Berita  

Meski dari Keluarga Yahudi, Kami Berantem sama Ortu soal Isu Israel-Palestina

meski-dari-keluarga-yahudi,-kami-berantem-sama-ortu-soal-isu-israel-palestina

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgia.

Palestina telah bersitegang soal klaim wilayah dengan Israel selama lebih dari 70 tahun. Hubungan kedua negara merupakan isu yang sangat sensitif. Orang Yahudi sendiri tak banyak yang berani membicarakan permasalahan ini karena khawatir menyulut amarah keluarga.


Kebanyakan generasi tua Yahudi menganggap Israel sebagai surga dunia. Mereka bisa hidup aman tanpa mengalami diskriminasi. Di sisi lain, tak sedikit kalangan muda yang mencoba berdamai dengan keluarga setelah berselisih paham soal isu Israel-Palestina.

Empat pemuda Yahudi menceritakan apa saja yang telah mengubah pandangan mereka tentang politik Israel, dan bagaimana reaksi orang terdekat saat mereka menyampaikan opini yang berlawanan.

Deborah, 40 tahun, anggota LSM Yahudi Progresif Belgia.

Deborah
Deborah oleh Sébastien Fernandez

“Saya orang Yahudi Maroko,” tutur Deborah. “Ayah lahir di Maroko dan merantau ke luar negeri saat berusia 18.” Ada sekitar 270.000 umat Yahudi yang tinggal di Maroko sebelum Israel terbentuk pada 1948. Kebanyakan sudah hidup nyaman di sana, tapi pindah ke negara baru setelah diundang melalui kebijakan Aliyah. Ayah Debora juga tergoda.

Pada 1973, ayahnya bekerja di radio militer selama perang Yom Kippur. Beberapa tahun kemudian, dia berkenalan dengan perempuan Belgia saat naik bus dan memulai hidup baru di Eropa

Deborah sejak kecil belajar agama dengan pemahaman sekuler, sesuai tradisi Yahudi-Maroko. “Ayah zionis, dan saya diajarkan untuk berpikir seperti itu juga,” ungkapnya.

Deborah menemukan buku “Bienvenue en Palestine” (“Selamat Datang di Palestina”) saat berusia 25. Diterbitkan oleh penulis Yahudi-Prancis Anne Brunswic, buku itu membuka wawasannya tentang isu Palestina-Israel. “Saya baru sadar pemikiran Zionis tak lebih dari mitos.”

Deborah sangat dekat dengan sang ayah, “tapi kami tidak pernah bisa membicarakan Israel dengan santai.” Dia mengecam Israel yang melanggar hukum internasional — seperti membangun pemukiman di wilayah yang diduduki — dan kesal melihat dukungan yang mengalir dari negara-negara berpengaruh seperti Amerika Serikat.

“Israel melakukan tindak kekerasan setiap hari, bahkan tanpa pengeboman sekali pun. Sistem yang diterapkan pada warga Palestina sangat rasis, memalukan dan tidak manusiawi,” tegasnya. “Rumah dan tanah rakyat Palestina dirampas. Setiap hari, pemukim menebang pohon zaitun untuk menghilangkan jejak sejarah dan budaya kuliner [Palestina]. Ini tak ada bedanya dengan penjajahan.”

Deborah juga menyayangkan pemberitaan yang sering kali bias, terutama jika menyangkut Hamas. “Memang ada korban tewas di kedua belah pihak. Itu sangat mengerikan,” ujarnya. “Tapi ini [serangan Hamas pada pertengahan Mei] balasan atas pendudukan.”

Menurut Deborah, agama bukan akar masalahnya. “Ini bukan tentang Yahudi melawan Muslim. Klaim Israel bahwa mereka membela umat Yahudi sangat tidak masuk akal.” 

Ada risiko yang dihadapi Deborah karena mendukung hak-hak rakyat Palestina. Dia sering dituduh membenci Yahudi oleh keluarga dan orang di sekitarnya.

“Orang Yahudi yang menyebut anti-Zionis sama dengan antisemitisme telah menghina sejarah kita,” simpulnya.

