Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak kedatangan utusan khusus Amerika Serikat untuk memajukan Hak Asasi Manusia (HAM) Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan Interseks (LGBTQI+) ke Indonesia. Utusan atas nama Jessica Stern ini rencananya ke Indonesia pada 7-9 Desember 2022. Dia akan bertemu dengan beberapa pejabat dan masyarakat sipil.
Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, mengatakan penolakan ini bukan berarti mereka tidak menghargai tamu yang hendak berkunjung. Namun kedatangan Jessica dianggap bisa merusak nilai luhur agama dan budaya di Indonesia.
“Menolak dengan tegas kehadiran dari utusan khusus tersebut,” kata Anwar, dikutip dari Detik. “Kita tidak bisa menerima tamu yang tujuannya datang ke sini adalah untuk merusak dan mengacak-acak nilai-nilai luhur dari agama dan budaya bangsa kita.”
Anwar juga mengatakan apabila enam agama resmi yang ada di Indonesia tidak menolerir perilaku LGBTQI+ yang dianggap bisa mendorong manusia pada kepunahan.
Di dalam hidup, tambah Anwar, apabila laki-laki atau perempuan kawin sesama jenis, maka tidak akan melahirkan keturunan. “Sehingga kalau praktik tersebut dibiarkan berkembang, maka dia akan bisa membuat manusia punah,” katanya, dikutip Suara.
Jessica Stern tidak hanya berencana datang ke Indonesia. Dalam situs pemerintah AS state.gov, dia hendak melakukan safari dari Vietnam, Filipina, hingga Indonesia. Kunjungan di Vietnam berlangsung pada 28 November sampai 2 Desember 2022, sementara untuk Filipina akan berlangsung pada 3-6 Desember.
Jessica diagendakan berdiskusi bersama pejabat dan masyarakat sipil mengenai isu-isu yang dihadapi komunitas queer, serta berupaya menghapus stigma dan diskriminasi terhadap mereka. “Selama kunjungannya itu, Utusan Khusus Stern akan bertemu dengan pejabat pemerintah dan perwakilan dari masyarakat sipil untuk mendiskusikan hak asasi manusia, termasuk memajukan hak asasi LGBTQI+,” tertulis dalam keterangan tersebut.
Sejak Juni 2021, Jessica ditunjuk langsung oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, untuk mengawasi implementasi Memorandum Presiden 4 Februari 2021 yang bertujuan mewujudkan persamaan hak bagi kelompok orientasi seksual minoritas di seluruh dunia.
Dilansir dari Tempo, sebelum bergabung dengan Kementerian Luar Negeri AS, Jessica telah melanglang buana di berbagai organisasi. Salah satunya, dia pernah memimpin OutRight Action International, LSM yang berfokus menangani kasus pelanggaran HAM yang dialami komunitas LGBTQI+ di AS.
Selain itu, Jessica pernah menjadi peneliti di Human Rights Watch, dan asisten profesor di School of International & Public Affairs Universitas Columbia. Kiprah ini membawa Jessica menjadi anggota berbagai dewan dan dewan penasihat, termasuk di Kelompok Referensi LGBTI, UNWomen, dan Kelompok Penasihat Masyarakat Sipil dari Forum Kesetaraan Generasi.