Berita  

Negara Kaya Akhirnya Mau Bayar Ongkos Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim

Negara-negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP27) 2022 awal November lalu, telah sepakat mempersiapkan dana “loss and damage” untuk mengurangi beban negara yang rawan terkena dampak perubahan iklim. Hasil kesepakatan perundingan diumumkan secara resmi pada Minggu, 20 November 2022.

Dengan disepakatinya keputusan ini, negara-negara miskin berhak menerima kompensasi dari negara maju atas kerusakan alam yang disebabkan oleh aktivitas manusia.


“Wacana terkait pendanaan kerugian dan kerusakan akhirnya mengalami kemajuan,” kata Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, dalam pernyataan resminya. “Kami berunding mencari titik temu terbaik untuk mengatasi kerugian yang dialami masyarakat akibat perubahan iklim.”

Para pemimpin negara yang telah merasakan langsung dampak iklim, seperti Vanuatu dan Pakistan, mendukung penuh terbentuknya dana mitigasi bencana. Mereka sudah lama mengajak kelompok penyumbang emisi terbesar, seperti Amerika Serikat, memberikan bantuan lebih adil kepada negara-negara yang sumber dayanya belum memadai untuk bisa pulih dari peristiwa cuaca ekstrem yang diperparah oleh emisi karbon negara-negara kaya.

Acara COP27 yang diadakan di Mesir selama 6-18 November ditutup dengan terbentuknya komite khusus perencanaan alokasi dana. Namun, dibutuhkan proses yang panjang hingga pendanaan ini dapat terwujud. Rincian dananya sendiri baru akan diusulkan pada konferensi tahun depan, yang dijadwalkan berlangsung di Uni Emirat Arab.

Terlepas dari kemenangan besar ini, para peserta COP27 gagal mencapai kesepakatan dalam isu lain, seperti mempercepat realisasi transisi energi fosil menjadi terbarukan guna mencegah dampak perubahan iklim yang lebih buruk. Tanpa adanya rencana yang jelas, negara-negara akan mengalami kesulitan menjaga suhu global tidak melewati batas 1,5°C sesuai yang telah ditentukan dalam Persetujuan Paris pada 2015.

“Pendanaan yang telah disepakati merupakan langkah positif, tapi berisiko menjadi ‘dana akhir zaman’ apabila negara-negara peserta lamban dalam memangkas emisi dan menjaga suhu di bawah 1,5 derajat Celsius,” tandas Manuel Pulgar-Vidal, ketua divisi iklim dan energi global di World Wildlife Fund, dikutip Reuters.

Sementara itu, António Guterres selaku sekretaris jenderal PBB memperingatkan pendanaannya mungkin takkan cukup mengatasi kerusakan yang telah terjadi pada negara-negara yang rawan bencana.

“Pemberian kompensasi memang penting, tapi itu takkan ada artinya jika krisis iklim memorak-porandakan negara kepulauan kecil dan menghapusnya dari peta,” demikian bunyi twit Guterres. “Dunia masih membutuhkan ambisi iklim bersejarah lainnya.”