#Part 1
Oleh : @Sofyan Mohammad
LIPUTAN4.COM, Kabupaten Semarang – Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu.
Kami yang lahir pada paruh tahun 1980an adalah masa transisi antara cara hidup konvensional menuju cara hidup yang lebih modernis. Era itu hampir setiap rumah di depan ruang tamu pasti ada gambar garuda Pancasila posisi ditengah tengah. Di posisi sebelah kanan ada foto Presiden yang selalu senyum menawan. Yah dialah Presiden H. M. Soeharto seorang presiden yang sejak kami lahir hingga dewasa fotonya selalu terpampang tidak tergantikan. Media asing menjulukinya The Smalling General.
Disebelah kiri gambar Garuda Pancasila ada foto bapak Wakil Presiden yang kami ingat fotonya yaitu Pak Sudharmono hingga Pak Try Sutrisno. Konon semuanya adalah para Jendral Militer sebab Era itu disebut Era Orde Baru (Orba). Saat itu disebut sebut peran militer memang memiliki dua fungsi yaitu dibidang hankam dan pemerintahan. Hingga pemimpin eksekutif pemerintahan pusat hingga daerah di pimpin oleh sosok Militer.
Benar saja era itu di desa keamanan cukup terjamin. Kami anak anak kecil sekolah SD minimal harus dapat menghafal sila sila dalam Pancasila. Untuk itulah gambar Garuda Pancasila selalu terpasang di dinding ruang tamu setiap rumah. Sehingga kami saban hari pasti membacanya hingga tanpa sadar kami dapat menghafalnya.
Profesi Militer adalah profesi yang selalu menjadi cita cita anak anak era itu. Menjadi tentara adalah impian anak dan orang tua. Sosok Militer adalah sosok yang sempurna selain berpenampilan gagah, berwibawa juga menjamin masa tua yang sejahtera sebab jika karirnya bagus juga bisa menjadi Kades, Bupati, Gubernur, Menteri hingga Presiden.
Jika ada anak muda bisa masuk Militer maka yang bangga bukan hanya keluarganya namun juga warga desa itu menjadi bangga. Bahkan bisa menjadi agol agol semacam tameng bagi warga desa.
Pada masa kecil saya didesa nampaknya hampir semua anak punya cita cita menjadi tentara hal itu terlihat ketika ada pawai tujuh belasan agustusan maka pakaian yang dikenakan rata rata berbau Militer ada seragam
Polisi, Angkatan Darat, Laut maupun Udara.
Baju baju bergaya Militer itu apabila bisa terbeli berarti orang tua anak memiliki lahan yang cukup luas, memiliki hasil panen yang melimpah atau jumlah pohon nira yang disadap pastilah banyak.
Baju seragam militer bagi kami dulu anak anak didesa adalah baju impian. Biasanya bagi orang tua yang mampu membeli baju tersebut akan dibeli pada saat mau menjelang lebaran. Agar multi fungsi selain sebagai baju baru saat merayakan hari raya, baju tersebut bisa menjadi baju andalan untuk diajak menghadiri acara acara penting yaitu jagong, hajatan atau berpergian jauh dan yang paling dinanti nantikan adalah untuk acara pawai 17an Agustus yang rutin dilaksanakan setiap tahun.
Baju Hansip juga termasuk varian baju Militer. Sehingga pak Hansip yang ada didesa kami adalah orang yang dianggap terhormat sebab selalu ada dalam setiap kegiatan desa mulai acara resmi desa, acara bungah susah warga desa hingga ada permasalahan apapun didesa perangkat Hansip didesa selalu tampil didepan.
Organ sipil bergaya Militer ini juga menjadi salah satu alternatif cita cita anak anak desa waktu itu. Sehingga ketika ada temen kami seusia yang kebetulan orang tuanya menjadi anggota Hansip maka kami pun ikut segan terhadap temen kami tersebut.
Didesa waktu itu hanya kami berdua yang rupa rupanya tidak punya cita cita menjadi anggota Militer. Saya sendiri tidak tertarik menjadi anggota Militer karena waktu itu badan saya kurus kecil dan dekil tidak ada potongan menjadi anggota Militer, hingga saya sudah tidak memiliki kepercayaan diri sama sekali untuk masuk sebagai anggota militer yang dibutuhkan badan kekar dan berotot.
