Berita  

Meski Dilarang, Praktik Sunat Perempuan Tetap Saja Populer di di Berbagai Negara

meski-dilarang,-praktik-sunat-perempuan-tetap-saja-populer-di-di-berbagai-negara

Praktik sunat perempuan telah dilarang di Liberia, namun hasil temuan pegiat HAM menunjukkan masih banyak perempuan jadi korbannya.

Hampir sepertiga perempuan Liberia pernah menjalani operasi pemotongan alat kelamin (FGM). Organ berupa klitoris biasanya akan diangkat sebagian atau seutuhnya saat dikhitan. Terlepas dari klaimnya yang memuliakan perempuan, praktik ini menuai banyak kritikan di seluruh dunia karena sangat berbahaya. Menanggapi penolakan keras di Liberia, dewan masyarakat adat setempat — beranggotakan kepala suku dan pemangku adat — sepakat untuk mengeluarkan larangan selama tiga tahun pada Februari lalu. Larangan itu menjadi yang terlama di negara Afrika Barat.


Akan tetapi, penerapannya tidak sesuai harapan. Larangan tersebut tidak mengikat secara hukum, sehingga tidak ada efek jera bagi para praktisinya. Pada Oktober, delapan bulan setelah kesepakatan ditandatangani, tersiar kabar gadis remaja 11 tahun mengalami pendarahan hebat saat disunat. Kasus ini memicu kemarahan publik di dalam negeri, tapi dewan masyarakat adat Liberia bersikeras kepala adat telah mematuhi peraturannya. Menurut pengakuan aktivis, ucapan mereka bertentangan dengan kondisi di lapangan. Sunat perempuan masih banyak dilakukan di negara tersebut.

“Larangan itu tidak ada gunanya,” tutur Esther D. Yango, Direktur Eksekutif Sekretariat LSM Perlindungan Perempuan di Liberia — kumpulan 104 organisasi yang memperjuangkan kesetaraan gender di Liberia. “Saat ini, kami masih harus membantu biaya pengobatan para perempuan… yang disunat.”

Sunat perempuan lazim terjadi terutama di daerah pedesaan, dalam rangka mempersiapkan gadis remaja menjadi perempuan dewasa. Praktiknya kerap dilaksanakan secara tertutup di “bush school”, tempat kursus bagi calon ibu rumah tangga. Di tengah pelatihan yang berlangsung hingga berbulan-bulan, para peserta kursus akan disunat oleh “zoe”—sebutan untuk tukang sunat perempuan di Liberia. Masalahnya, tak sedikit perempuan ikut kursus karena terpaksa. Mereka tetap didaftarkan meski orang tuanya tidak memberi izin.

Pada Juni, Komisi Hak Asasi Manusia PBB melaporkan kasus penculikan remaja 15 tahun yang tujuannya untuk memasukkan dia ke “bush school”. Pelakunya kepala adat di daerah mereka. Anak itu baru bisa pulang ke rumah setelah ibunya membayar $45 (Rp703 ribu). “Di satu sisi, saya lega putriku bisa pulang. Di sisi lain, saya belum mendapatkan keadilan karena para perempuan yang menculik putriku tidak dihukum,” kata Deborah Parker dalam laporan tersebut. “[Pihak berwenang] bilang akan ganti rugi, tapi saya masih berjuang supaya para perempuan ini ditangkap dan mengganti kerugian saya. Uang saya gak banyak, tapi habis untuk menuntut mereka.”

Kerja keras aktivis yang lantang menentang sunat perempuan sangat berjasa menurunkan angka FGM di Liberia, tapi bukan berarti praktiknya hilang total. Berdasarkan data Bank Dunia, 31 persen perempuan Liberia dikhitan pada 2020, turun 13 persen dari tujuh tahun sebelumnya.