Matéo, 24 tahun, jurnalis lepas.

Matéo
Matéo oleh Hichem Dahes

Matéo bukan orang Yahudi yang saklek, tapi tetap spiritual. Dia lahir di Prancis dari seorang ibu keturunan pied-noir Yahudi — keturunan Eropa yang lahir di Aljazair ketika masih menjadi koloni Prancis. Sementara itu, ayahnya berasal dari Martinique, wilayah seberang laut Prancis di Karibia. Keluarga ibunya tidak diterima di Aljazair, tapi mereka ragu untuk pindah ke negara lain di akhir perang kemerdekaan. Mereka akhirnya hijrah ke Israel setelah beberapa tahun tinggal di Marseille.

“Sejak kecil, keluarga ibu membicarakan Israel layaknya negara idaman mereka, baik untuk liburan maupun tempat tinggal,” terang Matéo. “Orang menyebut Tel Aviv sebagai New York-nya Timur Tengah.”

Berbeda dari keluarga besarnya, ibu Matéo justru lebih kritis terhadap negara tersebut. Ibu tidak pindah bersama mereka. “Banyak orang Yahudi di sekitar saya pergi ke Israel seolah-olah itu wajar dilakukan,” lanjutnya. “Tapi pada akhirnya, mereka menyadari tidak ada hubungannya dengan wilayah itu.”

Matéo sempat tergiur untuk melakukan perjalanan hak lahir ke Israel — tur wisata 10 hari untuk setiap orang Yahudi berusia 18-32 — tapi akhirnya tidak jadi karena merasa program jalan-jalan itu hanyalah sebuah propaganda.

“Sejauh pengamatan saya, [programnya] sengaja dirancang untuk berkenalan dengan orang Yahudi lain dan bergabung dengan komunitas di sana, atau bahkan menemukan jodoh dan menetap [di Israel].”

Memahami sejarah panjang keluarganya dengan kolonialisme, Matéo membentuk pandangannya sendiri tentang ketegangan Israel-Palestina dari perspektif anti-kolonial. “Saya menentang kebijakan perluasan Israel, tapi perlu diingat bahwa Palestina tidak pernah diakui sebagai negara sebelum Israel terbentuk,” katanya. “Tanah itu selalu diperebutkan.”

Pada 2018, Israel mengesahkan RUU negara-bangsa yang kontroversial. Beleid itu memberikan hak kepada umat Yahudi di Israel untuk menentukan nasibnya sendiri. Ini menandai titik balik bagi Matéo. “RUU-nya mengungkap logika di balik negara apartheid, menempatkan semua orang dalam hierarki,” ucapnya.

Matéo tidak setuju bahwa konflik ini tidak ada hubungannya dengan agama. “Orang Yahudi dan Arab telah bertempur memperebutkan kota suci [Yerusalem] sejak 1850-an,” dia melanjutkan. “Konfliknya selalu tentang penaklukan, dan wilayah pada khususnya.”

Dia menekankan tak semua orang Yahudi dan Israel mendukung kebijakan perluasan tersebut.

Dia yakin politikus sayap kanan Israel merusak prospek perdamaian, tapi pihak Palestina — Hamas dan Fatah — juga patut disalahkan. “Kita perlu mewaspadai naratif yang melihat dari satu sisi saja.”

Sarah*, 23 tahun, mahasiswi ilmu politik.

Sarah juga keturunan Yahudi Maroko. Kakek-nenek dari pihak ayah bermigrasi ke Israel pada 1960-an. Di sana, ayahnya jatuh cinta dengan mahasiswi pro-Palestina yang bekerja di kamp-kamp pengungsi Palestina.

Keluarga Sarah cukup sekuler, dan dia kerap menjadi satu-satunya orang Yahudi di lingkaran pertemanannya. “Diskusi tentang Israel sudah menjadi bagian dari masa kecil saya,” kenangnya. “Keluarga ayah di Israel condong ke kanan, meski mereka tidak lepas dari perlakuan rasis karena keturunan Maroko. Beruntungnya, ayah saya bisa kuliah dan belajar berpikir kritis. Ayah tidak sependapat dengan keluarganya — tapi situasinya juga sulit karena lahir di Israel dan menyaksikan kekerasan.”