Temen sohib yang biasa saya panggil Kencuk juga sama tidak sedikitpun mau mengantungkan cita cita untuk menjadi anggota militer. Berkali kali dia menyampaikan alasanya karena badannya yang kecil dekil berpostur pendek ipel ipel – cempluk. Bagi kami berdua kondisi fisik ini menjadi alasan yang paling logis untuk sama sama tidak tidak ikut ikutan terobsesi menjadi anggota Militer.
Gaya kepemimpinan orde Baru yang cenderung militeristik telah menciptakan demam Militer didesa desa. Para pemimpin kami yang rata rata berlatar belakang militer juga menjadikan kami warga desa harus patuh pada setiap aturan yang dicanangkan pemerintah.
Warga desa rata rata berprofesi sebagai petani dan penyadap nira yang lugu dan tidak berpengalaman, tidak ada yang berani neko neko terhadap segala kebijakan pemerintah.
Slogan populer yang bersumber dari pemerintah waktu itu siapa yang mbalelo akan hilang atau dikarungi menjadi cambuk keras dalam ingatan warga desa. Karena itu agar dapat menyampaikan pendapat, maka terlebih dahulu harus menjadikan anggota keluarganya menjadi anggota Militer. Baru lah anggota Militer tersebut dapat dijadikan penyambung aspirasi untuk menyampaikan pendapat kepada pemerintah.
Demam militeristik sampai pada relung imajinasi anak anak. Film bergenre Militer semacam Rambo hingga serial film Chip yang dimainkan oleh komedian Warkop DKI (Dono, Kasino dan Indro) menjadi film andalan dan sumber inspirasi untuk permainan.
Film Chip sangat populer dikalangan anak anak desa waktu itu. Adegan per agegan sangat dihafal oleh anak anak desa. Maryono saking ngefansnya sama sosok Dono karena merasa memiliki kesamaan tentang giginya yang tonggos. Terobsesi untuk dipanggil namanya Dono. Tapi temen temen menganggap tidak sesuai hingga suatu malam kita berlima di Geng Sawo menggelar rapat khusus untuk memberi nama panggilan bagi Maryono.
Habis sholat maghrib di Masjid kita buru buru menuju markas besar dibawah pohon Sawo. Saya datang bersama sibenggal Kencuk disana sudah berkumpul Mbah Ocoor (Munadak), Kothe (Jumar) dan Maryono sendiri.
Tanpa basa basi Kencuk langsung membuka rapat dan mengusulkan nama panggilan Maryono dengan sebutan mrongos, kothe mengusulkan sebutan nyengkreng saya sendiri mengusulkan sebutan nganthol dan Mbah Ocoor mengusulkan nama Boneng Giliran Maryono ditawari apa nama sebutan yang paling cocok dari usulan usulan itu Maryono terdiam cukup lama setelah itu dengan suara paruh tetap memilih nama Dono. Pokoknya Dono begitu berkali kali kata yang disampaikan oleh Maryono.
Kencuk ambil langkah tegas dengan menyampaikan ” Jangan pakai nama Dono tidak cocok buat kamu. Saya sudah konsultasi sama mbah Jiyat setelah buka Primbon jelas nama itu akan membawa sial untuk kamu..!” katanya berapi api.
Semua terdiam, Maryono terlihat menekuk muka. Mbah ocoor langsung menepuk nepuk pundak Maryono seperti memberi pengertian. Kothe lantas mengajukan pertanyaan ” klo begitu sebaiknya kita bertiga berembuk dulu mencari nama terbaik bagi Maryono”. Aku dan mbah Ocor kompak menyahut sambil berkata ” ok”. Giliran Kencuk memberi kode agar kita bertiga keluar dari markas pohon Sawo.
