Pagi itu jadi momen tidak biasa bagi Angel. Transpuan 25 tahun tersebut akan mempunyai secarik dokumen yang bagi mayoritas orang di negara ini merupakan suatu keniscayaan. Setelah kehilangan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik pada 2018, dia bisa membuatnya lagi sesuai dengan penampilannya sekarang.
Angel amat menantikan saat-saat namanya dipanggil petugas. Sejak pukul 08.00 WIB, dia sudah berada di gedung milik Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) kota Tangerang Selatan. Dia tidak sendiri. Ada belasan transgender lain yang juga menunggu pada Rabu (2/6) pagi tersebut.
Kepada VICE, Angel memperlihatkan satu-satunya dokumen yang membuktikan dia memang warga negara Indonesia. Dari dompet kecil yang terus digenggam, dia mengeluarkan selembar fotokopi Kartu Keluarga (KK) yang sudah sangat lusuh. Tentu saja tidak ada nama Angel di sana, melainkan nama yang diberikan orang tuanya. Jenis kelaminnya ditulis laki-laki.
Dia membawanya sejak keluar dari rumah pada usia 14 tahun. “Diusir [dengan alasan] bikin malu keluarga. Katanya kalau mau jadi bencong mendingan enggak usah pulang,” kata Angel. “Kalau elu pulang jadi laki-laki, gue terima. Tapi, kalau elu dandan bencong gitu, mending enggak usah pulang,” ujarnya, menirukan neneknya yang menentang keras pilihan hidupnya.
Perjalanan hidup Angle penuh rintangan barangkali sulit dibayangkan banyak orang. Angel mengaku pernah disodomi oleh seorang anggota keluarga dan guru yang mengajarnya. Sekolah mengeluarkannya. Tak punya tempat berlindung lagi, dia terpaksa tinggal di emperan toko. Demi menyambung hidup, dia mengamen di jalanan. Tapi dia berhasil melalui berbagai trauma itu, dan kini pemerintah melakukan langkah kecil untuk membuat Angel setara dengan WNI lainnya.
Selama puluhan tahun, komunitas transgender di Indonesia rutin merasakan perlakuan tidak setara. Perbedaan antara jenis kelamin ketika mereka lahir dengan ekspresi gender yang mereka pilih setelah dewasa tidak diakui negara. Alhasil diskriminasi lantas seakan dilegalkan dalam hukum Indonesia, lantaran kategorisasi kependudukan hanya mengakui laki-laki dan perempuan.
Echa, seorang aktivis transgender, menegaskan kesulitan yang mereka alami dalam pembuatan e-KTP selama ini bukan sesuatu yang sepele. Ada saja petugas pemerintah yang menolak memberikan layanan sebab jenis kelamin dalam KK dan penampilan mereka tidak sesuai. “Banyak sekali stigma dan diskriminasi saat mereka melakukan perekaman KTP atau pembuatan KTP,” ujar Echa.
Realita menyedihkan ini berbuntut panjang. Berdasarkan studi Komunitas Puzzle Indonesia pada 2020, sebanyak 84,2 persen transgender di Bandung, Jawa Barat mengaku pernah mendapatkan pengalaman buruk, terhambat mengakses layanan kesehatan, hingga kesempatan kerja karena tidak memiliki e-KTP. Ketika pandemi corona menghantam, mereka juga hampir tidak bisa mengakses bantuan sosial karena tidak didata oleh pemerintah. Tak punya e-KTP juga berarti tak punya kesempatan menggunakan hak pilih ketika pemilihan umum.
Ini dialami oleh Merlin yang selama 59 tahun tidak pernah mempunyai KTP. Seperti Angel, warga Depok itu hanya memegang KK dengan nama lahir yang berbeda dari pilihannya sekarang. Sejak setahun terakhir usaha salon kecantikannya sepi pengunjung. Dia pun tidak mendapatkan bantuan dari negara sehingga harus bertahan dengan sumber daya seadanya. “Kita jalani aja lah,” ucapnya.
Menurut Direktur Jenderal Dukcapil dari Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah, situasi akan berubah setelah pemerintah mempermudah pembuatan e-KTP bagi sebanyak 297 transpuan di seluruh Indonesia, sesuai catatan yang dimiliki pemerintah. “WNI semuanya harus dilayani setara atau non-diskriminatif,” kata Zudan dalam pernyataan resminya.
Namun, jumlah transgender yang disebut kemendagri dikhawatirkan tidak mewakili fakta sebenarnya. Hartoyo, ketua lembaga swadaya masyarakat Suara Kita yang aktif mengadvokasi pembuatan e-KTP untuk transgender, mengungkap banyak yang tidak memiliki dokumen pendukung, misalnya KK, sehingga menyulitkan penelusuran. Ini terjadi karena mereka lari dari rumah tanpa persiapan. Apalagi mayoritas berasal dari kelompok ekonomi bawah yang bekerja di sektor informal.
