Berita  

Orang Dewasa Juga Bisa Kena ADHD. Begini Pengalamanku Berjuang Menghadapinya

orang-dewasa-juga-bisa-kena-adhd.-begini-pengalamanku-berjuang-menghadapinya

Aku tidak langsung kerja setelah lulus dari jurusan film di awal pandemi dua tahun lalu. Bukan karena sulit mendapatkan pekerjaan, aku hanya belum merasa harus bekerja saat itu juga. Untuk mengisi waktu luang, aku pilih konsultasi ke psikiater dengan harapan bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Aku didiagnosis mengalami Adult Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) beberapa minggu setelah menjalani terapi. Aku benar-benar lega mendengarnya, karena itu berarti sifat dan kebiasaan yang kumiliki sejak kecil ada alasannya. Aku jadi paham kenapa selama ini aku merasa seperti telah menyia-nyiakan hidup dan potensi diri, serta alasanku tidak dapat memenuhi harapan orang terdekat.


Pengidap ADHD biasanya memiliki masalah kejiwaan lain, seperti gangguan kecemasan atau depresi. Aku pribadi kerap resah dan khawatir berlebihan ketika beranjak dewasa, yang tumpang tindih dengan kesulitan berkonsentrasi. Aku mulai merasakan ini sejak pindah ke India.

Aku kurang sreg dengan sekolah baruku karena cuma mementingkan kegiatan akademik. Aku jadi malas-malasan belajar, yang akhirnya memengaruhi nilai rapor. Aku bukannya tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas, tapi sebetulnya tidak ada hal menarik yang mampu memompa semangat belajarku.

Setiap kali mengadakan pertemuan dengan orang tua, guru selalu memujiku anak cerdas, tapi sayangnya “pemalas”. Aku ingin marah dicap seperti itu. Sumpah, aku bukan pemalas. Aku susah fokus karena belajar kurang menyenangkan untukku. Aku juga tidak betah duduk terlalu lama di satu tempat, atau sekadar menulis di buku.

Anak laki-laki tertawa lebar
Foto masa kecil Devansh Savernya

Begitu naik ke kelas 12, aku pindah ke sekolah lain yang mempunyai beragam kegiatan ekstrakurikuler. Aku dapat menekuni aktivitas di luar jam belajar, dan diberi kebebasan memilih mata pelajaran sesuai minat. Tak hanya itu saja, aku bersemangat datang ke sekolah karena bisa belajar seni dan ikut klub fotografi. Alhasil, nilai yang kuperoleh mengalami peningkatan.

Kebanyakan orang mengira ADHD hanya terjadi pada anak-anak, padahal orang dewasa bisa mengalami gejala serupa — kurang perhatian, hiperaktif dan impulsif. Orang yang sulit memusatkan perhatian cenderung mudah teralihkan pikirannya, tidak mampu fokus pada satu tugas, dan ceroboh. Gejala hiperaktif dan impulsif dapat ditandai dengan perilaku tidak bisa diam, mencerocos dan eker. Namun, ini hanya dianggap wajar pada anak-anak atau ABG. Jika orang dewasa bersikap seperti itu, mereka mungkin akan dianggap pemalas atau menyusahkan.

Faktanya, orang dewasa dapat mengidap ADHD, yang gejalanya berupa gampang gelisah, suasana hati mudah berubah dan kurang bisa memperhatikan hal-hal detail.

Saat mengerjakan sesuatu, aku acap kali susah menuntaskannya sampai beres. Contohnya, aku tidak bisa langsung melipat baju dan merapikannya di lemari setelah selesai mencuci baju. Aku juga akan meninggalkan apa yang sedang kukerjakan kalau aku merasa tidak mahir melakukannya. Ketidakmampuanku merampungkan pekerjaan lama-lama semakin tak terkendali. Hal paling sepele pun akan membuatku kewalahan karena menumpuk tidak kepegang.

Aku harus membuat keputusan sadar supaya tugasnya tidak terabaikan. Misalnya, aku tidak boleh menunda-nunda waktu untuk mengerjakan hal yang bisa diselesaikan kurang dari tiga menit. Aku akan beralih ke hal lain jika mulai merasakan dorongan untuk berhenti, atau menunda pekerjaan.

Aku tidak masalah minum obat karena yakin resep dokter tidak akan membuatku ketergantungan. Namun, pada saat yang sama, aku belajar memperbaiki kebiasaan, seperti menetapkan tenggat waktu, memasang alarm supaya tidak lupa, dan meminta bantuan teman serta atasan untuk memperingatkanku secara baik-baik ketika mereka melihatku menunda pekerjaan. Susah susah gampang melakukan semua ini, tapi aku mulai merasakan manfaatnya.

Laki-laki mengenakan kemeja merah muda dan selendang biru
Devansh Savernya didiagnosis mengalami ADHD dewasa

Punya support system yang mengharapkan hal terbaik untuk kita sangatlah penting. Aku awalnya tidak mendapatkan dukungan ini di lingkungan keluarga dan pertemanan, terutama karena mereka belum paham ADHD masalah yang nyata. Tapi secara perlahan-lahan, mereka pun sadar kondisi ini memengaruhi setiap aspek terkecil dalam hidupku.

Contohnya, aku sering lupa menutup pintu dan laci, sehingga sahabat yang tinggal satu kosan akan mengingatkanku untuk menutupnya. Aku cenderung merasa kewalahan bila banyak teman yang main ke kosan kami. Di saat-saat seperti itu, aku akan masuk ke kamar untuk menenangkan diri. Sahabatku sudah terbiasa dengan sikapku ini, jadi dia akan menanyakan keadaanku lewat SMS atau mengeceknya langsung ke kamar. Konsentrasiku gampang pecah ketika mendengar arahan atau ucapan orang, makanya aku akan memastikan tidak ada informasi yang terlewat kepada kolega setelahnya.

Masalahnya, aku mudah lupa membalas chat orang atau menjawab telepon, yang akhirnya berpengaruh pada hubungan pertemanan maupun romantis. Orang-orang mungkin mengira aku sengaja nyuekin mereka ketika tidak ada tanggapan dariku. Karena itu aku rajin kirim meme supaya mereka tidak salah sangka. Yang tersulit adalah meyakinkan pasangan kalau aku tidak mengabaikan mereka. Kecenderungan lupa ini sering membuatku merasa bersalah. Aku akan menunjukkan diriku benar-benar merindukan mereka saat menghubunginya lagi.

Belakangan ini, banyak orang mengklaim mereka punya ADHD dan mengeluh betapa menyebalkannya kondisi tersebut. Namun, aku yakin ada perbedaan tipis antara menormalkan dan mengglorifikasi ADHD. Sayangnya, generasi kita senang melakukan pilihan terakhir — mereka ngotot mana yang ADHD dan bukan. Perlu diingat istilah ADHD tergolong masih baru di masyarakat, sehingga butuh waktu sampai orang-orang memahami pengidap ADHD bukanlah “pemalas” dan semacamnya. Sama seperti sifat cermat tak melulu berarti kamu menderita OCD, ADHD memiliki banyak lapisan yang perlu dimengerti.

Jika pembaca sekalian merasakan hal-hal yang sama denganku, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi kepada ahlinya. Terlepas nanti dokter memberi diagnosis ADHD atau tidak, perasaan jauh lebih lega setelah mendengarkan penjelasan dari mereka.

Follow Arman di Twitter dan Instagram.