Saya mengunduh Tinder setelah ngekos dekat kampus. Rasanya begitu mendebarkan—juga ganjil—ketika saya pertama kali membuat akun di aplikasi kencan tersebut, seolah-olah saya sedang menciptakan versi diri yang lebih keren dan sempurna sesuai impianku. Saya cukup lama main Tinder (Bumble dan Hinge), tapi makin ke sini mencari jodoh di aplikasi kencan ibarat bermain lotere yang ujung-ujungnya “coba lagi”.
Saya tak bermaksud mengecilkan usaha mereka yang berhasil menemukan belahan jiwa di Bumble dan semacamnya, tapi saya agak kesal melihat sejumlah orang menganggap aplikasi kencan sebagai satu-satunya tempat mencari pacar. Faktanya, citra bisnis kencan online yang melekat dengan gagasan memaksimalkan hubungan interpersonal justru berbanding terbalik dengan realitas — kencan online menghapus unsur romansa dan ketertarikan alami yang esensial dalam setiap hubungan.
Saya juga harus mengakui telah bertemu banyak orang keren yang kini menjadi teman dekat berkat aplikasi kencan. Pengembang bertingkah seolah-olah keberhasilan seperti inilah yang pasti akan diciptakan algoritme aplikasi mereka, padahal saya pikir itu hanyalah kebetulan.
Saya khususnya tertarik pada lanskap teknologi saat ini yang penuh kontradiksi. Bukankah ironis, banyak dari kita malah merasa kesepian dan sendirian sejak bergabung dalam sistem yang digadang-gadang akan mendekatkan kita dengan jodoh? Kenapa tidak ada percikan api asmara sama sekali ketika kita menggunakan aplikasi yang diklaim menyempurnakan pengalaman mencari cinta? Mengapa kita terus mengadopsi metode yang sering kali terasa aneh?
Sama seperti program diet kekinian, kebohongan terbesar yang digaungkan aplikasi kencan bersembunyi di balik janji-janji terliarnya. Kita disuguhkan profil-profil atraktif yang tiada habisnya, yang mana sebagian besar biodata dan fotonya memberi kesan mereka memiliki kepribadian menyenangkan atau hidup mereka seru. Bahwa dengan menggunakan aplikasi kencan, kamu tak perlu repot-repot mencari orang yang sesuai tipemu. Tak ada lagi kencan buta yang canggung karena kamu dan match telah mencairkan suasana lewat chat. Kamu tinggal geser ke kiri jika tidak sreg dengan profilnya, tak usah buang waktu mengajak mereka ngobrol terlebih dulu. Kamu bahkan bisa kepoin profil medsos kenalan Tinder untuk tahu lebih dalam soal mereka.
Kehadiran aplikasi kencan sebenarnya ada bagusnya, karena dapat meningkatkan peluang seseorang bertemu pasangan yang tepat untuknya — terutama bagi komunitas queer. Tapi tetap saja, saya merasa seperti ada yang hilang ketika kita mulai menilai orang sebatas penampilan dan sikapnya di internet, serta tanpa letih menggeser selfie berfilter untuk menemukan pengguna yang apa adanya.
Menariknya, sebagian besar keluhan yang muncul tentang budaya kencan online didorong dan bahkan tercipta oleh format aplikasinya. Maraknya kebiasaan ghosting, ‘lovebombing’ dan catfish menjadi alasan kenapa pengguna sulit menjalin hubungan dan berkomitmen dengan orang yang diajak bicara. Tak ada kiat-kiat kencan yang mampu menyelesaikan masalah yang didukung oleh media itu sendiri. Cari pacar di Tinder ibarat main video game melawan NPC, sedangkan kamu satu-satunya manusia di situ. Tak heran orang merasa kalah duluan saat membuka aplikasi kencan.
Secara paradoks, standar yang orang dambakan menjadi sangat tinggi dan sulit dijangkau, sebagian besar karena mereka tidak bertatap muka dengan kenalan Tinder saat match. Mereka tak bisa memastikan orang yang ada di foto sama seperti yang ada di balik layar. Berbeda halnya jika kamu bertemu langsung dengan orang baru. Kamu tidak bisa nge-ghosting kenalan, sedangkan mereka tidak dapat menipumu dengan penampilannya. Apa yang kamu lihat di depan mata adalah versi sesungguhnya dari diri mereka. Namun, dengan bertemu langsung, terkadang muncul perasaan tidak enak untuk menolak jika ternyata mereka kurang memenuhi seleramu. Mungkin inilah alasan aplikasi kencan menjadi segala-galanya bagi para pencari cinta di zaman modern. Mengakhiri obrolan semudah membalikkan telapak tangan. Kamu tinggal mengabaikan pesan mereka atau langsung unmatch. Rasa bersalah mungkin baru muncul jika aplikasi menampilkan kembali profil mereka ke daftar rekomendasi.
Format aplikasi kencan dirancang secara khusus untuk menciptakan pengalaman yang praktis dan anti ribet. Sayangnya, segala kemudahan ini menghilangkan fakta bahwa pada dasarnya, urusan percintaan tak selalu berjalan mulus. Merajut hubungan berarti kamu harus siap mengarungi lika-liku kehidupan asmara yang rumit. Ditambah lagi, bukankah tidak adil jika kita menilai seseorang hanya dari profil dan fotonya? Bagaimana kita bisa yakin bakalan suka sama mereka tanpa mendengar suara atau bertatapan mata dengannya?
Mau tak mau saya jadi berpikir, apa yang kita lewatkan ketika nge-swipe kiri profil seseorang cuma karena mereka punya gigi gingsul, profilnya membosankan, atau leluconnya garing. Sepanjang pengalamanku menjalin hubungan dengan seseorang, hal-hal inilah yang justru membuatku jatuh cinta pada mereka. Saya juga memikirkan orang-orang yang pernah saya swipe kiri karena selera musiknya pasaran atau fotonya tidak estetik.
Saya khawatir, bagaimana jadinya kalau segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita di masa depan ditentukan oleh algoritme yang meminimalkan ketidaknyaman dan memaksimalkan waktu sendirian. Kedengarannya tidak romantis sama sekali.