Kalian mungkin masih ingat dengan foto viral barisan pendaki yang menunggu giliran naik ke puncak Gunung Everest dua tahun lalu. Foto tersebut mencemari nama baik Nepal, sehingga pemerintah memperkenalkan kembali peraturan mendaki Gunung Everest dengan pemilihan bahasa yang lebih jelas dan tegas.
Dalam peraturan tersebut, para pendaki dilarang “merekam atau memfoto aktivitas apa pun selain pendakian gunung dari tim ekspedisi masing-masing.” Dengan kata lain, mereka harus menjaga “keamanan dan reputasi” Nepal selama melakukan pendakian.
Larangan itu diumumkan bersamaan dengan persiapan negara menyambut kedatangan para pendaki setelah setahun terhenti akibat Covid-19.
“Para pendaki bebas berfoto-foto dan merekam ekspedisi dan tim mereka, tapi mereka tidak boleh mendokumentasikan apa pun yang menimbulkan kontroversi dan merusak integritas nasional dan harmoni sosial,” Mira Acharya selaku direktur Kementerian Pariwisata Nepal memberi tahu VICE World News.
“Di masa lalu, kami memaklumi banyak pelanggaran karena pendaki tidak tahu ada larangan tersebut. Dengan adanya imbauan seperti ini, kami berharap tim, operator dan anggota ekspedisi sudah memahami peraturannya sebelum memulai ekspedisi.”
Para pelanggar tidak diizinkan mengunjungi Nepal hingga lima tahun atau melakukan pendakian di Nepal selama 10 tahun.
Sebagai rumah bagi delapan gunung tertinggi di dunia, Nepal merupakan destinasi favorit pendaki mancanegara. Pada 2019, pemerintah memperoleh US$5,07 juta (Rp74 miliar) dari penerbitan izin pendakian, mayoritas berasal dari ekspedisi Everest yang menghasilkan US$4,05 juta (Rp59 miliar).
Pemerintah mengklaim peraturan ini bertujuan meningkatkan kualitas manajemen ekspedisi, tapi sejumlah pihak menganggap Nepal berupaya mengendalikan pemberitaan negatif setelah foto lalu lintas pendaki yang macet di atas gunung viral.
Diabadikan oleh Nirmal Purja yang telah menaklukkan 14 puncak tertinggi, kejadiannya menjadi pemberitaan utama di berbagai media internasional dan memicu perdebatan tentang Gunung Everest yang terlalu padat. Komitmen pemerintah dalam memprioritaskan keselamatan pendaki pun dipertanyakan. Pada hari foto itu diambil, tercatat ada 223 pendaki yang mencapai puncak, angka tertinggi hingga saat ini. Nepal juga mencatat angka kematian tertinggi di Everest pada 2019. Jumlahnya ada 10 pendaki yang tewas.
Awal tahun ini, otoritas Nepal dikejutkan oleh liputan berita India dari Everest. Dalam video tersebut, pembaca berita tampak menaiki helikopter di atas puncak gunung dan membahas klaim India tentang gunung tertinggi di dunia ini. Penyiar kemudian meminta maaf setelah orang Nepal mengkritik klaimnya. Belakangan terungkap dia tidak mendapat izin liputan di wilayah tersebut.
“Kedua insiden ini dan beberapa lainnya memaksa pemerintah untuk lebih proaktif mengendalikan konten seputar Everest,” ujar Sangam Prasain, jurnalis Kathmandu Post yang menulis tentang pariwisata dan bisnis. “Karena itulah mereka berusaha mengumumkan peraturan yang sebenarnya sudah ada sejak bertahun-tahun lalu.”
Komunitas pendaki mengkritik peraturan tersebut tidak praktis dan pemerintah telah gagal untuk fokus pada masalah yang lebih penting.
“Keputusan ini hanya akan memperburuk reputasi pemerintah Nepal,” kata Ang Chiring Sherpa, mantan presiden Nepal Mountaineering Association. “Bagaimana cara mereka mengendalikan kontennya di saat sebagian besar orang sudah punya ponsel dan media sosial?”
Sherpa lebih lanjut menjelaskan larangan ini kurang lebih sama seperti peraturan yang dibuat menjelang Olimpiade Beijing pada 2008.
“Pada saat itu, ada rumor seluruh ekspedisi dari pihak Nepal akan dibatalkan untuk menghindari kontroversi karena obor Olimpiade dibawa ke puncak gunung Everest dari pihak Tiongkok,” kenangnya. “Kami meminta pemerintah Nepal untuk membuat peraturan yang mengizinkan ekspedisi kami, tapi yang terjadi malah seperti itu.”