Aku mulai mengikuti, diikuti pula oleh Kothe dan Mbah Ocor hingga kami sampai dikandang wedus dibelakang rumah mbah Ocor ” konco konco semua aku sudah sejak sore minta saran pendapat dengan mbah Jiyat. Tentang nama baik yang sesuai dengan wajah dan weton Maryono seperti usulan mbah ocoor itu yaitu Boneng nama itu sangat cocok bagi dia. Bagaimana menurutmu semua” Kami semua mengangguk percaya pada Kencuk. Kita paham betul jika Kencuk adalah cucu kesayangan Mbah Jiyat yang sudah terkenal ampuh dan mujarab setiap kata katanya.
Karena sudah sepakat maka kami bertiga kembali ke markas Sawo. Tanpa basa basi lagi kencuk langsung mendekati Maryono dengan menepuk pundaknya sambil berkata ” kami bertiga sudah sepakat akan memberi nama parapan (panggilan) untukmu yang sesuai buat kamu. Selamat yang dulur..!! mulai detik ini kamu memiliki nama panggilan BONENG!!! sehingga mau tidak mau itu nama panggilan buat kamu selamanya
Maryono hanya mengangguk tanpa protes apapun. Kami berempat berangkulan. Tak lama selesai itu tanpa ada komando kami langsung keluar dari markas pohon sawo dan hanya meninggalkan Maryono yang duduk mojok di bawah pohon sawo yang teduh itu.
Kothe berlari kearah rumahnya diikuti Kencuk. Saya juga mengikuti Mbah Ocor berlari masuk rumahnya bagian pawon atau dapur lewat pintu samping. Saya diberi tugas mbah occor untuk membantu mengambil air comberan di emperan sumur belakang rumah. Dengan menahan bau busuk air comberan itu, sambil memegang ember sedangkan mbah ocor mengais ais air dengan menggunakan batok tempurung kelapa yang dibelah dua. Setelah ember terisi penuh dengan air comberan kami angkat berdua kearah gubuk pohon sawo depan rumah.
Kothe dan Kencuk sudah ada disitu dengan membawa gayung yang berisi peralatan mandi, termasuk handuk dan sarung. Kencuk bergegas menemui Maryono ” ayo cepat kita laksanakan upacara wisuda diair Pancur randu alas sebelum adzan Isyak berkumandang kita harus sudah sampai masjid “
Terlihat Maryono turun dan beranjak berjalan. Kami berempat berjalan beriringan sambil bergantian membawa ember penuh air comberan. Kita berjalan cepat. Maryono hanya tertunduk mukanya sambil berjalan cepat paling depan. Sesampainya di air Pancur Randu Alas Maryono langsung melepas bajunya semua dan berganti sarung yang sudah dipersiapkan oleh kothe.
Kencuk langsung maju dan bilang ” bissmilahirohmanirokhim.. mulai dino iki sah lan kobul parapan jeneng Maryono dadi Boneng. Banyu peceran iki pinongko tetenger dadi dalane pangeling eling upacara mbengi iki.. Demikian kata kata yang diucapkan kencuk seperti merapal mantra sambil mengguyurkan air peceran dengan gayung ke kepala Boneng beberapa kali.
Boneng terlihat megap megap, gayung siwur diserahkan kesaya giliran harus mengguyur boneng dengan air comberan. Sebenarnya saya ngak tega sebab saya sendiri sejak awal sudah tak tahan dengan busuknya bau air comberan itu. Namun karena sudah menjadi keharusan dengan menutup hidung saya tetap menguyurkan air comberan itu mulai dari kepala Boneng yang terlihat pucat pasi. Neng iki banyu peceran dadi tetenger mulai dino iki aku nyeluk awakmu kanti jeneng Boneng
Boneng telihat menganggukan kepalanya dan gayung langsung saya serahkan kepada Kothe. Tanpa basa basi Kothe langsung mengublak air comberan di dalam ember yang terlihat masih separo. Bau busuk langsung menyengat. Kami semua menutup hidung dan Boneng mendongakan mukanya keatas dan terlihat menarik napas yang panjang. banyu peceran iki dadi pangeling eling mulai dino iki ojo nesu yen aku nyeluk awakmu kanti jeneng Boneng…! kata Khote sambil mengguyurkan air comberan tersebut dengan gayung kesekujur tubuh Boneng.
