Keberadaan virtual police atau polisi virtual dari Kepolisian Indonesia rupanya dianggap meresahkan berbagai pihak, terutama yang aktif di media sosial. Pertama kali aktif beroperasi pada 24 Februari lalu, polisi virtual telah menjaring sebanyak 148 akun media sosial dalam kurun satu bulan. Individu yang dianggap polisi berpotensi melakukan pelanggaran hukum (khususnya karena jeratan pasal karet UU ITE) akan memperoleh direct message di Twitter, Instagram, Facebook, YouTube, dan WhatsApp.
Pegiat hukum dan HAM segera menyorot standar macam apa yang digunakan oleh polisi saat menentukan suatu konten di medsos melanggar pasal dalam UU ITE. Polisi mengklaim telah bekerja sama dengan para ahli, termasuk ahli bahasa, ketika memproses konten yang ditemukan di media sosial. Namun, publik tidak pernah mendapat informasi secara transparan siapa saja ahli yang dimaksud.
“Kami juga belum tahu [ahli yang dimaksud]. Tertutup prosesnya,” kata peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar saat dihubungi VICE. Dia menilai kerja-kerja polisi virtual semakin tidak punya legitimasi hukum, karena masyarakat tidak punya akses untuk melihat cara kerja aparat saat menilai konten di medsos.
Hasil kerja virtual police yang sempat memicu perhatian terjadi di Solo, Jawa Tengah, saat warga berurusan dengan aparat karena berkomentar di akun Instagram @garudarevolution. Laki-laki berinisial AM asal Tegal itu menulis: “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja.” Komentar tersebut ditujukan kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo. Postingan itu mengutip pernyataan Gibran yang ingin semifinal dan final Piala Menpora digelar di kotanya.
Menurut Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, konten itu berisi hoaks yang menyinggung penyelenggara Pilkada Surakarta. Dia mengklaim keputusan aparat memanggil AM ke kantor polisi berdasar konsultasi dengan para ahli. “Pakar” itu (publik tak pernah tahu siapa mereka) menyimpulkan bahwa jika tidak segera dihapus, maka AM bisa terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“AM telah diingatkan oleh tim virtual police Polresta Surakarta yang sebelumnya mengkonfirmasi muatan narasi tersebut dengan ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE agar menghapus unggahannya dan selanjutnya yang bersangkutan telah meminta maaf,” kata Ade.
Selain AM, setidaknya ada dua pengguna media sosial lainnya yang diketahui publik bernasib sama yaitu SF dan RAI. Mereka berdua juga merupakan warga Solo. Dalam kasus SF, ia dijemput polisi karena membuat status soal tabrak lari. Sedangkan RAI ditangkap usai menulis komentar dalam sebuah akun berita mengenai sebuah daerah yang diawasi dengan drone oleh Polresta Solo.
Tiga kasus yang menyita perhatian itu mengirim sinyal buruk bagi kebebasan berekspresi pengguna internet di Tanah Air. Sebelum ada polisi virtual saja, netizen sudah sering merasakan ancaman penangkapan yang sewaktu-waktu membayangi akibat pasal karet UU ITE.
Dalam catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), misalnya, sebanyak 17 persen pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat terjadi sepanjang 2020. Dalam kurun waktu yang sama, ada 16 persen pelanggaran terhadap hak mencari dan menyampaikan informasi yang berbuntut pada penangkapan sewenang-wenang oleh polisi.
Rivanlee mengatakan polisi sampai sekarang masih belum membuka data persis soal detail kasus orang yang sudah terjerat peringatan virtual police. Dengan kata lain, masyarakat tidak tahu mayoritas “pelaku” diperingatkan karena membuat konten macam apa. “Mereka [polisi] tidak mau buka. Maka dari itu, kita tawarkan bagi korban/rekan korban untuk membukanya supaya bisa kita tahu apa kontennya dan kita uji,” ujarnya.
Atas pertimbangan itulah, KontraS berinisiatif membuka jalur pelaporan swadaya, atau posko pengaduan. Lewat kanal ini, masyarakat mempunyai wadah untuk mengadu ke praktisi hukum ketika postingan mereka diperingatkan polisi virtual. Mereka yang tidak terjerat sekalipun, tetapi mengenal orang yang mendapat peringatan aparat, juga bisa memanfaatkan jalur ini.
“Melalui posko ini KontraS akan menghimpun data yang selanjutnya akan digunakan menjadi ukuran, konten atau unggahan apa saja yang mendapat teguran dari virtual police,” tulis KontraS dalam keterangan pers yang diterima VICE.
Anggota masyarakat yang menerima peringatan dari polisi virtual lewat medium apa pun di dunia maya bisa menyampaikannya melalui tautan bit.ly/dmninuninu. Kontras menegaskan kerahasiaan data dan identitas pelapor akan terjamin.
Sebelumnya, sudah banyak aktivis yang mengingatkan bahwa meski niat membentuk polisi virtual ini punya potensi baik, tetapi ada celah besar bagi terjadinya penyalahgunaan. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada landasan hukum jelas yang mengatur kerja polisi virtual. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hanya mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/2/11/2021 sebagai modal jalannya program yang ia bentuk tersebut.
“Surat Edaran SE/2/11/2021 hanya meregulasi pembentukannya saja, namun dalam kaitannya dengan prosedural penindakan oleh virtual police dari mulai pemantauan hingga peringatan tidak berdasar alas hukum yang jelas,” demikian kutipan keterangan tertulis dari KontraS.
Ketua YLBHI Asfinawati sempat menyampaikan kepada VICE bahwa harus ada saluran yang tersedia bagi masyarakat ketika mereka tidak terima dengan peringatan oleh polisi virtual. Tujuan Kapolri yang ingin mengedukasi publik soal UU ITE dan mencegah terjadinya penangkapan karena aturan tersebut menjadi lemah sebab tidak ada kejelasan dan transparansi hukum.
“Prasyaratnya tinggal aturan hukumnya enggak bermasalah dan ada peluang diskusi apabila terjadi beda tafsir,” tutur Asfinawati. “Ini [virtual police] bagus, tapi masalahnya gimana kalau kita enggak terima dengan peringatan itu? Bandingnya ke mana?” imbuhnya.