Berita  

Ngobrol dengan Penyedia ‘Jasa Rental Pria’ asal Jogja yang Laris Dicurhati Anak Muda

ngobrol-dengan-penyedia-‘jasa-rental-pria’-asal-jogja-yang-laris-dicurhati-anak-muda

Di perjalanan pulangnya menuju Yogyakarta, Ray* bersedia ngobrol dengan VICE asal namanya disamarkan. Pemuda 22 tahun itu baru saja menghabiskan tiga hari di Kota Surabaya karena jasanya dipesan tiga perempuan berbeda. Hari pertama untuk menemani klien keliling kota sambil foto-foto. Hari kedua untuk staycation sambil dengerin curhatan klien. Hari ketiga untuk pura-pura jadi pacar yang dikenalin ke keluarga besar klien. “Jasa Rental Pria”, nama yang dipilih Ray untuk bisnis ini, sedang laris-larisnya.

Bisnis ini terinspirasi dari usaha serupa di Jepang. “Ada jasa kayak gini [di Jepang]. Bahkan, lebih komplit, kayak jasa keluarga bohongan. [Aku] tertarik lah, di Indonesia juga [aku pikir] pasti ada yang butuh,” ujar mahasiswa Fakultas Ekonomi di Universitas Terbuka itu. 


Ia mulai sejak tiga bulan lalu, jasa yang Ray tawarkan sederhana. Ia bisa dibayar untuk jadi teman ngobrol bagi mereka yang membutuhkan. Mau ngobrol lewat telepon, oke. Mau bertemu langsung dibarengi jalan-jalan, nonton, dan makan bareng juga tak masalah. Praktiknya, konsep teman ngobrol bayaran ini fleksibel karena Ray juga menerima rikues menjadi pacar pura-pura.

Setiap hari, ia mengaku menerima setidaknya tiga klien di hari paling sepi hingga sepuluh klien di hari paling ramai, kebanyakan memilih curhat daring via telepon. Satu klien dijatah satu hingga tiga jam durasi telepon sesuai kesepakatan dengan nominal supermurah Rp15 ribu. Masalah yang dikeluhkan kebanyakan adalah persoalan asmara, kuliah, dan keluarga. Ray menyebut bahwa kliennya ada di rentang umur 20-30 tahun dengan beragam latar belakang, seperti mahasiswi, dokter muda, hingga asisten dosen.

Untuk jasa offline, Ray mengklaim pernah menyambangi Surakarta, Karanganyar, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta untuk memenuhi pesanan. Tarifnya beragam, tapi masih tergolong murah. Klien bisa menghabiskan mulai dari Rp100 ribu hingga Rp1,5 juta all-in tergantung lokasi dan durasi jasa. Namun, Ray mengatakan ia turut mengupayakan harga termurah. Untuk klien di Surabaya kemarin misalnya, Ray bersedia berangkat menaiki bus komersial seharga Rp70 ribu. 

Saat ini, Ray dibantu dua orang lain dalam menjalankan bisnis. Satu di bagian promosi, dan satu di bagian talent untuk klien online. Sementara untuk offline, Ray masih belum berani mempercayakannya pada orang lain. Ia sadar bahwa model bisnis ini—yang membuatnya bertemu dengan banyak orang yang rapuh secara mental—rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

Prinsip Ray jelas: tidak ada seks dan tidak boleh terbawa perasaan. Sentuhan fisik paling intim yang diizinkan Ray adalah memegang tangan dan gandengan. “Kebanyakan klienku emang minta sentuhan kayak pegangan tangan atau gandengan karena kebanyakan enggak bisa dapetin. Ada yang enggak pernah pacaran. Kayak gitu enggak apa-apa, tapi untuk lebih, aku enggak mau,” tuturnya.

Jasa curhat: solusi atau masalah?

Kami mencoba bertanya kepada psikolog Arindah Arimoerti dari unit layanan konsultasi psikologi Tiga Generasi, untuk memahami mengapa jasa teman curhat ini laris. Arindah punya jawaban menarik. 

Arindah menjelaskan bahwa ada kombinasi dari berbagai situasi yang lantas mendukung bisnis Jasa Rental Pria. Ray berhasil memperlihatkan bahwa jasanya bisa dipercaya di media sosial. Umurnya yang masih 21 tahun membuat orang dari rentang usia sebaya mendapati kemiripan. Arindah juga menilai Ray berhasil membuat banyak audience-nya merasa akrab dengan mengunggah aktivitas sehari-harinya di medsos. Di sana, Ray berhasil menciptakan persona good boy.

“Ada situasi juga yang muncul dan naik grafiknya selama pandemi, yaitu fenomena kesepian. Ketika kita enggak bisa semudah itu membangun lingkungan sosial, pertemanan baru. Ada orang yang secara profesional menawarkan posisi itu. Ini juga jadi hal yang appealing banget bagi anak-anak seusia mereka. Enggak heran kenapa bisa 3-10 orang per hari, apalagi bisa online. Orang ini [Ray] menawarkan banyak sekali hal-hal yang terjangkau,” jelas Arindah kepada VICE. 