Boneng terlihat megap megap dan nampak mau muntah. Tanpa menunggu komando Mbah Occor langsung merebut gayung yang masih dibawa Kothe selanjutnya digunakan untuk mengublak sisa air comberan didalam ember. Nooo sudah sepantasnya nama Boneng menjadi nama panggilanmu aku sudah berfikir lama maka mulai malam ini dan seterusnya saya akan memanggilmu dengan nama Boneng, ojo nesu ojo ngamuk malah kudu semangat ya..! Banyu peceran iki kanggo piranti Maryono dadi Boneng. Langsung tanpa ampun mengguyurkan air comberan itu dengan ember sekali guyur dari atas kepala Boneng.
Kami semua menyingkir menghindari cipratan air berbau busuk itu. Boneng terlihat beranjak duduk dan mulai muntah muntah.
Kencuk yang bertindak selaku pawang langsung memerintahkan saya dan Kothe untuk menuruni anak tangga menuju air pancuran randu alas sambil membawa peralatan mandi.
Mbah ocor menuntun Boneng menuruni tangga. Sesampai di air pancur. Kencuk berujar seperti merapalkan mantra Bismillahirohmanirokhim soko ijine Allah SWT kulo nyuwun danyang mbahurekso randu alas iki mangestuni putumu Maryono mulai bengi iki jeneng parapan dadi Boneng..! sambil menyuruh Boneng untuk mandi dibawah air pancuran randu alas yang terkenal wingit itu.
Cahaya bulan malam itu berarak dalam selimut mega mega. Bunyi jangkrik dan kodok bersahutan dalam harmoni gemericik air pancur randu alas yang mengalir deras dalam desing angin berhembus menggugurkan daun daun kering. Bintang gumintang di langit seperti ikut larut dalam malam pentasbihan dan wisuda nama panggilan Maryono menjadi Boneng
Boneng setelah selesai mandi dan berganti pakaian maka di Toa masjid terdengar keras Lek Sumar dengan suara melengking telah memanggil kita dengan adzan Isya. Kami bergegas bahkan berjalan buru buru menuju masjid.
Kami berempat sampai di serambi masjid jamaah sholat isya sudah akan dimulai. Terlihat mbah Kyai Jadid sempat memelototi kami sebelum memulai mengimami sholat.
Selesai sholat berjamaah kami berlari menuju pos kampling yang terletak dibelakang Masjid. Kami berempat mengkoordinir anak anak yang tadi berada di Masjid agar ikut berkumpul di perempatan depan Pos Kampling. Setelah semua anak anak berkumpul Kencuk langsung berdiri ditengah tengah memberi pengumuman. dulur kabeh mulai dino iki sudah sah dan kobul karena sudah dilakukan wisuda nama panggilan Maryono menjadi Boneng sehingga mulai detik ini semua harus memanggil Maryono dengan panggilan Boneng yang tidak setuju maju berhadapan dengan saya..!!
Semua terdiam sejenak lantas satu persatu mendekati Boneng yang berdiri berdampingan dengan Kencuk. Ada yang menjabat tangannya dan ada yang memeluk sambil mengucapkan selamat selamat ya Neng diikuti senyum sumringah dari Boneng
Demikian malam itu 14 Juli 1993 telah berlangsung acara wisuda pemberian nama panggil Maryono menjadi Boneng.
Boneng adalah salah satu diantara nama panggil yang sudah melalui prosesi wisuda yang lazim di desa kami waktu itu. Nyaris semua teman teman di Desa memiliki nama panggil yang lucu lucu yang masih lestari hingga sekarang.
Nama nama parapan/ Panggilan itu akan menjadi sesi sesi yang menarik dalam kisah petualangan kami melalui Geng Sawo pada masa kecil di desa.
Bersambung……………………….
coming soon kisah kisah lucu berikutnya melalui petualangan masa kecil kami dalam Geng Sawo
Melalui sesi sesi yang konyol, jenaka, menggemaskan namun adalah suatu ingatan yang mempesona..
Berita dengan judul: Merindukan Kehidupan Masa Kecil Di Desa Melalui Geng Sawo, Edisi Wisuda Pemberian Nama Panggilan Boneng pertama kali tampil pada Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. Reporter : Jarkoni