Ada banyak label yang lekat dengan Gen Z. Mereka adalah kelompok melek teknologi dengan pengetahuan internet di genggaman sejak dini, peduli dengan perubahan iklim melebihi para pendahulunya, semakin terbuka atas isu kesehatan mental, terancam tidak bisa membeli rumah sendiri akibat inflasi gila-gilaan di sektor properti, dan identik dengan jam kerja fleksibel secara remote.
Nah, bagi yang memutuskan untuk memiliki anak, menjadi ayah dan ibu adalah peran terbaru yang sudah diemban Gen Z. Kami tak mendapat data jumlah Gen Z di Indonesia yang telah menjadi orang tua, namun di Amerika Serikat pada 2019, ada 1 ortu Gen Z di tiap 10 ortu. Well, milenial dan boomer harus menerima kenyataan bahwa Gen Z bukan anak kecil lagi. Para zoomer, salah satu sebutan populer untuk generasi ini, banyak yang mulai bertanggung jawab atas nyawa manusia lain.
VICE lantas ngobrol bersama empat orang Gen Z untuk mendengarkan cara masing-masing menjalankan perannya sebagai orang tua muda. Dengan keterbukaan informasi yang dimiliki saat ini, serta perkembangan nilai-nilai hidup yang terjadi sepanjang hidup mereka, kami ingin merekam gaya pengasuhan apa saja yang ingin mereka tiru dan mana yang mereka buang.
Sebagai disclaimer, setidaknya ada dua aliran dalam pengelompokan Gen Z berdasarkan berbagai studi. Pertama, memakai rentang kelahiran 1995-2010. Kedua, memakai rentang 1997-2012. Badan Pusat Statistik Indonesia termasuk yang memakai rentang kedua. Dengan rentang tersebut, menurut Sensus Penduduk 2020 ada 74 juta Gen Z di Indonesia, menjadi mereka kelompok terbesar dibanding generasi lain.
Dalam artikel ini kami memakai rentang 1995-2012 biar mencakup kedua rentang tadi. Ini membuat calon narasumber kami maksimal berusia 27 tahun (Gen Z udah cukup tua kan). Berikut hasil wawancaranya.
VICE: Hal apa yang tidak ingin kamu tiru dari cara parenting orang tuamu dulu?
Dati Sacia (26), anak satu usia 3 tahun, karyawan swasta: Aku ngerasain banget yang namanya anak perempuan di keluargaku itu pasti apa-apa harus serbabisa, meanwhile anak laki-laki kadang enggak dikasih tugas rumah tangga apa-apa gitu, kayak ngebantuin cuci piring, nyapu, atau masak. Bener-bener anak laki-laki itu seorang raja dan itu bener-bener buatku jengkel pas aku dewasa. Kayak pas lampu mati atau mesin air mati, masak mesti selalu aku yang beresin?
Hal-hal kayak gitu yang aku obrolin sama suami. Anak kami harus setara, [laki-laki ataupun perempuan] harus mau nyuci piring, harus mau nyuci baju, harus mau anterin orang tua ke pasar. Pokoknya tugasnya kita bagi rata soal tanggung jawab.
Sandra Mariska (22), anak satu usia 1 tahun, akuntan: Banyak melarang, terutama soal makanan dan keaktifan anak. Misalnya dilarang makan es krim atau dilarang naik tangga. Aku membolehkan es krim tapi dalam porsi terpantau, sama halnya dengan naik-turun tangga.
[Orang tuaku] juga mempercayai mitos-mitos. Misalnya, ibu menyusui tidak boleh makan pedes nanti anaknya mencret. Itu kan mitos ya.
Azzahra Namira (25), anak satu usia 5 bulan, ibu rumah tangga: Anger issue deh kayaknya. Papa dan mamaku modelnya keras gitu. Kalau ngasih tahu anak-anaknya tuh suka keras cenderung ngebentuk dan mereka enggak sadar kalau ngomongnya itu ngebentak. I’d like to break the chain. Aku sadar kalau lagi capek atau emosi juga bentak-bentak enggak sadar. Jadi, sejak Jennaira lahir, misalkan aku lagi capek banget, pasti minta tolong keluargaku di rumah untuk handle dia.
