Di pedesaan Bantaeng, Sulawesi Selatan, ada satu hal yang sanggup membuat bocah-bocah berhenti main karena ketakutan. Wujudnya sebuah nisan bertuliskan nama terduga pencuri kesohor, yang tewas terbantai akibat aksi sepihak di tengah era penuh kekacauan 1999. Setidaknya itu yang selalu diingat Kamaluddin, yang tumbuh besar di Desa Bonto Loe, Kecamatan Bisappu, Bantaeng.
Semasa sekolah dasar, bersama kawan-kawannya, Kamaluddin nyaris tiap hari bermain sepeda, menjelajahi jalan naik turun menembus desa-desa tetangga. Hanya satu kali mereka sampai menghentikan kegiatan bersepeda. Kala dia berusia 11 tahun, Kamaluddin dan kawan-kawan menemukan sepetak kuburan di pertigaan menuju desa Bonto Cinde, di sebelah kampungnya.
Nampak pusara yang tak memiliki nisan pada umumnya, hanya semen dicetak persegi di tepi jalan. Terpacak keterangan di pusara yang bila diterjemahkan seperti ini: “Baso Cikko, meninggal pada malam 8-8-1999, oleh Gerakan Massa”. Membaca nama itu saja sudah begitu menakutkan bagi anak-anak seusia Kamaluddin. Sosoknya dianggap keramat dan “setannya” konon selalu menampakkan diri.
Siapa Baso Cikko? Dia jawara kesohor kawasan Bisappu. Semasa hidupnya, dia dituduh kerap mencuri ternak sapi dan kerbau penduduk desa. “Dulu saya tahunya [Baso] dibunuh oleh massa, karena mencuri,” ujarnya.
Untuk memahami sejarah matinya Baso, Kamaluddin mengarahkan kami pada sosok lain yang tak kalah kesohor di desanya.
Haji Duge berusia 63 tahun saat aktif memburu maling ternak. Perawakannya tak begitu besar, tingginya 165 cm, namun punya badan yang kekar. Saat kami menemuinya Januari 2022, di Kelurahaan Bonto Jaya, sisa otot kekar itu masih terlihat di sekujur tubuh Haji Duge. Rambutnya sudah memutih, sebagaimana bulu alisnya. “Lebih banyak di rumah sekarang. Beribadah,” kata Duge, yang kini berusia 86.
Ketika dia mendengar niat kami memintanya kembali bercerita seputar sepak terjang Harimau Merah, punggungnya ditegakkan. Dia bersemangat. “Penting itu, supaya orang tahu, kalau dulu masyarakat melawan dan bertindak,” katanya.
Pada rentang 1980 hingga akhir dekade 1990-an, aksi pencurian sapi maupun kerbau santer terjadi di seantero Bantaeng. Dalam semalam, puluhan ternak bisa digasak maling. Pencurian itu rutin dilaporkan pada kepolisian dan tentara, namun tak kunjung serius diberantas. Setahun sesudah lengsernya Presiden Suharto, situasi politik nasional gonjang-ganjing. Sepanjang 1999, di banyak wilayah Indonesia. Sisa-sisa dampak krisis ekonomi membuat kriminalitas melonjak. Marwah kepolisian maupun tentara yang dianggap simbol Orde Baru turun drastis, membuat warga memilih main hakim sendiri.
Penduduk Bisappu termasuk yang membentuk kelompok swadaya menanggulangi pencurian, yang oleh sejarawan disebut “Gerakan Tiga Daerah”. Haji Duge, sebagai tokoh masyarakat, menginisiasi forum massa, semacam ormas, diberi nama Harimau Merah. Anggotanya ratusan, meski strukturnya tak begitu jelas. Mereka berkumpul dengan satu tujuan: membasmi para pencuri ternak.
“Pencuri itu sudah meresahkan. Sapi dan kerbau dikasih makan pagi, malam dicuri. Siapa yang tidak sakit hati. Makanya saya dan warga mencari dan melawan,” tandasnya. Aksi swadaya ini dilakukan lantaran aparat dianggap lamban mencari tersangka maling ternak.
“Kalau polisi [bergerak] harus ada bukti. Kalau forum sudah tahu, dan tinggal kita tangkap dan suruh mengaku. Jadi kami buru mereka.”
Haji Duge mengelak saat kami bertanya masih adakah daftar target sosok-sosok yang dituding ormasnya sebagai pencuri. “Kalian datang terlambat. Beberapa bulan lalu saya baru bakar semua dokumennya. Nama-nama orang yang datang tobat, mengaku pernah mencuri, dan nama orang-orang yang sudah dibunuh karena mencuri.”
