Mendikbud Nadiem Makarim menyebut segala tindak kekerasan kepada peserta didik, termasuk kekerasan seksual, harus ditiadakan. Hal itu dia sampaikan dalam pidato saat membuka webinar Kemendikbud bertajuk “Perempuan Pemimpin dan Keseteraan Gender”, diselenggarakan pada Hari Perempuan Sedunia 8 Maret 2021.
Menurut Nadiem, segala tindak kekerasan kepada peserta didik, termasuk kekerasan seksual, harus ditiadakan. Oleh karena itu ia mendorong institusi pendidikan membentuk satuan kerja anti-kekerasan, sembari Kemendikbud menyelesaikan permendikbud penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
“Mekanisme terbaik untuk mendorong sekolah dan perguruan tinggi untuk membentuk satuan kerja pencegahan kekerasan. Peraturan menteri untuk perguruan tinggi dan mekanisme tersebut kami rancang dengan penuh kehati-hatian dan pertimbangan. Agar pelaksanaannya nanti berjalan secara tepat dan sesuai dengan harapan,” kata Nadiem, disiarkan kanal YouTube Kemendikbud RI.
Meski permendikbud tengah dirancang, ia mengingatkan upaya pemerintah cuma langkah kecil untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perempuan. Setidaknya ada tiga dose pendidikan yang perlu dilawan institusi pendidikan, yakni intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan.
Niatan dan janji ini perlu diapresiasi sih. Namun, sejak 2020 Kemendikbud sempat membuat pernyataan terbentuknya tim khusus penanganan kasus kekerasan seksual. Kenapa belum kelar-kelar?
“Saat ini Kemendikbud sedang dalam proses pembentukan tim yang berfokus untuk menangani kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di sektor pendidikan,” kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Kemendikbud Evy Mulyani kepada CNN Indonesia, September 2020. Waktu itu Evy juga bilang permendikbud anti-kekerasannya “sedang dalam penggodokan”.
Mungkin Kemendikbud perlu diingatkan semakin lama payung hukum diselesaikan, makin banyak korban kekerasan seksual di sekolah berjatuhan. Maret 2021 ini misalnya, selagi aturannya masih dirancang, seorang siswi SMK di Surabaya mengaku dicabuli kepala sekolahnya sendiri.
Untungnya korban berani melaporkan AF, inisial si kepala sekolah bejat, ke Polres Surabaya. Pelaku diduga melakukan aksi bejatnya di ruang kepala sekolah. Akibat kejadian itu korban jadi takut masuk sekolah.
“Tidak pernah ada ancaman serius [dari pelaku], tapi tidak boleh bilang ke siapa pun, termasuk guru-guru pun tidak boleh tahu,” ucap ARN, inisial korban, dilansir iNews. Selain diberikan barang-barang, ARN juga dijanjikan pelaku akan dibantu melunasi SPP.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sebanyak 21 kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan mereka temukan sepanjang 2019, dengan korban mencapai 123 anak terdiri dari 71 siswa perempuan dan 52 siswa laki-laki. Masih dari data KPAI, 90 persen pelaku adalah dan 10 persennya kepala sekolah. Menurut temuan laporan kolaborasi “Nama Baik Kampus” yang dilakukan VICE, Tirto.id, dan The Jakarta Post pada 2018-2019, angka kekerasan seksual yang ada diduga hanya puncak gunung es.
Harapan kelak ada payung hukum yang jelas dan berpihak pada korban kekerasan seksual tak boleh padam. Setidaknya tahun ini ada kabar baik: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Selain kepada Kemendikbud, mari berharap tahun ini DPR RI kembali berkomitmen bikin payung hukum yang beneran dibutuhkan masyarakat.