Ayu Pratiwi (23), anak dua usia 1,5 dan 2,5 tahun, ibu rumah tangga: Terlalu sibuk bekerja. Karena dulu ibu saya dari pagi sampai malam itu dia full kerja karena semua tanggung jawab itu yang megang ibu saya.
Kalau hal yang ingin kamu tiru dari cara parenting orang tuamu?
Dati: Papaku itu ngasih pilihan ke anak-anaknya. Dulu kakakku mau kuliah di mana, kamu sukanya apa, terus di-support. Mamaku sabaran banget, banget. Jadi, menurutku aku pengen nerapin hal yang sama ke anak. Tentang keterbukaan dan bertanggung jawab. Gimana kasih pilihan dan mendengarkan [keinginan] mereka.
Sandra: Tidak mematok anak untuk jadi seperti apa atau menjadi apa dalam hal pekerjaan. Dulu, aku disarankan jadi guru, tapi aku enggak mau, terus yaudah enggak apa-apa gitu. Aku jadi akuntan murni aku sendiri yang memutuskan.
Zahra: Menjadikan anak sebagai prioritas utama. Orang tuaku bener-bener prioritasin anak-anaknya dibanding urusan mereka. Mereka ngurusin anak-anaknya enggak kenal batas usia. Seperti orang tuaku, aku juga pengen banget bisa ngurus dan selalu ada untuk Jennaira sampai dia udah besar.
Ayu: Orang tuaku enggak pernah main tangan dan membentak anak-anaknya. Semua diomongin baik-baik. Itu sih.
Dengan ragam pekerjaan yang terus muncul, gimana kamu membayangkan pekerjaan anakmu di masa depan?
Dati: Dulu patokan untuk anak-anak berhasil itu sekolah di institusi negeri, sekolah dinas, STAN-PNS gitu kan. Tapi sekarang kan udah macem-macem. Kadang-kadang kita juga bingung kan cara ngasih tahu kerjaan kita ke orang tua sendiri. Nah, aku dan suami sepakat untuk kasih kebebasan karier apa pun yang akan Kina pilih nanti. Mau berkarier apa pun, kita dukung. Suamiku juga kerja di dunia kreatif. Dia pernah nyeletuk kalau Kina emang anak seni, biarin aja. Kalau mau misalnya kuliah di IKJ, yaudah dikasih aja meskipun suamiku bilang di IKJ isinya “orang gila” semua, hahaha….
Sandra: Bebasin sih, tapi dalam pantauan. Aku bakal arahin dia [begitu] dia [tahu] mau jadi apa.
Zahra: Aku enggak ada keinginan tertentu sih dia punya profesi apa karena pekerjaan di masa depan pasti bakal lebih beragam dibanding sekarang. Aku pribadi pengen Jennaira bisa explore dan nemuin sendiri apa pekerjaan yang menurut dia cocok untuk dia, selama itu baik dan positif.
Ayu: Enggak mau terlalu ngontrol anak saya mau kerja apa. Ortu saya menginginkan saya bekerja ini-itu, saya enggak mau. Jadi, saya lebih memosisikan diri ke anak saya juga seperti itu.
Apakah pendekatan agama hadir di caramu membesarkan anak?
Dati: Aku dan suami bukan pasangan yang religius-religius banget. Kami tetap mengedepankan agama yang sedang kami percayai ini untuk diajarkan ke anak. Tapi, seandainya nanti dewasa Kina mau memilih untuk keluar dari kepercayaan yang dia anut dari kecil, mau memilih jalannya sendiri soal agama, yaudah enggak apa-apa. Walaupun mungkin berat ya dan mungkin dapat sanksi dari keluarga besar. Cuma aku dan suami kayak yaudah terserah gitu, kami enggak mau bikin anak-anak kami jauh dari kami nantinya.
Sandra: Aku ajarin sejak dini. Kalau sekarang baru kayak lihat aku solat. Mungkin nanti kalau udah ngerti mungkin aku bakal ajarin sekalian ngasih edukasi tentang agama.
