Pemerintah Tiongkok tidak bersedia mengecam tindakan Rusia menggelar operasi militer ke Ukraina, sebagaimana dilakukan mayoritas pemimpin negara besar lainnya. Meski demikian, Beijing cukup berhati-hati menjauhkan diri dari kesan mendukung sepenuhnya manuver Presiden Vladimir Putin.
Dalam jumpa pers 24 Februari 2022, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chunying, enggan menyebut operasi militer Rusia sebagai “invasi” ke wilayah Ukraina. Tiongkok menganggap apa yang terjadi selama 24 jam terakhir adalah eskalasi konflik dipicu oleh faktor-faktor geopolitik rumit antara Rusia-Ukraina selama delapan tahun terakhir.
“Kami meminta setiap pihak yang terlibat dalam konflik tersebut agar menahan diri,” ujar Chunying. Sang jubir sekaligus menyebut Tiongkok menganggap operasi militer itu adalah keputusan internal Moskow, secara tidak langsung menyatakan Tiongkok kali ini tidak mendukung manuver negara sekutu mereka.
“Tiongkok selalu menyerukan pada kedua pihak yang berseteru untuk menghormati kepetingan keamanan masing-masing, menuntaskan persoalan melalui dialog, serta senantiasa menjaga stabilitas kawasan,” ujarnya.
Di tengah sikap berhati-hati itu, Tiongkok memilih menyalahkan Amerika Serikat, sebagai aktor luar yang paling berperan menyebabkan konflik meruncing antara Rusia-Ukraina Terutama, karena AS rutin memasok senjata ke militer Ukraina, serta mendorong negara tersebut untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
“Pertanyaan mendasarnya sekarang, apa peran yang akan diambil Amerika Serikat, yang sejak dulu menyulut ketegangan di Ukraina, dalam krisis terbaru ini?” ujar Chunying.
Langkah Rusia menggelar operasi militer frontal ke wilayah Ukraina, dengan menembakkan roket ke kota-kota besar Ukraina serta mengirim ratusan tank serta prajurit ke wilayah negara tetangga mereka, membuat Tiongkok berada dalam posisi serba salah. Apalagi pemicu konflik ini adalah keputusan Presiden Putin mendukung kemerdekaan dua provinsi separatis di kawasan timur Ukraina awal pekan ini.
Separatisme adalah isu yang tidak pernah didukung Tiongkok, mengingat mereka punya beberapa wilayah internal, seperti Tibet atau Xinjiang, yang mengalami problem serupa. Tiongkok juga bukan pendukung intervensi asing terkait urusan dalam negeri. Dari dua faktor tersebut saja, langkah Putin sudah bertentangan dengan asas politik luar negeri Beijing.
Namun, di saat bersamaan, Tiongkok cenderung konsisten membela negara yang memiliki kepentingan melawan hegemoni negara-negara Barat. Pengamat politik luar negeri meyakini Tiongkok akan bersikap senetral mungkin, membiarkan Rusia menyelesaikan sendiri kisruh dengan Ukraina.
Kalaupun memberi dukungan, Tiongkok bakal bermanuver lewat kebijakan ekonomi. Komitmen dukungan lewat ekonomi itu setidaknya sudah terlihat, setelah awal bulan ini petinggi Tiongkok meneken kesepakatan pembelian minyak dan gas dalam jumlah besar dari Rusia.
Wen-Ti Sung, pengamat polugri Tiongkok dari Australian National University, menyatakan Beijing akan mengamati dulu jalannya konflik di Ukraina, termasuk memantau apa saja tindakan Rusia selama operasi militer, sebelum menentukan sikap lebih tegas.
“Tiongkok jelas terlihat tidak ingin dipandang sebagai pendukung agresi Rusia di Ukraina. Di saat bersama, Tiongkok tetap ingin dianggap sebagai mitra Rusia yang bisa dipercaya, karena dukungan Rusia amat mereka butuhkan suatu saat,” urai Sung.
Kedutaan Besar Tiongkok di Ukraina sejauh ini tidak meminta warganya pulang atau keluar dari negara tersebut. Warga Tiongkok yang berada di zona konflik hanya diminta untuk berdiam di rumah, serta menjauh dari jendela atau bangunan kaca.
Media massa di Tiongkok, yang mayoritas dikendalikan langsung oleh Partai Komunis Cina, sejauh ini cukup obyektif memberitakan jalannya konflik di Ukraina, termasuk menyebutkan potensi sanksi yang bisa menimpa Rusia dari dunia internasional. Meski begitu, mayoritas media memposisikan operasi militer ini sebagai imbas dari persaingan pengaruh antara Rusia dan Amerika Serikat di kawasan Eropa Timur.
Berbeda dari Beijing, pejabat Taiwan secara tegas memberi dukungan terhadap Ukraina. Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, mengaku “bisa bersimpati pada apa yang dialami oleh rakyat Ukraina.” Sebab, seperti Ukraina, Taiwan adalah negara yang rutin mengalami ancaman invasi dari tetangganya yang lebih kuat, yakni Tiongkok.
Tiongkok selalu menganggap Taiwan bukan negara berdaulat, melainkan provinsi mereka yang membangkang. Insiden di Ukraina membuat banyak orang Taiwan khawatir negara mereka bisa mengalami invasi serupa oleh militer Tiongkok. Namun, berbeda dari konflik Rusia-Ukraina, serangan macam itu punya ongkos politik yang sangat serius.
Taiwan, sejak berakhirnya Perang Dunia II, mendapat dukungan politik yang amat kuat dari Amerika Serikat. Taiwan bahkan termasuk sekutu militer paling strategis bagi Negeri Paman Sam di kawasan Asia Pasifik. Berbeda dari Ukraina, invasi ke Taiwan sudah pasti akan memicu konflik terbuka antara Tiongkok-AS. Presiden Tiongkok Xi Jinping, diyakini pengamat tidak akan sembrono memanfaatkan preseden di Ukraina melancarkan serangan terbuka demi merebut kembali Taiwan di masa mendatang.
“Beijing tidak akan mengambil sikap apapun meski Taiwan secara terbuka mendukung Ukraina dengan dasar kesamaan nasib,” ujar Sung.