Kematian misterius sembilan pendaki di Pegunungan Ural, Uni Soviet, lebih dari 60 tahun lalu akhirnya bisa terjawab lebih jernih lewat percobaan ilmiah. Tragedi Dyatlov, julukan populer di Internet bagi insiden tersebut, sempat menjadi topik perdebatan pegiat teori konspirasi di seluruh dunia.
Jasad para pendaki itu saat ditemukan terlampau aneh, ada yang tersebar jauh dari tenda, sebagian bahkan dalam kondisi telanjang dan seperti lebam digebuki. Dari rekonstruksi jejak kaki, para pendaki tersebut diduga kuat merobek tenda dari dalam, lalu beberapa berkeliaran ke dalam tundra bersalju hanya mengenakan pakaian tidur padahal kondisi sedang badai. Temuan itu makin terasa aneh, karena ada terjemahan hasil investigasi Soviet yang beredar di Internet, menyebut pakaian para pendaki itu memiliki tingkat radiasi yang tinggi.
Rangkaian fakta tersebut memicu konspirasi, bahwa mereka meninggal akibat hendak diculik alien, jadi korban kejadian supranatural, sampai ada yang menduga mereka kelinci percobaan nuklir rahasia yang dilakukan rezim Uni Soviet.
Dua ilmuwan asal Swiss ternyata terobsesi memecahkan misteri Dyatlov, dengan melakukan serangkaian percobaan ilmiah selama lima tahun terakhir. Pada 2021, keduanya sempat merilis teori awal tentang apa yang terjadi pada malam tragis yang menimpa sembilan pendaki. Kesimpulan mereka: tenda para pendaki itu tergulung longsoran salju dangkal (slab avalanche) yang amat mematikan dan kadang bisa menimpa lereng datar di pegunungan bersalju.
Alexander Puzrin, guru besar geoteknik di ETH Zurich bersama Johan Gaume, Kepala Laboratorium penelitian longsoran salju di Ecole Polytechnique Fédérale de Lausanne, membuktikan lebih lanjut teori mereka dengan menggelar ekspedisi ke Dyatlov. Kesimpulan awal mereka tahun lalu sempat dikritik beberapa pihak, karena asumsi lokasi tenda para pendaki pada 1959 ada di lereng yang relatif datar, sehingga mustahil longsoran salju parah bisa menimpa mereka. Selain itu, luka-luka di jasad para pendaki Dyatlov tidak seperti lazimnya korban longsoran salju. Empat pendaki mengalami patah tulang dada, dua korban lain hilang bola matanya, dan ada yang kehilangan lidah.
Ekspedisi keduanya dilakukan pada 28 Januari 2022, dilengkapi rekaman video, yang memastikan di lereng tersebut longsoran salju secara tiba-tiba memang bisa terjadi. Kedua ilmuwan itu menilai, rekaman mereka bisa dianggap sebagai rekonstruksi paling akurat tentang apa yang terjadi pada malam jahanam 2 Februari 1959.
“Dengan percobaan terkini awal tahun ini, berarti sudah ada kali ekspedisi yang secara meyakinkan mengungkap kondisi di Jalur Dyatlov,” demikian keterangan Puzrin dan Gaume, seperti dikutip dari artikel ilmiah yang terbit di Jurnal Communications Earth & Environment pada 24 Maret 2022. “Kesimpulan kami sejalan dengan penelitian independen yang dilakukan pakar salju asal Rusia saat melakukan permodelan pola longsoran di lokasi tersebut.”
Uji coba Puzrin dan Gaume dilakukan pada kondisi cuaca khusus, yang sebisa mungkin sama dengan momen saat sembilan pendaki dari mapala Ural State Technical University yang dipimpin Igor Dyatlov menemui ajalnya. Dipastikan bila jenis longsoran dangkal memang tidak meninggalkan bekas seperti longsoran salju lain, setidaknya saat terjadi di jalur Dyatlov.
Puzrin dan Gaume, lewat artikelnya, memastikan teori populer lain seperti adanya angin katabatik atau kepanikan mendadak akibat gelombang infrasonik bisa dicoret dari kemungkinan penyebab insiden. Mereka sendiri enggan merespons konspirasi soal UFO, serangan mahluk Yeti, atau eksperimen KGB/CIA, meski turut menuliskan berbagai alternatif jawaban tersebut dalam artikelnya.
Setidaknya, Puzrin dan Gaume meyakini bahwa longsoran dangkal adalah penyebab yang paling masuk akal sejauh ini, menjelaskan kenapa para pendaki itu panik lari dari tenda tanpa mengenakan pakaian memadai. Dari simulasi keduanya, pemasangan pasak tenda tim pendaki Dyatlov diduga kuat pemicu awal longsoran. Ada beberapa lapisan salju di lereng Dyatlov yang mudah terpicu getaran, menghasilkan longsoran beruntun yang tidak langsung mengubur tenda. Kepanikan akibat longsoran itu, menurut keduanya, memaksa sebagian pendaki kabur dari tenda. Sebagian lantas mengalami luka aneh dipicu sebab alamiah, termasuk kemungkinan bola mata atau lidah mereka dimakan binatang liar.
Dari temuan Puzrin dan Gaume, lereng jalur Dyatlov ternyata bentuk permukaan tanahnya saat tidak tertutup salju seperti terasering atau punden berundak. Itu sebabnya pendaki senior sekalipun bisa mengira mereka berkemah di lokasi yang relatif datar dan aman dari ancaman longsoran salju. “Di beberapa patahan lereng itu, setelah kami teliti, kemiringannya mencapai 30 derajat,” demikian kesimpulan studi mereka.
Data keduanya juga selaras dengan pengalaman Oleg Demyanenko serta Dmitriy Borisov, dua pendaki asal Ekaterinburg Rusia, yang tahun lalu menjajal naik motor salju di jalur Dyatlov. Cuaca di jalur tersebut, dari catatan dua pendaki itu, cepat berubah. Ketika sudah memburuk, badai gampang muncul dan bisa memicu longsoran mendadak.
“Oleg dan Dimitriy mencatat motor salju mereka terguling berulang kali karena embusan angin kencang. Cuaca saat kejadian tersebut dari simulasi kami sama seperti yang terjadi pada 2 Februari 1959,” tulis artikel tersebut. “Saat cuaca sudah membaik, mereka menemukan jejak sempat terjadi beberapa longsoran dangkal yang ternyata langsung menghilang beberapa jam kemudian.”
Puzrin dan Gaume menyimpulkan, sifat unik longsoran dangkal membuat petugas SAR di Uni Soviet pada masa itu tidak mendapat bukti sempat terjadi longsor salju di sekitar tenda para pendaki Dyatlov.
Meski merasa sudah menemukan jawaban paling masuk akal mengenai tragedi Dyatlov, Puzrin dan Gaume enggan menyebut bila seluruh aspek dari misteri tersebut sudah terpecahkan. Keterangan soal radiasi pakaian, misalnya, tetap tak terjelaskan. Tapi itupun bisa saja kekeliruan penerjemahan, atau sumbernya ternyata keliru.
“Bila ditanya apakah kasus Dyatlov sudah terjawab sepenuhnya, kami akan menjawab setidaknya tugas kami sudah tuntas dilakukan. Kami tidak ingin menghabiskan seumur hidup memecahkan semua detail dari tragedi pendakian ini,” demikian kesimpulan Puzrin dan Gaume.