Di sisi lain, muncul kritik terhadap keputusan pemerintah yang dianggap setengah hati memperlakukan para transgender. Sesuai dengan e-KTP yang ditunjukkan oleh beberapa perempuan transgender kepada VICE, nama dan jenis kelamin mereka tetap disesuaikan dengan KK, kecuali ada surat perintah pengadilan. Proses ini tidak saja memerlukan waktu lama, tetapi juga biaya besar yang bagi mereka sangat memberatkan.
Satu-satunya perubahan yang diizinkan saat pembuatan e-KTP adalah foto. Artinya, selembar e-KTP milik Angel atau Echa memperlihatkan foto perempuan berambut panjang, tetapi jenis kelamin yang tertera adalah laki-laki. Padahal, semestinya ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk belajar menerima spektrum gender lebih luas yang tidak terbatas hanya laki-laki dan perempuan, lalu maskulin dan feminin.
Sebetulnya kebijakan serupa menjadi persoalan di berbagai belahan dunia. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat baru pada 2019 lalu mengakui kelompok transgender dengan menyediakan opsi jenis kelamin ‘X’ dalam kartu identitas dan Surat Izin Mengemudi (SIM). Tidak hanya transgender yang menggunakan pilihan tersebut, tetapi juga orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai non-biner (bukan laki-laki maupun perempuan).
Akurasi antara ekspresi gender dan informasi yang dicantumkan dalam dokumen-dokumen itu sangat penting. Naomi Fontanos, seorang aktivis transgender di Filipina, menjelaskan kepada Privacy International soal efek domino ketika kartu identitas seorang transgender berbeda dengan penampilan aslinya.
“Misalnya, jika seorang trans melamar suatu pekerjaan dan jenis kelamin serta nama di kartu identitasnya tidak cocok dengan penampilan gendernya, kemungkinan besar mereka akan ditolak,” kata dia. “Dan dari situ semuanya akan berantakan sebab jika seorang trans tidak punya pekerjaan, mereka akan masuk statistik penduduk miskin di negara ini. Dan kalau kamu miskin, kamu tidak punya layanan kesehatan. Dan jika kamu tidak punya layanan kesehatan, kamu bisa sakit.”
Berdasarkan studi The Lancet Public Health terhadap lebih dari 20.000 transgender di Amerika Serikat, kesesuaian antara data pada kartu identitas dan ekspresi gender juga bisa memperburuk kesehatan mental mereka. Salah satu penyebab depresi dalam kelompok ini adalah rasa tidak diterima sebagai diri mereka yang seutuhnya di kalangan masyarakat.
Sejauh ini para transgender yang ditemui VICE mengaku tidak mempersoalkan kebijakan pemerintah, meski belum sepenuhnya mengakomodasi identitas mereka. Alasan mereka adalah hukum yang berlaku di Indonesia memang harus dipatuhi, sedangkan sisanya mengatakan sudah terbiasa dengan berbagai diskriminasi yang ada. Hal yang membuat mereka lebih khawatir adalah alamat domisili.
Jon Febri, transgender yang datang ke dukcapil Tangsel menjelang siang, mengaku kecewa sebab tidak bisa memakai alamatnya di Jakarta. Berasal dari Lahat, Sumatera Selatan, dia kabur dari rumahnya menuju ibu kota pada 2017 lalu.
Masa lalunya mirip dengan beberapa transgender yang VICE wawancara. Trauma penolakan keluarga hingga kekerasan verbal dan fisik yang mereka rasakan di lingkungan lama sangat membekas. Ini membuat mereka tidak mau menginjakkan kaki lagi ke tempat asal. Memikirkannya saja sudah memicu depresi.
“Kirain bisa pakai alamat baru, ternyata masih alamat lama. Kalau mau ganti, harus ngurus ke Pak RT, Pak RW di kampung. Ribet,” keluh Febri yang sekarang berprofesi sebagai perias dan merasa lebih bebas menjadi dirinya sendiri di Jakarta.
Setidaknya, bagi Maya, keputusan pemerintah untuk mempermudah pembuatan e-KTP tersebut sudah merupakan kemajuan yang patut diapresiasi. Berbagai pengalaman diskriminatif yang dilaluinya coba dia maklumi, termasuk soal perbedaan informasi resmi pada kartu identitas dengan jati dirinya.
“Ya, saya harus berbesar hati karena mereka tidak mengerti,” kata transgender yang aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat itu. Dia memilih berpikir positif, bahwa proses ini baru langkah awal untuk membuka mata masyarakat agar lebih menerima keberadaan transgender. “Enggak cepat, tapi lama-lama dunia kan berubah,” tuturnya.