Kelompok Duge mengeksekusi 37 orang dalam rentang tiga tahun. Ingatan Duge masih terang soal jumlahnya. Saat kami menyinggung nama Baso, dia menjulukinya sebagai “eksekusi awal” yang dilakukan Harimau Merah.
Baso tertangkap forum pada Minggu, 7 Agustus 1999. Sosok Baso diarak menuju rumah Haji Duge. Selama disandera, beberapa orang meminta Baso mengakui sering mencuri. Dia kemudian diminta untuk bertobat dan memohon ampunan pada Tuhan.
Tapi pertobatan saja tak cukup. Ketika kabar penangkapan Baso tersiar, sorenya ratusan orang berkumpul dan ingin melampiaskan kekesalan pada pada sang terduga maling ternak. Mendekati pukul 19.00, orang-orang mulai membuat kegaduhan, berteriak, dan semakin gusar. Mereka meminta Baso diseret keluar dari rumah panggung Haji Duge, agar diadili langsung oleh warga. Duge sempat meminta warga tenang, bersabar menunggu aparat kepolisian serta tentara untuk hadir. Permintaan itu tak digubris.
Di tengah suasana riuh, beberapa orang menggelandang Baso menuruni anak tangga, disambut ratusan orang yang mengacungkan parang. Seorang perempuan dari keluarga Haji Duge berteriak, meminta agar kekerasan jangan terjadi di halaman rumahnya. Orang-orang kemudian membawa Baso dengan tangan terikat, menuju sebuah kebun di sisi jembatan Lemoa, sekitar 200 meter dari kediaman Duge. Di tempat itu, Baso terakhir menghirup udara.
Tak jelas siapa yang memulai, tubuhnya segera dihujani sabetan parang dan tusukan. Salah satu warga memotong salah satu jari Baso. Di tengah kerumunan orang-orang yang semakin kalut, terdengar teriakan agar massa memenggal kepala Baso. Penduduk percaya Baso memiliki ilmu tinggi, sehingga kepala dan badan harus diletakkan berjauhan. Tujuannya agar saat tengah malam, kepala sang jawara tidak bersambung dan bisa hidup kembali.
Haji Duge tak menyaksikan eksekusi Baso dengan mata kepalanya sendiri. Dia hanya tahu Baso terlanjur dibunuh ketika rombongan warga meninggalkan kebun. Dia datang ke lokasi beberapa jam setelah kejadian, membawa sepeda motor. Sembari mengarahkan lampu motornya ke kebun Duge bisa melihat jenasah Baso bersimbah darah tanpa kepala. Dia memutuskan untuk merawat jasad itu. “Kalau lama [tak diurus], nanti ada anjing yang makan,” cetusnya.
Duge dan anak buahnya sekaligus menghubungi keluarga Baso, dan di malam yang sama dengan pembantaian itu, segera digelar pemakaman. “Saya bilang ke keluarganya, orang tidak membenci Baso, tapi membenci kelakuannya,” kata sang haji.
Kamal, sapaan akrab Kamaluddin, menemani kami menemui Haji Duge. Dia mendengar kisah kematian Baso dengan takzim. “Saya baru tahu, kalau seperti itu kisah Baso meninggal,” katanya.
“Dulu di dekat jembatan itu, darahnya lama [membekas], tidak ada orang bersihkan. Sampai sekarang sebenarnya, kalau lewat sendiri di jembatan masih merinding,” ujar Kamal.
Saat menemani kami menengok kembali pusara Baso yang kini terletak di sela rimbunnya pisang dan jagung, bahkan ketika dia sudah menjadi lelaki dewasa, Kamal masih merasakan kengerian yang sulit dijelaskan.
Ada puluhan orang di Bantaeng yang bernasib serupa Baso. Salah satu saksi mata kengerian masa itu adalah Baharuddin, lelaki 37 tahun yang tinggal di Desa Kaloling, Kecamatan Gantarangkeke. Setiap kali berbicara, suara Baharuddin terdengar pelan dan tenang, tidak meledak-ledak. Di ruang depan rumahnya, kami duduk santai, tedengar suara anak-anak Baharuddin di ruang lain.
Suasana kediaman Baharuddin amat asri dan sejuk. Sapi di sisi kiri rumah berulangkali melenguh. Tapi pria kalem ini sebetulnya memendam dendam tak berkesudahan. Di belakang rumahnya, terdapat kuburan sang ayah, bernama Kampeng, yang meninggal pada 14 Juli 1999 akibat amuk massa. Dia mengelus tembok pusara itu dengan pelan. “Bapak saya sudah punya cucu, tapi kasihan dia sudah tak bisa lihat.”
