri 737 paling andal selama hampir 30 tahun beroperasi. Pesawat ini berbeda dari Boeing 737 MAX, yang terpaksa dihentikan operasionalnya di seluruh dunia usai menewaskan 346 jiwa dalam dua kecelakaan yang berjarak kurang dari lima bulan. Insiden pertama terjadi di Indonesia pada 2018, sedangkan yang kedua di Etiopia pada 2019. Model pesawat itu baru beroperasi lagi setelah disertifikasi ulang.
Pihak berwenang Tiongkok telah berjanji menyelidiki penyebab kecelakaannya secara menyeluruh. Tim SAR hanya menemukan KTP, ponsel dan barang bawaan penumpang sejak melakukan pencarian di lokasi kejadian pada Selasa.
Sugie pesimis tim SAR Tiongkok akan menemukan jasad korban, mengingat tabrakannya yang sangat hebat.
“Agak mustahil menemukan korban selamat dalam keadaan utuh jika pesawatnya jatuh dari ketinggian yang ekstrem dengan kecepatan sebesar itu—butuh setidaknya beberapa hari untuk menemukan jasad korban,” ujarnya.
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.