Hampir tiga minggu sejak pemerintah Rusia melancarkan serangan militer mematikan ke wilayah Ukraina, hanya satu demonstrasi anti-perang yang digelar di depan Kedutaan Besar Federasi Rusia di Jakarta. Digelar oleh gerakan solidaritas demokrasi Milk Tea Alliance Indonesia pada 4 Maret lalu, media massa memotret demonstrasi tersebut tampak sepi.
Situasi ini berkebalikan dengan “meriahnya” massa ketika sejumlah demonstrasi digelar di kedubes tersebut antara 2014-2016. Yakni ketika Hizbut Tahrir Indonesia menuntut pembebasan anggota Hizbut Tahrir Rusia yang ditangkap otoritas Rusia (2014), Jamaah Ansharus Syariah mengecam keterlibatan Rusia dalam agresi ke Suriah (2015), dan Aliansi Merah Putih, juga mengutuk peran Rusia di agresi Suriah (2016).
Anomali memang sedang terjadi. Merespons serangan udara dan misil Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari lalu, yang dilancarkan bahkan tanpa provokasi, publik internet Indonesia justru menunjukkan dukungannya pada Negeri Beruang Merah. Ungkapan “Uraa” dari bahasa Rusia kini mulai menjadi diksi populer yang dipakai dalam ujaran di media sosial dan meme.
Fenomena ini turut diyakini tengah terjadi oleh pengamat. Dalam artikelnya yang diunggah situs Universitas Melbourne, Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra menulis:
“Publik Indonesia, khususnya netizen, terus bersimpati pada (jika tidak mendukung sepenuhnya) posisi Rusia. Thread-thread pro-Rusia menjadi sangat populer di antara netizen Indonesia. Anekdot komikal pro-Rusia (tampaknya berasal dari konten medsos Tiongkok, Weibo) yang menyamakan perang ini dengan konflik mantan suami istri tersebar luas di grup-grup WhatsApp di Indonesia. Mungkin yang paling memprihatinkan, sejumlah akademisi Indonesia turut mendukung posisi Rusia. Dukungan ini berkisar dari mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang mengutuk Rusia hingga mereproduksi narasi buatan Rusia dalam berbagai ceramah dan artikel.”
Sejauh ini belum ada lembaga yang merilis data sentimen netizen Indonesia terkait invasi Rusia di Ukraina. Sebuah platform pemantauan digital hanya menunjukkan volume perbincangan dengan topik perang ini meningkat di internet Indonesia.
Pertanyaannya adalah: mengapa? Komentator mengontraskan fenomena ini dengan protes besar netizen Indonesia pada kudeta Myanmar, agresi Suriah, dan aneksasi Israel di Palestina. Apa yang tengah terjadi sehingga penghuni internet Indonesia memilih berada di sisi agresor berkulit putih dan bukan Islam?
Di mata netizen Indonesia, yang terjadi adalah perang AS vs Rusia
Sejumlah analisis dan laporan jurnalistik mencoba menjawab “keanehan” ini. Pertanyaan ini terutama dipicu artikel Radityo yang disinggung di atas.
Dalam artikelnya, Radityo mengajukan tiga faktor yang memicu fenomena ini. Faktor pertama ialah sikap warga Indonesia yang anti-pemerintah AS dan anti-Barat, serta cap munafik pada negara-negara Barat yang dianggap memakai standar ganda ketika menyikapi konflik bersenjata. Netizen menganggap pemerintah Ukraina yang dipimpin Presiden Volodymyr Zelensky sebagai boneka politik Barat yang gemar memecah belah kawasan demi keuntungan pribadi. Thread akun anonim berbahasa Indonesia ini, misalnya. Disukai 12 ribu kali, judulnya jelas menggambarkan posisi pembuat thread: “Putin vs Biden: Menjelang Akhir Ronde Pertama”.
Akibatnya adalah faktor kedua. Vladimir Putin dibayangkan sebagai sosok kuat yang berani menentang dominasi Barat, dan karena itu mengagumkan. Dua faktor itu diperkuat faktor ketiga, bahwa sejak beberapa tahun lalu muncul usaha-usaha menggambarkan Rusia sebagai sekutu Islam.
