Liputa4.com. Padang Lawas
Di akhir Ramadhan ini, semua terlihat buru-buru. Karena hari ini menjadi hari terakhir Ramadhan. Sepeda motor, becak, dan mobil telah berlalu lalang sejak tadi. Hari ini akan menjadi singkat bagi sebagian mereka yang telah beraktivitas sejak tadi. Jangankan fajar indah yang terbit dari ufuk timur, suara adzan yang saut menyahut pun diabaikan oleh sebagian mereka, dan aku juga tentunya. Bukan kami tidak dengar, hanya saja, ya, begitu. Kami sudah sibuk jauh sebelum adzan bergema.
Aku merasa hari ini pasar terlalu cepat dipadati para pedagang. Aku pun harus hadir di pasar sebelum subuh tadi. Jauh setelah imam mesjid menutup shalat berjemaah di mesjid, pekerjaanku dan beberapa kawan lain sudah hampir selesai, dan sudah bisa untuk istirahat sebentar.
“Ayok, ke mesjid kita dulu!” Ajak Buyung, teman kerjaku.
“Ayok, masih ada waktu ini untuk shalat.” menyahut ajakan temanku.
Aku berjalan menenteng plastik hitam tempat kain shalatku, sambil menjawab sapaan para pedagang yang sudah sangat sibuk menata jualannya. Perjalanan kami ke masjid sangat singkat, karena hanya seberang jalan.
“Dimana kain shalatmu Yung, kau hanya pakai celana pendek itu?” Tanyaku kepada temanku sesampainya kami di kamar mandi mesjid.
“Aku hanya ingin buang air besar saja, tak ada aku bilang shalat.” Jawab kawanku.
“Bah, buang air kan bisa di WC umum pasar, tidak harus ke mesjid.” Bantahku sambil masuk ke ruangan yang berisi banyak pintu WC.
“Harus bayar Rp. 2.000.” Jawab kawanku singkat.
Tulisan “Stop sendal atau sepatu” di pintu ruangan ini tercoreng dengan perbuatan kawanku yang sendalnya masuk, tentunya juga aku. Otomatis lantai kamar mandi ini jadi kotor. Aku pun memilih salah satu WC dan membuka pintunya.
“Tai!” Umpatku.
Aku membuka WC yang di dalamnya masih banyak kotoran. Tulisan “Siram sampai bersih” di dinding WC tercoreng dengan sangat mengenaskan oleh pengguna WC yang tidak cebok. Bisa-bisanya ada orang berak tak menyiram kotoran, padahal air banyak.
Aku masuk WC lain, untuk menggunakannya, sekalian ganti baju.
“Aku duluan Boy.” Izin kawanku sambil berlalu menuju pasar.
“Aku shalat dulu, Yung.” jawabku sambil berjalan ke dalam mesjid.
Aku kembali ke pasar, dan melihat sekelompok pedagang kue kering lebaran datang.
“Bagaimana hari ini harga yang kita buat?” Tanya seorang pedagang kue dari mereka.
“Dari jam 8-10 kita menjual kue dengan harga normal, dan hanya bisa ditawar seribu saja. Dari jam 10 sampai jam 2 siang, kita jual dengan harga modal. Diatas jam 2 siang, kita jual dengan harga agar habis.” Jawab dari abang berbaju kemeja rapi. Sepertinya abang itu jadi ketua kelompok penjual kue ini.
Pedagang dari beberapa daerah, baru sampai. Mereka telat karena jalan lintas yang mereka lalui semakin lama semakin cantik dengan lukisan tiga dimensi. Pemerintah di daerahku juga sepertinya sudah angkat tangan dengan lukisan-lukisan tiga dimensi itu. Buktinya, jalan lintas di daerahku baiknya terasa segitu-gitu saja, dan buruknya makin bertambah. Mereka hanya telat datang dari pembeli yang cepat datang. Mereka belum terlambat untuk ukuran pembeli yang cepat datang.
Matahari naik makin tinggi seiring para pembeli berangsur datang, sedang aku telah selesai dengan pekerjaanku pagi ini. Suara-suara khas pedagang sudah terdengar saat para pembeli berlewatan di depan dagangannya. Saat keliling pasar, aku melihat ibu dengan perhiasan dijari tangan, yang memberi tanda ibu ini sepertinya orang yang mapan dalam ekonomi. Ibu itu menyerahkan kembali tas kepada abang-abang pedagang.
“Bang.” Sapaku seramah mungkin kepada abang penjual tas itu.
“Eh, bang.” Balasan sapa abang pedagang tas itu kepadaku.
“Kenapa ibu tadi tak jadi beli tasnya, bang?” Tanyaku heran terhadap ibu yang aku anggap harusnya mampu membeli tas sekecil itu.
“O, itu bang. Ibu tadi kan mau beli tas kecil ini bang, harganya Rp. 50.000, bang. Nah, ibu itu protes semena-mena.” jawab abang itu.
“Kenapa pulak dia protes, bang?” Tanyaku semakin heran.