Mereka telah berupaya agar larangan ini berlaku permanen dan memiliki kekuatan mengikat. Sayangnya, tak kunjung membuahkan hasil. Pada 2016, badan legislatif Liberia menghapus poin-poin yang melarang FGM dalam undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. Rancangan undang-undang baru telah diusulkan, tapi masih menunggu dibahas para pejabat negara. Sulitnya menyediakan alternatif pekerjaan untuk para zoe menjadi kendala terbesar bagi pihak berwenang untuk menetapkan larangan secara permanen. Pada 2021, pemerintah Liberia bekerja sama dengan organisasi internasional untuk meluncurkan Program Mata Pencaharian Alternatif. Harapannya, zoe bisa mengasah keterampilan mereka di bidang lain dan mencari pekerjaan yang jauh lebih baik.

Aktivis anti-FGM mau tak mau harus puas dengan larangan jangka pendek, yang kebanyakan dilakukan melalui perintah eksekutif. Pada 2018, sehari sebelum pensiun dari jabatannya, mantan presiden Ellen Johnson-Sirleaf menandatangani surat perintah yang melarang sunat perempuan di bawah umur 18. Setahun kemudian, presiden George Weah memperpanjang larangannya menjadi 12 bulan.

Tamba Johnson, pendiri He for She Crusaders Liberia, menerangkan, masyarakat adat masih memegang peranan besar di dalam negeri. Itulah sebabnya larangan sunat perempuan sulit terlaksana. “Ada banyak dinamika kekuasaan yang bermain dalam praktik FGM,” Johnson memberi tahu VICE World News. “Terutama di daerah pedesaan yang menjadikan partisipasi [di masyarakat tradisional] sebagai suatu kebanggaan. Status zoe dianggap memiliki otoritas tinggi.”

Esther mengamini pendapat Johnson. “Larangan [sementara] tidak efektif karena para pemimpin politik enggan mengakhiri praktiknya,” jelasnya. “Liberia akan mengadakan pemilu tahun depan, jadi mereka butuh dukungan dari masyarakat adat di daerah pedesaan.”

Mackins Pajibo, anggota Women Solidarity Incorporated yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Liberia, menyebut diperlukan upaya lebih besar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya FGM. Harus ada edukasi menyeluruh mengapa praktik sunat perempuan mesti diakhiri.

“Sampai saat ini, setiap zoe belum pernah diajak berdialog langsung mengapa larangannya perlu ditegakkan. Masih banyak orang yang tak tahu-menahu tentang larangan ini, atau mereka cuma mendengarnya sekelibat di radio, sehingga mereka berpikir penerapannya tidak akan efektif. Alasan lain adalah kurangnya reaksi publik atas kasus FGM yang terjadi selama larangan berlaku,” terang Pajibo.

Walau kaum perempuan telah mengalami kemajuan dalam menutup kesenjangan gender di Liberia, masih banyak hak-hak yang harus diperjuangkan. Dalam Laporan Kesenjangan Gender Global 2022, negara tersebut menduduki peringkat 78 dari 146 negara yang belum mencapai kesetaraan gender. Partisipasi perempuan di dunia politik tergolong masih rendah, hanya 11 persen, menurut data Bank Dunia pada 2021. Liberia juga baru tahun ini mengizinkan ibu menurunkan kewarganegaraannya kepada anak-anak mereka.

Namun, menurut Lakshmi Moore, memberlakukan larangan belum cukup untuk mencabut praktik sunat perempuan hingga ke akarnya. Guna menuntaskan masalah ini, pemerintah perlu memperbaiki sistem pendidikan negara yang kurang adil untuk perempuan. Pasalnya, kebanyakan anak perempuan di Liberia hanya memperoleh pendidikan tradisional.

“Di masyarakat yang praktik sunat perempuan masih merajalela, hanya segelintir orang yang bisa memperoleh pendidikan selain sekolah dasar. Kemiskinan menjadi endemi di sana,” ujar Moore. “Tidak ada cara gampang mengakhiri FGM. Bahkan jika kita menyediakan mata pencaharian alternatif sekalipun, itu belum cukup untuk mengatasi masalahnya. Kita juga harus menangani pendorong utama FGM bisa terjadi, serta memastikan perempuan bisa sekolah, memperoleh peluang ekonomi yang setara dan terlindungi dari kekerasan seksual.”