Zahra: Aku lahir dari keluarga agamis, jadi aku ngerasa agama itu perlu diajarin sejak dini untuk bantu perkembangan anak dalam bersikap. Aku enggak berharap anakku jadi alim banget, tapi seenggaknya dia bisa pisahin mana yang benar dan salah menggunakan pedoman agama. Aku ingin kenalin ke dia siapa penciptanya, apa aja kebesaran Tuhan, dan sebagainya. Aku ingin Jennaira selalu inget bahwa di setiap ups and downs hidupnya selalu inget Tuhan yang bikin semua hal jadi mungkin.
Ayu: Anak-anak sejak kecil udah ngeliat orang tuanya solat-mengaji, dan mereka aktif menirukan. Meskipun belum paham, cuma sudah mulai mencari tahu apa itu solat, gimana gerakannya, anak pertama udah mulai diajarin ngaji. Yang kecil [anak kedua] baru ingin tahu aja, belum mau ikut belajar.
Udah mikirin soal caramu menyekolahkan anak?
Dati: Anakku sekarang umur tiga tahun, misalkan ada rejeki tahun depan pengen aku masukin ke preschool. Aku dan suami sekolah negeri dari kecil, tapi kayaknya kami akan masukkin Kina ke sekolah swasta. Meskipun enggak menjamin lingkungan yang lebih baik, tapi dari survei kami, sekolah swasta kayaknya lebih memperhatikan muridnya secara perseorangan. Itu yang aku butuhin nanti, aku ingin banget tahu perkembangan anakku setiap harinya, minggunya, bulannya.
Aku ingin ngenal anakku baik dan buruknya, dan itu pasti dimulai salah satunya dari sekolah. Enggak masalah sih sekolah swasta Islam atau Kristen, yang aku fokusin lebih ke kurikulumnya gimana.
Sandra: Aku mau sekolahin anak umur 4 tahun di PAUD. Kalau SD-SMP-SMA seperti apa aku belum kepikiran sampai situ.
Zahra: Aku excited banget untuk ajak Jennaira ke baby class karena dulu suka kepoin tentang sensory play gitu, hahaha. Aku mau join baby class tapi enggak untuk rutin. Aku cuma pengen supaya Jennaira ketemu orang lain selain orang rumah, maklum ya bayi pandemi.
Sekolah formal pengennya usia 4 tahun pas masuk TK, jenis sekolahnya pengennya sih internasional karena udah puny gambaran: masuk SD dan SMA Islam, SMP negeri.Emang lebih mahal tapi sebanding dengan kualitas yang diberikan kayak kurikulum, fasilitas, dan lingkungan sosial sekolahnya.
Ayu: saya juga bingung mau disekolahin umur berapa, masih cari tahu apakah PAUD penting untuk anak-anak seusia 3-4 tahun. Menurut saya, usia segitu masih perlu main-main, tapi kebanyakan sekarang PAUD mirip TK, sudah mulai menulis-membaca. Jadi, masih saya pertimbangin sih. Kalau SD-SMP-SMA saya sih inginnya ke negeri, kalau bisa di kota aja karena menurut saya lebih maju daripada di desa.
Apa yang paling kamu khawatirkan dari masa depan anakmu kelak?
Dati: Aku takut banget anakku jadi pribadi yang kurang berani menghadapi dunia, enggak bisa berbaur dengan dunia. Aku takut dia jadi pribadi yang kecil hatinya. Mungkin itu ya tugas kami dari kecil agar dia percaya sama dirinya sendiri dan mudah beradaptasi. Aku sama suami akan selalu nerima dia enggak cuma karena dia baik, tapi juga buruknya dia.
Sandra: Khawatir banget masalah pergaulan di era digital, anak kan susah dikontrol.
Zahra: Ini lucu sih. Aku khawatir kalau nanti Jennaira udah tua siapa yang ngurus, terus yang ngurusin dia bakal sabar enggak ya kalau dia rewel.
Ayu: Terjerumus di pergaulan yang enggak keruan. Takut mereka enggak memahami harus memilih teman seperti apa. Takut mereka kenal dengan teman-teman yang enggak baik di sekolah.
Kalau hal di masa depan anakmu yang kamu paling enggak sabar untuk melihatnya?
