Berita  

Ojek Online Bisa Dimanfaatkan untuk Memangkas Polusi Udara Jakarta

ojek-online-bisa-dimanfaatkan-untuk-memangkas-polusi-udara-jakarta

Sejak 14 -20 Juni 2022, kualitas udara kota Jakarta secara berturut-turut berada pada kategori “tidak sehat” (unhealthy) menurut situs pemantau kualitas udara IQAir.com. Perburukan kualitas ditandai peningkatan konsentrasi partikulat halus (PM2.5) yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan, gangguan paru-paru, dan gangguan kardiovaskular.

Pada waktu yang hampir bersamaan, data indeks lalu-lintas milik perusahaan teknologi geo-lokalisasi, Tomtom, juga menunjukkan tingkat kemacetan rata-rata lalu-lintas Jakarta pada pagi dan sore (waktu pergi dan pulang kerja) sudah nyaris setara dengan periode yang sama pada 2019 (sebelum pandemi Covid-19).


Fakta mengungkapkan kemacetan yang memengaruhi konsumsi bahan bakar dan emisi kendaraan kerap menjadi salah satu sebab utama memburuknya kualitas udara di suatu tempat. Dua studi yang dilakukan terpisah oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2018 menemukan, besarnya proporsi pengguna mobil dan sepeda motor sebagai satu penyebab utama kemacetan di Jakarta. 

Semakin intensif kemacetan yang terjadi, semakin banyak perubahan kecepatan (percepatan dan perlambatan) yang dilakukan para oleh pengemudi yang terjebak situasi tersebut dan hal ini menyebabkan emisi yang terjadi semakin besar. Pemerintah memang perlu terus mendorong peralihan dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum sebagai solusi efektif mengurangi emisi sektor transportasi.

Demi memuluskan peralihan ini, pemerintah dapat memanfaatkan transportasi daring (online) seperti ojek online ataupun taksi online yang menjamur di ibu kota sejak 2014, seiring tingginya penggunaan telepon pintar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) .

Harmonisasi antara transportasi daring dengan angkutan umum adalah salah satu kunci untuk menurunkan kemacetan dan emisi di Jakarta.

Tiga strategi untuk transportasi daring

Moda transportasi daring bisa berkontribusi untuk menurunkan kemacetan dan emisi jika benar-benar dijadikan sebagai mitra angkutan umum.

Argumen ini dilandasi sejumlah studi. Misalnya, kajian dari tim peneliti Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Starvanger, Norwegia. Studi ini menyimpulkan bahwa transportasi daring dipakai para penggunanya sebagai feeder atau pengumpan ke dan dari angkutan TransJakarta dan kereta komuter Jabodetabek.

Studi tersebut juga diperkuat dengan survey dan studi oleh tim ETH Zurich di Jabodetabek pada tahun 2019. Riset ini menemukan bahwa porsi perjalanan jarak dekat mendominasi jenis perjalanan yang dilakukan dengan transportasi online, terutama pada interval jarak 1,5 km – 5 km.

Kajian ETH Zurich turut mendapati bahwa perjalanan dengan angkutan umum di Jabodetabek memiliki porsi mayoritas berupa perjalanan jarak jauh, terutama di atas 30 kilometer. Berbasis kajian-kajian di atas, ada tiga strategi terkait transportasi daring yang bisa lekas ditempuh untuk mendukung pengurangan kemacetan di Jakarta.

Pertama, Pemberlakuan kebijakan tarif progresif berdasarkan jarak. Artinya, tarif sangat murah pada kilometer awal, misalnya di bawah 5 kilometer, lalu naik secara progresif atau lebih dari proporsional berdasarkan kelas jarak, misalnya 5 – 10 kilometer, 10 – 15 kilometer dan seterusnya. Pengenaan tarif progresif ini bertujuan untuk merangsang warga untuk menggunakan transportasi online hanya untuk perjalanan jarak dekat. Contohnya seperti sebagai pengumpan dari/menuju terminal atau stasiun angkutan umum terdekat.

Pengutamaan pergerakan jarak pendek juga berpotensi mengurangi fenomena empty running (pergerakan kosong). Ini kerap terjadi saat pengemudi menjemput penumpang, ataupun saat pengemudi “terlempar” kembali ke daerah asalnya setelah mengantarkan penumpang ke suatu tempat yang sangat jauh.

Kedua, pemberlakuan pembedaan tarif berdasarkan keterisian, yaitu perjalanan pribadi (private ride) dan perjalanan berbagi (ride sharing) khusus bagi tranportasi online berbentuk mobil seperti Gocar atau Grabcar. Perjalanan berbagi (ride sharing) memungkinkan pengemudi untuk mengangkut beberapa penumpang yang berbeda dengan tujuan perjalanan yang searah.

Konsep perjalanan berbagi dapat diberlakukan dengan tarif per kilometer yang lebih murah dari perjalanan pribadi. Tujuannya untuk meningkatkan tingkat keterisian setiap mobil online demi efisiensi energi maupun ekonomi bagi pengemudi.

Konsep ini juga berpeluang mengurangi kepadatan jalan sehingga mengurangi kemacetan.

Screen Shot 2022-06-28 at 14.12.48.png
Peta jaringan layanan bus Transjakarta. Sumber: TransJakarta

Ketiga, menerapkan kedua skema tarif di atas melalui revisi peraturan-peraturan terkait seperti Keputusan Menteri Perhubungan No 348 Tahun 2019 tentang perhitungan tarif ojek online dan Peraturan Menteri Perhubungan 118/2018 tentang taksi online (angkutan sewa khusus), khususnya untuk wilayah DKI atau Jabodetabek.

Khusus wilayah tersebut, pemerintah dapat membentuk matriks tarif berdasarkan jarak dan pembedaan tipe pemakaian (pribadi atau berbagi) dengan pengenaan ongkos termurah bagi perjalanan berbagi dengan jarak perjalanan terpendek.

Strategi jangka panjang

Selain ketiga upaya jangka pendek di atas, pemerintah dapat memadukan transportasi daring dengan angkutan umum dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.

Misalnya, operasional transportasi daring dapat disesuaikan dengan jadwal keberangkatan atau kedatangan angkutan umum di halte, terminal, atau stasiun terkait. Ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi waktu perjalanan sekaligus biaya operasi transportasi daring.

Dengan kata lain, pengintegrasian angkutan umum seharusnya dilakukan tidak hanya dengan angkutan umum pengumpan, tapi juga dengan transportasi daring.

Tentu saja upaya ini membutuhkan komunikasi yang intens antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, operator transportasi umum, dan penyedia aplikasi transportasi online.


Alloysius Joko Purwanto adalah peneliti bidang ekonomi dan transportasi dari lembaga Economic Research Institute for ASEAN and East Asia

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.