Pada malam 24 April 2022 di pinggiran Surabaya, sebanyak 15 bocah yang baru menginjak usia belasan menikmati permainan sepakbola layaknya remaja tanggung sepantaran. Satu hal saja yang membuat momen itu menjadi sangat unik: yang mereka tendang adalah bola api.
Pemandangan dari lapangan kosong kawasan Tubanan Indah itu ternyata rutin terjadi saban tahun, khususnya sepanjang bulan Ramadan. Lingkungan Tubanan dikeliling beberapa pesantren, dan para bocah itu merupakan anak-anak binaan ponpes yang mengelola kawasan berjuluk Kampung Dolanan.
Seperti dilaporkan Jawa Pos, permainan bola api ini lazim dilakukan sesudah tarawih. Mustofa Sam, selaku pengelola kampung dolanan, mengklaim anak-anak yang bermain bola api telah dilatih supaya tidak cedera meski menendang batok kelapa yang membara. Bola sepaknya sendiri dibuat dari batok kelapa yang telah dikupas, lalu direndam minyak tanah selama beberapa hari. Itu sebabnya api yang menyala cukup awet, bahkan tahan 15 menit disepak ke sana kemari.
“Api ini kan melambangkan emosi atau amarah. Dalam permainannya, seseorang harus belajar mengontrol bola api atau emosinya,” ujar Mustofa.
Permainan ekstrem sepakbola api tumbuh subur di berbagai kota Pulau Jawa. Ada sumber yang menyatakan bila olahraga ini mula-mula muncul pertama kali dari Nusa Tenggara Barat. Sebagian menyebut bila sepakbola api layak disebut permainan tradisional Cirebon. Yang jelas, ada benang merah dari para pemain sepakbola api, yakni rata-rata mereka berangkat dari tradisi santri. Selain itu, olahraga ekstrem ini akan berlangsung di momen penting bagi umat Muslim, entah itu ramadan, atau menjelang perayaan tahun baru Islam.
Di Cirebon, merujuk laporan Liputan6.com, pemain sepakbola api merupakan lambang tenaga sesuai ajaran Islam. Para santri di Madrasah Al-Hikaamus Salaafiyyah contohnya, sebelum menendang bola api telah dibekali doa-doa, tirakat, dan puasa sepanjang kurun tertentu. Itu alasan kaki para pemainnya hanya menghitam, seperti terkena jelaga, tanpa melepuh sama sekali.
Ritual pra-permainan serupa juga dapat ditemukan di di Pondok Pesantren Nurul Islam yang terletak di Kota Probolinggo, Jawa Timur, atau Pondok Pesantren Singo Ludiro di Sukoharjo, Jawa Tengah. Intinya, para santri yang memainkan sepakbola api menjadi manusia super selama beberapa menit.
KH Arwani Syaerozi, selaku pengasuh Madrasah Al-Hikaamus Salaafiyyah di Cirebon, mengklaim permainan ini bukanlah upaya pamer kesaktian santri. Sebaliknya, olahraga ekstrem tersebut hanyalah meniru upaya dakwah dengan menggandeng kearifan lokal, mengikuti jejak Wali Songo di Tanah Jawa.
“Ini merupakan ikhtiar penjagaan dakwah Islam sebagaimana dahulu dilakukan oleh para wali,” kata Arwani.