Berita  

MUI Sulsel Rilis Fatwa Haram Bagi Umat Muslim Beri Uang ke Pengemis

mui-sulsel-rilis-fatwa-haram-bagi-umat-muslim-beri-uang-ke-pengemis

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan (Sulsel) baru saja membuat fatwa bahwa haram hukumnya untuk muslim memberi uang kepada pengemis di jalanan. Lewat fatwa No. 1/2021 tentang Eksploitasi dan Kegiatan Mengemis di Jalanan dan Ruang Publik itu, MUI Sulsel beralasan mengemis kerap dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab sebagai alat eksploitasi manusia, terutama anak. Kegiatan meminta-minta juga dianggap membentuk mental pemalas kepada orang tanpa cacat fisik.

Fatwa diketuk pada Minggu (31/10) kemarin. “Pertama, haram mengeksploitasi orang untuk meminta-minta. Kedua, bagi pemberi, haram memberi uang kepada peminta-minta di jalanan dan ruang publik karena mendukung pihak yang mengeksploitasi pengemis serta tidak mendidik karakter yang baik,” kata Sekretaris Umum MUI Sulsel Muammar Bakri, dilansir CNN Indonesia.


Lebih lanjut, MUI Sulsel mendesak pemerintah turun tangan membereskan permasalahan gelandangan dan pengemis sesuai amanat UUD 1945 Pasal 34: fakir miskin dan anak terlantar adalah kewajiban negara. “Jika ada pengemis di jalan, maka [yang] berdosa pemerintah. Harusnya tidak ada pemandangan peminta-minta di jalanan,” tambah Muammar.

Lembaga pengelola zakat dan lembaga kemanusiaan tak luput dituntut MUI Sulsel untuk memberantas kemiskinan bersama pemerintah. Sementara, para penegak hukum diminta tegas menindak pihak-pihak yang mengeksploitasi anak untuk mengemis.

Fatwa tersebut disambut baik MUI pusat. Namun, Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan menilai semua ini tidak akan ada artinya apabila pemerintah tidak merespons fatwa dengan tindakan. “Fatwa MUI sebenarnya hanya dalam bentuk mencegah, adapun mengatasinya ya tugas pemerintah. Sebab, pemerintah diberi kewenangan oleh konstitusi, untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan,” ujar Amirsyah, dilansir dari Merdeka.

Dari tahun ke tahun, MUI jadi lembaga yang lumayan sibuk mengharamkan sedekah kepada pengemis. Pada 2013, misalnya, MUI DKI Jakarta pernah melakukannya. “Apa pun alasannya, memberi uang kepada peminta-minta itu tidak dibenarkan. Maksudnya, tidak hanya meminta, tapi memberi juga masuk di dalamnya,” ujar Sekretaris MUI DKI Jakarta Samsul Ma’arif kala itu, kepada Detik.

Setelah kami telisik, penelusuran paling awal terkait fatwa haram mengemis oleh MUI dimulai 14 tahun lalu. MUI Jawa Timur kala itu mengimbau masyarakat tidak memberi uang kepada pengemis. Ketua Umum MUI Jatim saat itu, Abdusshomad Buchori, berbincang pada Rapat Koordinasi Komite Penderita Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) se-Jatim pada 30 April 2007. Buchori menilai, memberi uang di jalan hanya akan memperbanyak jumlah pengemis, membuat orang malas mencari pekerjaan meski punya fisik kuat.

Barulah pada 2009, MUI Sumenep, masih di Jatim, jadi MUI pertama yang mengeluarkan fatwa haram mengemis. Fatwa tersebut langsung disetujui Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat Anwar Ibrahim. “Memang sudah ada imbauan kita untuk tidak pernah menyetujui pengemis-pengemis itu. Bukan hanya [di bulan] Ramadan saja, tapi seterusnya juga. Masyarakat seharusnya memberikan ke tangan yang tepat, karena arti sedekah adalah memberikan sesuatu yang patut kepada orang yang pantas menerimanya,” kata Anwar kepada Detik. Tujuh hari berselang, MUI Kabupaten Pasuruan ikut mengeluarkan fatwa serupa.

Namun, tidak semua MUI daerah satu suara pada isu ini. Di tahun yang sama, Ketua MUI Kota Samarinda Zaini Naim mengaku dirinya tak bisa mengikuti fatwa haram mengemis yang dilakukan Sumenep dan Pasuruan. Zaini menyebut banyak orang di daerahnya meminta-minta karena keterpaksaan kondisi ekonomi. Apabila sampai diharamkan, tertutup pula sumber nafkah darurat kaum papa tersebut.

“Saya tidak mau ikut-ikutan daerah lain dengan mengeluarkan fatwa haram bagi pengemis. Kalau di daerah lain berfatwa haram, itu karena kondisinya yang mengharuskan demikian,” kata Zaini kepada Kompas. “Di Samarinda banyak orang cacat, anak yatim, dan orang miskin yang meminta-minta di simpang lampu merah. Kalau saya mengeluarkan fatwa haram kan justru bertentangan dengan kondisi sosial masyarakat.”

Meski sudah diberondong fatwa haram dari MUI berbagai daerah, nyatanya jumlah pengemis di jalanan masih marak. Contoh paling kelihatan jelas di Jakarta. Fatwa haram mengemis yang diketuk MUI setempat 8 tahun lalu tidak memberikan dampak. April 2020 lalu, Satpol PP DKI Jakarta mengamankan 57 pengemis yang sedang tertidur di trotoar Tanah Abang. Per Agustus 2021, Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat Ngapuli Perangin Angin mengatakan jumlah gelandangan dan pengemis melonjak tajam dari data 2020.

Data pemerintah yang bisa kami temukan terkait jumlah PMKS hanyalah laporan Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial yang mencatat ada 18.599 gelandangan dan 178.262 pengemis di Indonesia, itu pun dengan disclaimer bahwa data tersebut bisa bertambah apabila pendataan dilakukan bertepatan dengan hari besar keagamaan.

Sorotan pertanggungjawaban jelas harus diarahkan kepada negara. Pemerintah sudah menurunkan UUD 1945 Pasal 34 ke UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Isinya memuat metode dasar merawat kelompok masyarakat yang tidak sejahtera. Pasal 19 jelas menyebut penanganan fakir miskin jadi tanggung jawab Menteri Sosial. Lalu pemerintah pusat dan daerah punya tugas membuat kebijakan, program, pemberdayaan, dan pendampingan kepada kelompok rentan.

Celakanya, upaya penanggulangan kemiskinan ini terancam dinodai negara lewat RKUHP Pasal 432. Calon beleid itu dikritik banyak pihak setelah tertulis bahwa setiap gelandangan di jalan atau tempat umum akan mendapat sanksi Rp1 juta.

“Pasal 432 KUHP ini bertentangan dengan UU 1945. Ini jelas berpotensi kriminalisasi terhadap masyarakat tidak mampu yang hak konstitusionalnya harusnya dipelihara negara sebenarnya karena sudah dijamin konstitusi,” kata Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, kepada Kompas.