Euthanasia telah dipraktikkan sejak dulu kala, tapi tindakan mengakhiri hidup seseorang secara sengaja masih menjadi perdebatan. Sejauh ini, hanya ada sejumlah negara yang telah mengizinkan prosedur tersebut sesuai anjuran dokter. Beberapa di antaranya adalah Belgia, Luksemburg, Belanda dan Swiss.
The Guardian melaporkan, sebelum pandemi, rata-rata satu warga Inggris mencari bantuan untuk mempercepat kematian mereka di Swiss setiap minggunya. Hal ini disebabkan oleh ilegalnya praktik tersebut di Inggris.
Survei YouGov pada Agustus 2021 menemukan 73 persen responden di Inggris berpendapat sudah waktunya pemerintah mengizinkan dokter membantu pasien yang sakit parah mengakhiri hidup mereka untuk menghilangkan penderitaannya. Di belahan bumi lain, lebih dari sejuta orang Italia menandatangani petisi online tahun 2021 yang mendesak dicabutnya larangan “euthanasia aktif”, prosedur yang secara langsung dilakukan oleh dokter dan tenaga medis profesional lainnya.
Hanya klinik tertentu yang menawarkan assisted suicide di negara-negara tersebut. Pasien nantinya ditemani seorang “pemandu”, yang akan mengurus segala tetek bengek yang dibutuhkan sebelum mereka mengakhiri hidup. Mereka akan merencanakan tanggal kematian dan membeli obat-obatan yang mematikan dengan bantuan pemandu.
Sejak dibuka di Swiss pada 1982, klinik Exit telah menawarkan bantuan dokter bagi orang-orang yang ingin mengakhiri hidup. Klinik ini membebankan biaya keanggotaan, mulai dari €40 (Rp636 ribu) per tahun hingga €1.100 (Rp17,5 juta) untuk seumur hidup. Sejauh ini sudah ada 135.000 orang yang bergabung menjadi anggota Exit.
Namun, klinik tersebut hanya menerima permohonan keanggotaan dari warga negara Swiss atau penduduk tetap saja. Setiap individu mendapat kesempatan untuk berkonsultasi, membuat “surat wasiat hidup” (dengan adanya dokumen ini, kamu berhak menggagalkan rencana di kemudian hari), dan mempermudah kematian dengan bantuan dokter. Keputusan akhir ini hanya akan diberikan kepada para pasien “yang menderita penyakit fatal, rasa sakit yang tidak dapat ditoleransi atau kerusakan yang tak tertahankan.”
VICE mengobrol dengan salah satu pemimpin Exit, Jean-Jacques Bise, untuk mencari tahu prosedur yang tersedia di klinik mereka, serta mengapa banyak orang memilih cepat mati.
VICE: Apa bedanya bunuh diri yang dibantu dan euthanasia?
Jean-Jacques Bise: Dengan tindakan bunuh diri yang dibantu, pasien mengakhiri hidupnya sendiri. Mereka meminum obat yang mematikan, atau diberi cairan infus jika sudah tidak bisa bangkit untuk minum. Sejauh ini, kami belum pernah menangani pasien yang tak lagi mampu bergerak. Tapi kami akan mencari solusi agar prosedurnya berjalan lancar, mungkin lewat kedipan mata misalnya. Lain ceritanya dengan euthanasia. Kematian pasien dilakukan oleh pihak lain.
Begitu orang mantap ingin bunuh diri dengan bantuan, apa yang harus mereka lakukan selanjutnya?
Pertama-tama, dokter kami akan memastikan pasien telah memenuhi kriteria medis yang diperlukan. Mereka harus memiliki penyakit parah atau sudah berada di stadium akhir. Jika memenuhi persyaratan, kami akan menentukan jadwal kematiannya. Di pagi hari, kami akan memastikan kembali apakah mereka benar-benar ingin mengakhiri hidup. Kami akan menghentikan semuanya jika mereka berubah pikiran. Tugas kami hanya untuk membantu, bukan memaksa mereka.
Jika mereka sudah mantap melakukannya, kami akan memberi obat anti-mual karena produk mematikannya — pentobarbital — sangat pahit. Kami memberi dosis 15 gram, yang akan membuat pasien mengantuk dan tertidur. Dokter menunggu 20 menit sebelum menyatakan mereka telah tiada. Setelah itu, kami menghubungi polisi dan petugas pemakaman.
Sudah berapa banyak orang yang dibantu klinik Exit?
Kami membantu 369 orang tahun lalu. 223 perempuan dan 146 laki-laki [studi menunjukkan perempuan lebih mungkin mengajukan permohonan bunuh diri yang dibantu daripada laki-laki]. Kami juga membantu empat pasangan yang ingin meninggal bersama. Permintaan semacam ini semakin sering terjadi.
Menurutmu, kenapa pasangan ingin meninggal bersama?
Mereka pasangan lansia yang sudah puluhan tahun menikah dan ingin menutup usia bersama. Biasanya salah satu dari mereka menderita penyakit parah atau lumpuh. Pasutri terakhir yang meminta bantuan kami sudah 65 tahun menikah. Mereka tidak bisa membayangkan hidup tanpa pasangannya.
Apa alasanmu menawarkan bantuan ini?
Saya sudah dua kali ditinggal mati oleh anggota keluarga. Pengalaman pertama sangat menyakitkan — dia tidak punya pilihan dan hidupnya sangat menderita. Sulit sekali bagi saya untuk menyaksikan penderitaannya. Sebaliknya, saudara saya satu lagi meninggal di bawah perawatan dokter yang sangat peduli dengannya. Dokter itu tidak melakukan euthanasia, tapi dia meringankan penderitaan saudara dengan memberi morfin. Saudara saya menutup usia dengan damai dan lebih cepat. Saya pun membatin, jika waktunya sudah tiba nanti, saya ingin ditangani dokter yang baik hati seperti dirinya.
Selama membantu pasien meninggal, memori apa yang paling membekas di ingatanmu?
Saat membantu kematian seorang nenek, cucu-cucunya datang untuk mengantarkan dia ke peristirahatan terakhir. Mereka membaca puisi sebelum dia menenggak pentobarbital. Cucu laki-lakinya lalu bermain biola hingga sang nenek tertidur. Momen sangat damai, sangat menyentuh hati.
Biasanya pasien punya kata-kata terakhir atau tidak?
Sepertinya mereka paling sering mengucapkan “akhirnya”. Asal tahu saja, hidup tak lagi ada artinya ketika kamu melalui begitu banyak penderitaan. Bagi mereka, kematian menjadi sesuatu yang melegakan. Mereka merasa terbebas dari kesengsaraan.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.