Terletak sekitar 30 kilometer dari perbatasan Suriah, Tripoli merupakan kota terbesar kedua di Lebanon. Diabaikan puluhan tahun oleh pemerintah, kota makmur itu sekarang menyandang status termiskin.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018 menunjukkan, 60 persen penduduk salah satu daerah paling rentan di kota itu tidak memiliki pekerjaan. Alih-alih membaik, situasinya semakin lama semakin buruk. Perekonomian Lebanon yang kolaps akibat pandemi diperparah dengan insiden ledakan dahsyat di Beirut pada Agustus lalu. Pengunduran diri sejumlah menteri membuat suasana karut-marut.
Kelaparan mendorong gelombang protes anti-lockdown yang berlangsung setahun penuh di Tripoli. Pada Januari sendiri, demo berakhir ricuh karena bentrok dengan aparat. Sedikitnya 74 orang luka-luka tertembak polisi.
Di tengah kekacauan ini, warga Tripoli melupakan sejenak penderitaan mereka dengan menyaksikan mobil ngepot di aspal.
Teknik drifting pertama kali dipopulerkan di Jepang pada era 1970-an. Pembalap mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi selama mungkin hingga berada dalam posisi miring. Balapan ini begitu diminati di negara yang rakyatnya terobsesi mobil seperti Lebanon.
Pada Minggu siang, di akhir Desember 2020, pengunjung dari berbagai daerah memadati sirkuit di Tripoli untuk menonton pembalap nge-drift melewati rintangan berupa kerucut lalu lintas dan tong biru. Tak satu pun dari mereka mengindahkan protokol kesehatan. Mereka menemukan kebahagiaan di antara deruan mesin yang memekakkan telinga. Raut wajah mereka diliputi kesenangan meski hanya sesaat.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.