Arindah menyebut kebersediaan klein bicara dengan orang asing bukanlah hal aneh. Toh, bicara dengan psikolog atau psikiater juga sama asingnya. Poinnya bukan pada si teman ngobrol “stranger” atau tidak, melainkan rasa aman bahwa klien bisa mengeluarkan unek-unek tanpa takut dihakimi dan merasa bersalah.

Perempuan berusia 28 tahun tersebut menjelaskan sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan seseorang ketika mempunyai beban mental. Salah satu metode paling populer adalah katarsis, di mana orang bisa melarikan pikirannya ke aktivitas seperti menulis naskah, menggambar, atau membuat lirik lagu. Namun, Arindah meyakini, bercerita kepada orang yang tepat di waktu yang tepat dengan proporsi dan keahlian yang tepat akan memberikan efek penyembuhan lebih besar., 

“Karena ketika kita ngobrol sama orang lain, itu ada feedback, entah komentar entah sikap penerimaan. Hal-hal ini yang membantu amigdala [bagian di otak yang berhubungan dengan emosi] kita lebih tenang gitu. Tapi, ketika kita cerita sama orang yang judgemental, juga enggak akan membantu. Poinnya bukan cerita ke orang lainnya, tapi cerita ke orang yang tepat,” tambah Arindah.

Arindah sepakat seseorang perlu memperhatikan “kredibilitas” teman curhatnya. Sebagai psikolog, ia bersyukur mencari pertolongan mental sudah semakin wajar. Namun, kekhawatiran muncul tentang jenis pertolongan yang dipilih. Salah satunya soal kerahasiaan antara klien dengan penyedia jasa.

“Nah, confidentiality agak tricky untuk kasus ini, karena kita enggak bisa menjamin benar-benar [tentang rahasia klien] karena dia [pemilik jasa] enggak terikat dengan kode etik apa pun. Ini yang perlu hati-hati,” tambah Arindah.

Arindah mengakui bahwa memang ada banyak faktor yang membuat akses ke psikolog atau psikiater tidak bisa dipunyai semua orang. Mulai dari keyakinan pribadi, jasa yang mahal, takut kecanduan obat yang diberikan, sampai stigma bahwa mencari pertolongan sama saja dengan gangguan jiwa.

Sayangnya, penyedia jasa macam Ray tidak memiliki dasar apa pun yang bisa melindungi kliennya atas konsekuensi jasa ini di masa mendatang. Maka, hal paling bijak yang bisa dilakukan adalah menganggap jasa curhat seperti pertolongan pertama saja.

“Dalam piramida intervensi, paling dasarnya adalah self-help. Menurut saya, fenomena ini [rental pria] adalah salah satu perilaku self-help. Mereka mencoba mencari hal-hal yang bisa membuat lebih tenang, memunculkan rasa nyaman dalam waktu singkat. Cuma levelnya hanya di situ, kita enggak bisa berharap lebih jauh lagi,” sebut Arindah.



Apabila permasalahannya lebih kompleks, berasal dari situasi yang mengakar, dan berulang kali terjadi, maka perlu bantuan yang lebih dari jasa teman curhat. Berkaca dari teori piramida intervensi yang sempat dibahas Arindah, di atas self-help masih ada intervensi dari penguatan kelompok pendukung (support group), orang yang dituakan, sampai pada pertolongan profesional dan spesialis di posisi puncak. 

Kabar baiknya, klien yang ditemui Ray tidak melulu membawa masalah mental yang berat. Banyak klien cuma butuh teman menonton film, membuat adegan mesra di chat guna memanas-manasi mantan, atau sekadar ingin punya foto bareng cowok agar dianggap punya pacar.

“Minggu kemarin aku disuruh [klien] ikut ke rumahnya. Soalnya, dia ada dijodohin sama om-om dan dia enggak mau. Terus, aku dijadiin kayak pacar bohongan, setidaknya biar dia enggak dijodohin, enggak dipaksa nikah sama om-om itu. Dia itu baru kuliah semester lima,” cerita Ray kepada VICE. Untuk kasus-kasus semacam ini, manfaat penyedia jasa rental pria tentu bisa kita akui kegunaannya.

Kehadiran Jasa Rental Pria juga berhasil mengisi kekosongan sumber daya manusia di waktu mendesak. Misalnya, ia pernah mendapat job menemani klien yang sedang sakit tipes di rumah sakit. Akhirnya, Ray dipanggil untuk bertindak macam perawat.

“Bayangin aja, tiga hari saya jagain dia di rumah sakit. Nyuapin terus gendong ke kamar mandi. Dia memang minta jasa nemenin karena orang tuanya di luar kota. Sakitnya tipes, butuh perawatan lah. Nyuapin makan, air hangat di kain terus dilap di kulitnya. Aku juga tidur di sofanya di ruang kamar rumah sakit itu,” kata Ray antusias.

Saat mengakhiri obrolan kami, Ray bercerita bahwa akhir minggu ini ia akan sibuk menemani berbagai klien di Yogyakarta selama lima hari berturut-turut. Kebanyakan untuk menemani jalan-jalan, tapi ada satu klien yang minta ditemani candle light dinner di sebuah hotel bintang lima.