“Bagian ini mungkin terlihat janggal, mengingat Rusia yang komunis di masa lalu, dan persepsi dominan di Indonesia bahwa komunisme itu anti-Islam. Invasi Soviet ke Afghanistan pada 1970-an dan perang-perang Chechnya pada 1990-an hanya memperkuat pandangan itu. Dan baru saja pada 2015, militer Rusia yang menyerang Suriah menyebabkan demonstrasi besar di Indonesia,” tulis Radityo.
Ia menyebut, perubahan pandangan masyarakat Indonesia pada Rusia yang semula negatif terjadi sejak 2015, lewat kerja-kerja media bernama Russia Beyond the Headlines (RBTH) Indonesia di internet. Media ini dibiayai oleh pemerintah Rusia.
Editor The Diplomat Sebastian Strangio meyakini, permainan misinformasi dan disinformasi berperan besar membentuk sikap pro-Rusia di antara netizen Indonesia. Terkait dugaan ini, South China Morning Post (SCMP) melaporkan bahwa anekdot terjemahan konten Weibo tersebut menyebar di kalangan Tionghoa Indonesia dan memancing dukungan untuk Rusia dari kelompok ini.
Salah satu narasumber SCMP mengatakan, anekdot tersebut diterima karena cocok dengan sentimen Tionghoa Indonesia yang pro-Tiongkok. Kelompok ini menganggap AS dan negara-negara Barat telah merundung Tiongkok sebagai penyebab pandemi Covid-19.
Konten Weibo tersebut kini telah tersebar di media sosial. Berjudul “Rusia vs Ukraina (dalam versi sinetron agar mudah dimengerti)”, isinya mengibaratkan Rusia sebagai seorang mantan suami dan Ukraina sebagai mantan istri. AS berperan sebagai kepala preman yang anak buahnya adalah NATO, berusaha mengawini si mantan istri sambil mendorong mantan istri bersengketa dengan mantan suaminya. Memang seperti sinetron Indonesia yang gemar membuat tokoh hitam-putih, anekdot tersebut memosisikan Rusia sebagai mantan suami yang tersakiti.
Selain faktor-faktor tersebut, kebencian pada Ukraina (dan AS) karena dukungan mereka atas penindasan Israel kepada Palestina juga tampak jelas di media sosial Indonesia. Zelensky, yang pada serangan Israel pada warga Palestina tahun lalu mendukung Israel, dianggap sedang menuai karma.
Dalam wawancaranya dengan Detik, Radityo berharap masyarakat Indonesia bersimpati pada penderitaan rakyat Ukraina sebagai korban perang. “Salah satu yang bisa dilakukan masyarakat di Indonesia (bukan pemerintah) adalah bersimpati dan menguatkan solidaritas bagi korban perang dan meminta Rusia segera mengakhiri invasi dan keluar dari wilayah Ukraina,” ujarnya, 24 Februari silam.
Sementara analis media sosial Ismail Fahmi mengatakan kepada Kompas bahwa netizen harus skeptis pada derasnya informasi mengenai perang ini. “Jadi netizen itu harus punya sikap skeptis. Nah biasanya kalau ada misinformasi suka ada netizen yang mengingatkan bahwa berita itu tidak tepat, atau peristiwa itu terjadi di tempat lain tetapi seakan-akan terjadi di tempat itu atau jangan-jangan itu berita lama,” kata Ismail.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) melaporkan, sejak awal serangan misil pada 24 Februari hingga 13 Maret 2022, sebanyak 636 orang telah meninggal, termasuk 30 anak-anak. Korban luka yang jatuh telah mencapai 1.125 orang, ketika OHCHR meyakini angka riilnya lebih tinggi. Sebagian besar korban terkena ledakan dari senjata berat yang ditargetkan ke area luas. Perang ini juga telah membuat 2,8 juta orang mengungsi keluar dari Ukraina.
Sementara itu, media Indonesia sembari melaporkan perkembangan perang, tetap tak lupa menyisipkan konten hiburan. Walau jelas nirempati, artikel semacam “7 Fakta Kuliner Vladimir Putin, Termasuk Rasa Es Krim Favoritnya” jelas bukan sesuatu yang mengagetkan bagi netizen Indonesia.