Di dunia ini, ada orang-orang yang memperlakukan alam layaknya kekasih. Mereka “berhubungan intim” dengan Bumi sebagai alasan untuk menjaga kelestariannya. Berguling di atas tanah atau memeluk pohon mampu membawa seseorang hingga ke puncak kenikmatan.
Dikenal sebagai “ekoseksualitas”, konsep mencintai alam yang unik ini semakin dikenal dunia sekitar 4-5 tahun lalu. Dr. Jennifer Reed, ahli sosiologi Universitas Nevada (UNLV) yang menulis disertasi tentang ekoseksualitas, mengatakan jumlah orang yang mengidentifikasi diri sebagai “ekoseksual” telah meningkat tajam sepanjang 2014-2016. Hasil pencarian Google menunjukkan lonjakan minat yang besar terhadap praktik ini pada kurun waktu tersebut.
Istilah ekoseksualitas memiliki pengertian yang sangat luas, tergantung pada siapa kalian bertanya tentang itu.
Amanda Morgan, anggota Fakultas Kesehatan Masyarakat UNLV yang terlibat dalam gerakan ini, menjelaskan, ekoseksualitas dapat diukur dengan cara yang tidak jauh berbeda dari Skala Kinsey, yang menentukan orientasi seksual seseorang.
Menurutnya, beberapa ekoseksual fokus menggunakan produk seks ramah lingkungan, sedangkan yang lain mempraktikkannya secara harfiah. “Mereka berorgasme dengan berguling-guling di tanah hingga tubuh kotor,” tuturnya. Lalu ada juga yang “bercumbu dengan pohon, atau bermasturbasi di bawah air terjun.”
Gerakan ini dipelopori oleh aktivis dan seniman pertunjukan Annie Sprinkle dan Elizabeth Stephens. Mereka telah menerbitkan “manifesto ekoseks” di situs SexEcology dan menelurkan beberapa judul film yang mengangkat topik ekoseksualitas, seperti dokumenter Goodbye Gauley Mountain: An Ecosexual Love Story yang menggambarkan hubungan “pollen-amorous” mereka berdua dengan Pegunungan Appalachia. Mereka juga meresmikan upacara pernikahan antara manusia dan bumi, bulan dan entitas alami lainnya selama pementasan teater keliling bertajuk Dirty Sexecology: 25 Ways to Make Love to the Earth.
Sprinkle dan Stephens dengan berani menggambarkan ekoseksualitas sebagai bentuk identitas seksual baru. Ketika menghadiri perayaan Pride di San Francisco pada 2015, mereka memimpin kontingen ratusan ekoseksual dan mengadakan upacara pemotongan pita untuk “secara resmi” memasukkan E ke dalam akronim LGBTQI. Stephens memberi tahu Outside kala itu, mereka yakin setidaknya ada 100.000 orang di seluruh dunia yang terang-terangan mengaku ekoseksual.
Hasil riset Reed menunjukkan, istilah “ekoseksualitas” telah muncul sejak awal 2000-an. Istilah tersebut awalnya digunakan untuk mendeskripsikan diri pada profil kencan online. Baru pada 2008, ekoseksualitas berevolusi menjadi gerakan sosial yang lebih matang, tepatnya ketika Sprinkle dan Stephens mulai mengadakan pernikahan ekoseksual. Kedua seniman memang sejak lama aktif memperjuangkan kesetaraan pernikahan, dan mereka ingin memanfaatkan semangat itu ke arah yang lebih melindungi lingkungan. Stephens menerangkan, mereka bertujuan mengubah cara orang memandang Bumi, dari yang tadinya menganggap planet sebagai Ibu menjadi kekasih.
Masih di tahun yang sama, penulis dan aktivis Stefanie Iris Weiss di New York sibuk meneliti ekoseksualitas untuk bukunya Eco-sex: Go Green Between the Sheets and Make Your Love Life Sustainable, yang diterbitkan pada 2010. Saat itu dia belum pernah mendengar tentang proyek Sprinkle dan Stephens, jadi berkutat pada dampak negatif pemakaian kondom, pelumas dan produk seks lainnya terhadap tubuh dan lingkungan. Menurutnya, buku itu ditulis untuk membuat kehidupan seks para pembaca “lebih netral karbon dan berkelanjutan”. Weiss juga berharap bukunya bisa membantu orang untuk tidak mencemari atau merusak tubuh mereka saat bercinta.
Keinginan untuk produk seks yang lebih aman dan berkelanjutan tetap menjadi bagian penting dari gerakan ekoseksual. Weiss menyebut produk-produk ramah lingkungan telah meningkat drastis sejak bukunya diterbitkan. Di sisi lain, dia juga dengan senang hati menerima pandangan Sprinkle dan Stephens yang lebih holistik, menyadari bahwa mereka memiliki satu tujuan: membantu orang terhubung kembali dengan alam dan tubuh mereka.
Reed berujar, ekoseksualitas tidak sama dengan gerakan sosial lain karena lebih menitikberatkan pada perilaku dan kesenangan pribadi, bukan sebagai aksi protes atau politik. Menurutnya, beberapa pegiat lingkungan berusaha menjaga jarak dari ekoseksual karena alasan ini. Namun, semua aktivis ekoseksualitas yang menjadi narasumber VICE bersikeras mereka tidak main-main dalam menjaga alam. Sebagaimana dikatakan Morgan, memperlakukan Bumi layaknya kekasih adalah langkah awal menyikapi krisis lingkungan dengan serius. “Jika kalian membuat ibumu kesal, ibu pasti akan memaafkanmu. Tapi kalau kalian memperlakukan pacar dengan buruk, dia akan memutuskan hubungan denganmu.”
Pada saat yang sama, unsur kesembronoan yang menjadi ciri khas pertunjukan Sprinkle dan Stephens adalah bagian integral dari gerakan tersebut. Morgan menggambarkan ekoseksualitas sebagai sarana bergerak yang melampaui “hal-hal menyedihkan” yang sering diasosiasikan dengan isu pelestarian lingkungan hidup. Harapannya, yang juga menjadi harapan para ekoseksual lain, gerakan ini dapat menjadi sarana bagi orang-orang untuk terlibat dengan cara yang menyenangkan dan memberikan harapan.
Morgan dan Weiss sama-sama mengatakan, mereka melihat seks sebagai alat yang berpotensi kuat untuk memotivasi orang menjadikan lingkungan sebagai prioritas. Weiss mengibaratkan, “Jika kebanjiran, kalian takkan sempat bercinta.”
Neil McArthur adalah profesor filsafat yang mendalami etika seksual dan filosofi seksualitas di Universitas Manitoba. Jangan lupa mengikuti Neil di Twitter.