“Apa yang kamu lakukan? Ibu tidak mengenalimu. Siapa anak nakal yang pandai berbohong ini?”
Penggalan dialog dari Ms. Marvel terdengar begitu familiar di telingaku. Sebagai anak yang besar di keluarga Muslim konservatif, sering sekali kumendengar ayah ibu berkata seperti itu setiap mereka kecewa pada sikapku.
Kamala Khan, karakter pahlawan super Muslim pertama Marvel yang diperankan oleh Iman Vellani, selalu berselisih paham dengan orang tuanya. Gadis remaja ini memimpikan banyak hal: datang ke AvengersCon, ikut lomba cosplay pakai kostum superhero Marvel favoritnya, main hingga larut malam dan baca fanfiksi sambil membayangkan jadi pahlawan super.
Sangat masuk akal mengapa episode pertama serial eksklusif Disney+ ini diberi judul “Generation Why”. Semasa kecil dulu, kita sering bertanya-tanya mengapa ayah ibu selalu melarang kita melakukan berbagai hal. Kita sampai harus memelas dan memohon supaya diberi izin. Namun, meski kesal dengan sikap orang tuanya, Kamala tidak pernah membanting pintu atau mengurung diri di kamar.
Dalam pakem film barat, remaja kulit putih selalu digambarkan berani sahut-sahutan dengan ayah atau ibunya ketika mereka bertengkar. Kita para anak Asia tidak punya nyali sebesar itu, sehingga sulit bagi kita untuk memahami perasaan mereka. Melawan orang tua sama saja mencari masalah. Itulah mengapa dalam Ms. Marvel, Kamala hanya bisa diam dan memendam perasaannya.
Ms. Marvel menghadirkan kehidupan keluarga Muslim dengan cara yang menyegarkan. Tidak ada stereotipe-stereotipe yang biasa kita temukan dalam film Barat tentang orang Islam. Ibunya Kamala tidak mengenakan burkak, sama seperti ibuku dan banyak ibu-ibu lainnya di Asia Selatan.
Sementara itu, sang ayah tidak bertasbih dan sembahyang sepanjang waktu. Sesuai dengan budaya kita, ibu Kamala sudah menyiapkan rantang penuh makanan untuk dibawa pulang oleh Bruno, sahabat putrinya. Iya, kita bangsa Asia paling senang menjamu tamu yang datang ke rumah. Kita tidak pernah pandang bulu, tidak seperti orang Swedia yang melarang teman ikut makan bersama keluarga.
Ms. Marvel memasukkan unsur-unsur Islam dalam kehidupan sehari-hari secara natural dan tidak dipaksakan. Contohnya seperti karakter mengucapkan Bismillah sebelum bekerja, saudara yang mendadak jadi religius, tante-tante bigos yang suka mengurusi kehidupan orang lain, atau ibu yang rutin menasehati anak perempuannya untuk menutup aurat.
Aspek lain yang kusukai dari serial ini adalah penggambaran hubungan kakak beradik yang erat dan saling mendukung. Tumbuh di keluarga religius dan terlalu menuntut berarti kita tak jarang berbohong kepada ayah ibu untuk menghindari amarah mereka. Di situlah saudara kandung mengambil peran dan membantu satu sama lain. Ketika Kamala sedih karena dilarang pergi ke AvengersCon, Aamir (Saagar Shaikh) membuatkannya teh dan menemaninya sampai dia tenang.
“Sudah tenang saja. Nanti kakak yang ngomong ke ayah ibu,” katanya sambil tersenyum.
Pasti ada di antara kalian yang punya, atau bahkan menjadi, saudara suportif seperti Aamir. Kehadirannya menyentuh hati. Abangku kurang lebih seperti Aamir. Dia pasti akan membelaku jika aku dimarahi ayah ibu. Meski terkadang kami suka bertengkar dan aku sering membuatnya kesal, abang selalu ada untukku. Aku masih ingat bagaimana abang diam-diam mengambilkan novel Agatha Christie untukku ketika orang tua menyita semua koleksi novelku. Kala itu, ayah ibu bilang baca cerita fiksi adalah hobi sia-sia dan bikin aku malas belajar.
Ms. Marvel juga menyelipkan tindakan seksis yang sering dialami anak perempuan dalam keluarga konservatif, yang kebanyakan masih memprioritaskan anak laki-laki. Namun, itu muncul dalam hal-hal kecil, sekadar menunjukkan itulah realitas hidup perempuan Muslimah — bukan bermaksud untuk mempermasalahkannya.
Media mainstream tak jarang menghilangkan nuansa manusiawi ini pada saat menggambarkan keluarga Muslim, sehingga terkadang kita juga ikut menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Penggambaran umat Islam dalam budaya populer kental akan stereotipe, baik itu sikap represif terhadap perempuan maupun keterlibatannya dalam bencana apokaliptik.
Di serial ini, keluarga Kamala digambarkan sebagai… keluarga yang biasa-biasa aja! Mereka bukan orang menakutkan, dan tidak dibayang-bayangi oleh kejahatan atas nama kebencian maupun tuduhan palsu. Elemen kehidupan sehari-hari ini dijelaskan apa adanya dan tidak dilebih-lebihkan. Inilah yang membedakan Ms. Marvel dengan tontonan lain, yang cenderung menjadikan keluarga Muslim sebagai bagian yang tak terpisahkan dari politik dan beban yang melekat padanya.
Patut diapresiasi bahwa karakter Kamala sepenuhnya diciptakan oleh penulis dan kreator Muslim, sehingga film ini aman dari white gaze (pandangan orang kulit putih terhadap agama Islam). Sana Amanat, co-creator Ms. Marvel keturunan Amerika-Pakistan, memperkenalkan karakternya ke Barack Obama pada 2016. Mantan Presiden AS itu berujar, “Ms. Marvel memang komik ciptaanmu. Tapi saya yakin, bagi banyak anak muda di luar sana, Sana lah pahlawan supernya.”
Lucunya, segelintir orang membenci serial Disney+ ini karena Ms. Marvel sama sekali tidak menyinggung hubungan geopolitik India-Pakistan, radikalisme Islam, atau bahkan terorisme. Tampaknya tak terbayangkan dalam pikiran mereka bahwa orang Islam juga punya mimpi besar dan berambisi menggapainya. Ditambah lagi, Kamala bukanlah perempuan berbalut burkak yang tertindas. Bukankah hal yang aneh film bertema Muslim tidak memasukkan bom atau lelaki berjenggot yang kejam di dalamnya?
Follow Arman di Twitter dan Instagram.