Dati: Enggak sabar dia tumbuh dewasa, mendalami hobi apa, menekuni apa gitu. Dia bakal buat apa ya dari hal-hal yang dia cinta. Dia akan menjadi manusia yang seperti apa, apakah banyak ingin tahu, ambisius, atau biasa-biasa saja. Apakah nanti akan suka seni, jadi sutradara film? Enggak sabar melihat apa yang bakal dia sumbangkan di sekolah, di masyarakat. Enggak berharap banyak sih, cuma kami akan dukung dia sekuat tenaga soal apa yang dia suka sampai nanti berhasil.
Sandra: Ingin melihat dia jadi orang yang bisa diandalkan, entah oleh teman-temannya maupun keluarganya.
Zahra: Aku enggak sabar liat Jennaira achieve apa yang dia suka dan dia being happy dengan pilihan hidupnya, selama itu positif.
Ayu: Saya udah enggak sabar melihat anak saya sukses, insya Allah. Tidak harus mengekang bekerja ini-itu, tapi harus baik dan halal.
Gimana kamu memperlakukan jatah screen time ke anak?
Dati: Aku ngasih screen time ke Kina dari umur 1 tahun. Itu bertahap, kayak sehari aku ngasih dia 5 menit sampai akhirnya pas umur 2 tahun aku mulai kasih 10-15 menit. Tapi kadang pagi-siang-malam dia butuh peralihan ketika aku kadang-kadang capek jadi aku kasih aja deh, tapi sambil aku awasin dan nyanyi-nyanyi sama dia, enggak aku lepas gitu. Masuk umur 3 tahun ini aku kasih screen time 1 jam per hari.
Sandra: Pas Zea umur 1 tahun, sebenarnya dulu berprinsip untuk tidak kasih screen time sebelum 2 tahun, tapi ternyata oh tidak bisa hahaha….
Aku enggak dibantu sama nanny dan anak superaktif sekali. Kadang udah capek, takut jagainnya kewalahan, aku suka kasih dia hape 10 menit aja.
Zahra: Anakku masih umur 5 bulan. Untuk screen time, aku dan suami pengennya baru kasih pas Jennaira umur 1-2 tahun. Tapi, karena bulan lalu kami sama-sama bekerja, pas lagi banyak kerjaan Jennaira enggak kepegang tuh. Sempet 1-2 kali kami kasih screen time dengan putar Cocomelon dan Ms. Rachel di YouTube. Cuma itu sih. Sekarang aku udah resign dari pekerjaanku, jadi sejauh ini belum ada screen time lagi.
Ayu: untuk yang pertama, saya itu ngenalin screen time ke anak umur 1 tahun. Paling lama 2 jam karena mereka tipe yang enggak betahan. Jadi, baru lihat 10 menit udah keluar kamar, main di luar.
Sejauh apa keterlibatan pengasuh anak?
Dati: aku kemarin sempat penuh waktu jadi ibu rumah tangga dari nikah sampai melahirkan anak. Pas anakku baru umur 1,5 tahun, baru pakai nanny karena aku balik ngantor. Itu deg-degan karena sebelumnya aku 24 jam sama Kina. Aku prinsipnya minta tolong nanny untuk mengikuti hal-hal yang selama ini kulakukan, misalnya kalau makan harus duduk dan jangan disuapin.
Nah, jam kerja pengasuh Kina itu dari jam 9 pagi sampai 5 sore, jadi enggak tinggal di rumah. Kalau dia izin, biasanya aku atau suamiku bawa Kina ke kantor. Aku enggak enak banget kalau misalkan harus ngasih anak ke rumah orang tua atau mertuaku. Kecuali sesekali yang cuma dua jam gitu kalau lagi pengen pacaran sama suami. Cuma kalau sampai sore enggak tega, meski orang tua enggak akan menolak.
Ayu: enggak ada rencana sih, memang enggak ada pengasuh juga. Meskipun anak dua tapi enggak pakai pengasuh, salah satunya karena kurangnya uang sih.
Sandra: Saat ini belum terpikir pakai nanny karena semua masih ter-handle.
Zahra: Belum ada. Aku prefer punya ART dibanding nanny karena aku kurang bisa percaya orang lain untuk pegang anakku kecuali keluarga terdekat. Urusan beres-beres rumah bisa ditinggal, tapi kalau anak enggak bisa sama sekali. Meleng dikit udah guling-guling anaknya. Makanya, aku memutuskan untuk resign, jadi aku bisa fokus dengan Jennaira.