“Ibu tadi membandingkan harga tas saya dengan harga tas dijual beli online, bang. Katanya, tas itu di online shop harganya Rp. 40.000. Jadi, aku tawarkanlah sama ibu itu harga tasku Rp. 45.000, malah dia tambah protes, bang. Ibu itu bilang aku mau cepat naik haji makanya harga tasku mahal, bang. Ku jelaskan sama ibu itu bang “ibu belilah tasnya dionline dengan harga Rp. 40.000, terus ibu harus tambah ongkos kirimnya, minimal Rp. 15.000, jadi harga tas ibu sudah Rp. 55.000. Sedangkan aku jual sama ibu Rp. 50.000, saja. Kemudian barangnya ibu sudah bisa langsung pake saat ini dan untuk lebaran besok. Ibu pesanlah dionline ibu itu, paling cepat datang 10 hari ini bu, karena banyak jasa pengiriman barang libur hari raya juga.” setelah kujelaskan begitu, bang, ibu itu mengembalikan tasku dengan jeruk rasa kecut di wajahnya, bang.” Jawab abang pedagang tas itu panjang.
“Bahkan ku bilang bang, kadang banyak ibu-ibu atau orang lain itu hanya ingin pamer. Ketika ditanya oleh kawan-kawannya “Dimana ini dibeli?” Supaya terdengar dan terlihat keren, dia jawab “di online shop.” Sambung abang itu.
“Okelah bang, makin lama aku makin tidak mengerti apa yang abang bilang. Aku jalan-jalan lagi ya, bang” Jawabku. Sambil pamit. Aku memang tidak mengerti semua yang abang itu ucapkan. Sejak jawaban panjangnya tadi, aku hanya melihat-lihat tas sekolah mana yang cocok untuk anakku dirumah. Tas yang cocok untuk anakku sekolah itu banyak, tapi, sepertinya tidak cocok dengan kantongku.
Saat berjalan-jalan, banyak aku melihat penjual kain yang sedang tawar menawar harga dengan para pembeli. Para pembeli berharap harga itu bisa hidup, sedangkan pedagang sudah mematikan harganya. Sering terdengar keluhan para pedagang ketika pembeli membandingkan harga di pasar dengan online shop. “Pengeluaran kami banyak, bu. Saya belum punya mobil, jadi kalau saya berangkat ke pasar, kain saya ini menumpang dengan mobil orang lain. Belum lagi biaya bongkar muat barang. Kan, harga kami dengan toko online itu tidak jauh beda juga, bu. Wajarlah kami dapat untung Rp. 10.000-Rp. 30.000, atau bahkan lebih banyak dari itu, bu. Karena pengeluaran kami juga lebih banyak.” Kurang lebih begitu lah rasa yang disampaikan pedagang ketika pembeli membandingkan harga mereka dengan toko-toko online.
Sore telah tiba, tapi aku penasaran dengan sekelompok penjual kue kering tadi. Sambil berjalan-jalan di dalam pasar, aku pergi ke tempat mereka berjualan. Aku pilih tempat mereka jualan yang dijaga dua perempuan muda, cantik dan ramah.
“Wah, kue laku keras ini, berarti besok jadi lebaran, ya!” Sapaku kepada mereka.
“Lebaran akan tetap jadi walaupun kue kami tidak habis, bang.” Jawab perempuan berjilbab biru itu.
“Lesu bang rasanya jualan tahun ini. Penjualan terus menurun dari tahun-tahun sebelumnya.” Keluh perempuan berjilbab hitam itu.
“Kenapa begitu?” Tanyaku prihatin.
“Ya, begitulah, bang. Tak pandai pulak aku jelaskannya. Kebanyakan orang berkeinginan harga kue kami harus sesuai dengan yang dia mau. Yaudah, dari pada kuenya rusak, kami kasih saja dengan harga yang mereka mau. Sebagian lagi kami bonuskan. Biar sebagian mereka itu senang dengan meruginya kami.” keluh pedagang kue itu.
“Baiklah, tak bisa bantu saya mengatasinya itu. Bungkuskan kue ini satu kilo.” Mintaku sambil mengangkat kue nastar.
“Oke, bang.” Jawab perempuan itu singkat.
Sambil pedagang itu menimbang kuenya, aku merogoh kantongku.
“Berapa?” Tanyaku, khawatir uang dikantongku tak cukup.
“Abang bawa saja, gratis bang.” Jawab pedagang berjilbab hitam.
“Wah, ada pulak begini, ya” jawabku merasa bahagia diberi kue gratis. “Tapi, aku merasa tak enak ini.” Sambungku.
“Ya, abang anggap saja ini upah bongkar dan muat kue-kue kami.”
Jawab perempuan itu sambil tersenyum.
“Kembali kezaman dulu ya, barter ini.” Candaku kepada mereka, sambil aku berlalu dari kedai mereka.
“Abang anggap saja begitu.” Jawab salah satu diantara mereka.
Sepertinya, para pedagang di pasar ini sudah sangat kalah saing dengan para penjual di toko online. Entah apalah maksudnya itu. Aku mana faham. Tugasku adalah membongkar barang para pedagang di pagi hari, dan memuatnya di sore hari. (Sbn)
Berita dengan Judul: Padang Lawas Cerpen : Abu Bakar Siddiq Hasibuan Harga Pasar Online Di Pasar Tradisional pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : ALI SABBAN