Sarah merasa situasinya semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. “20 tahun lalu, masih ada harapan untuk hidup berdampingan secara adil,” terangnya. “Tapi semuanya berubah sejak Netanyahu kembali berkuasa. Saya sedih melihatnya.”

Menurutnya, pemerintahan Netanyahu bertanggung jawab atas tindakan pembersihan etnis dan perampasan tanah yang terus terjadi. “Israel tidak mau berdamai,” imbuhnya.

Sarah memahami alasan umat Yahudi merasa terikat dengan Israel. “Mereka mencuci otak kami bahwa tak ada tempat untuk hidup enak selain di Israel. Mereka bilang Israel membutuhkan kami,” dia berujar. “Mengaitkan agama dengan negara adalah konsep Eropa kulit putih. Padahal kalian bisa menjadi Yahudi di mana saja kalian berada.”

Omri, 33 tahun, managing director LSM Alliance4Europe.

Omri
Omri oleh Barney Roberts

Omri lahir di Israel, tapi keluarganya pindah ke Eropa saat dia masih kecil. Kakek-neneknya beragama Yahudi dan berasal dari Eropa. Keluarga kakek Omri dari pihak ayah dan ibu jadi korban kamp konsentrasi sebelum pindah ke Israel pada 1950-an. “Kalian terus berhadapan dengan konflik ketika tinggal di Israel — topik ini selalu dibahas,” tuturnya. “Di sekolah, kalian diajarkan naratif nasionalis kenapa orang Yahudi berhak hidup bebas di negara mereka.”

Dia sempat memercayai ini, sampai akhirnya dia berkenalan dengan orang Palestina dan menemukan sisi lain dari cerita tersebut. “Saya merasa setelah mendengar sudut pandang mereka,” ungkapnya. Dia setuju orang Yahudi berhak menentukan nasibnya sendiri, tapi bukan berarti mereka bisa mewajarkan penindasan dan kekerasan yang dialami orang Palestina.

“Pada 1990-an, banyak yang mengira akan ada kesepakatan damai. Orang-orang sangat optimis,” lanjut Omri. Perjanjian Oslo adalah kesepakatan yang ditandatangani oleh perdana menteri Israel saat itu, Yitzhak Rabin, dan ketua partai sekuler Fatah, Yasser Arafat, dari Palestina. Terjadi antara 1993 dan 1995, kesepakatan itu disusul serangkaian kekerasan — pembunuhan Perdana Menteri Rabin, intifada kedua dan kebangkitan Hamas di Gaza. “Semua kejadian itu mengguncang opini publik. Orang kehilangan harapan untuk meraih perdamaian,” jelasnya.

Omri berpendapat Benjamin Netanyahu, yang sudah beberapa kali memperoleh kekuasaan, memperburuk kebencian terhadap rakyat Palestina untuk memperkuat posisinya. “Dia mempersulit debat demokrasi.”

Palestina juga mengalami perebutan kekuasaan antara partai fundamentalis Hamas, yang menguasai Gaza dan bertanggung jawab atas serangan terhadap Israel, dan partai sekuler Fatah yang mengendalikan Palestina. Ketua partai Fatah, Mahmood Abbas, menunda pemilu Palestina karena takut kehilangan kekuasaan. “Kedua belah pihak menderita karena permainan politikus — mereka mempermainkan nyawa rakyat,” kata Omri.

Omri beranggapan Israel dan Palestina menghadapi situasi dari segi ketakutan. “Di satu sisi, Israel melihat Palestina sebagai ancaman yang ingin memusnahkan Yahudi seperti Nazi dulu,” jelasnya. “Sementara itu, menghidupkan kembali masa lalu penjajahnya.”

Tetapi pada akhirnya, kedua belah pihak punya banyak kesamaan. “Israel takkan pernah aman selama Palestina belum bebas dan demokratis. Palestina takkan pernah bebas dan demokratis selama Israel belum aman.”

*Nama telah diubah untuk melindungi privasinya.