Kampeng adalah korban pertama forum massa ‘Kalba’, akronim dari kampung Kaloling, Laiwa, dan Bajiminasa. Pada awal-awal pembentukan forum, orang-orang yang berhimpun memberi peringatan pada terduga pencuri melalui pesan dari mulut ke mulut.
Andi Jumatta, yang kemudian dikenal dengan nama Karaeng Juma’, menjadi penanggung jawab forum Kalba bersama tujuh tokoh lainnya. Simpatisannya mencapai ribuan orang. Setiap kali mereka melakukan pawai, jalan desa selalu penuh. Forum ini bergerak di sisi timur, sementara gerakan serupa yang dipimpin Duge memburu maling di sisi barat Bantaeng.
Sepanjang 1999-2001, penduduk Bantaeng suka tak suka akan terseret masuk kegiatan perburuan maling ternak. Nyaris tak ada pilihan lain. Jika kau tak bersedia ikut dalam “forum”, siap-siap saja dituduh sebagai teman para pencuri.
“Saya ada di beberapa eksekusi. Tapi tidak lihat langsung. Tidak juga saya keluarkan parang. Yang penting orang lihat kita ikut [berburu], supaya tidak [kena] tuduhan,” kata salah satu warga, yang kami ajak ngobrol di bawah pohon beringin satu-satunya Desa Kaloling.
Dari 10 orang warga yang ikut ngopi bersama kami di bawah pohon beringin, dan mereka tidak bersedia identitasnya ditulis jelas, semuanya bersepakat bila Kampeng sebetulnya bukan pencuri ternak.
Baharuddin pun meyakini mendiang ayahnya bukan penjahat. Sebelum pembantaian terjadi, menjelang siang seseorang mendatangi bapaknya dan memintanya meninggalkan kampung. “Bapak saya tidak mau, dia bilang, ‘kenapa harus lari bila dia tidak mencuri?’,” kenang Baharuddin. Bahkan beberapa saat sebelum digelandang massa, Kampeng masih sibuk membersihkan rumput di kebun kakao milik tokoh setempat bernama Haji Panggung.
Tak lama, ratusan orang mengepung rumah Kampeng. Baharuddin menyaksikan kengerian itu dari sela tembok rumah. Perwakilan massa mendekati bapaknya, mereka berbicara, dan tak lama kemudian tangan sang Bapak diikat ke belakang. Dia bersama mamaknya, sang nenek, dan adik perempuannya, menyaksikan semua itu tanpa daya mencegah.
Baharuddin sebetulnya marah dan ingin keluar rumah lalu berontak dan menghalau orang-orang yang hendak membawa bapaknya. Tapi dia ditahan mamak dan neneknya. “Dia [nanti pasti dipulangkan]. Karena bapakmu tidak salah,” kata Baharuddin menirukan ucapan sang nenek.
Harapan itu sirna. Setelah matahari tenggelam, salah satu warga kampung mendatangi rumah keluarga Baharuddin, mengabarkan bila Kampeng terbujur kaku di petak sawah pinggiran desa. “Mamak saya menangis. Saya juga merasa lemas, kayak habis tulang,” ujarnya.
Di malam nahas itu, tak seorang pun anggota keluarga yang berani mengambil jenazah Kampeng. Baru keesokannya, Baharuddin ditemani beberapa kerabat menjemput jasad Kampeng dalam kondisi mengenaskan. Masih terbalut kaos berwarna biru dan celana pendek, keluarga bisa melihat perut Kampeng yang tersayat, membuat ususnya terburai keluar. Lehernya nyaris putus dan satu jari kakinya lepas.
Evakuasi jasad Kampeng berlangsung alakadarnya, menggunakan dua sarung yang dibentangkan, disangga bambu. Dua orang memanggul di bagian depan, dua lainnya di belakang. Iringan pembawa jenazah itu berjalan pilu. Beberapa warga hanya menyaksikan, tak berani menolong. Jika ada yang sampai membantu mengangkut mayat lelaki itu, forum bisa menuduh mereka bagian dari sindikat Kampeng.
Hanya keluarga yang akhirnya terlibat pemakaman Kampeng. Karena semua dikerjakan sendiri, termasuk mengkafani, prosesnya baru tuntas pada pukul 19.00 malam. “Hati saya kayak mau meledak. Sakit sekali,” tandas Baharuddin.
Pada 2004, Baharuddin berangkat ke salah satu perkebunan sawit di Malaysia sebagai buruh migran. Dia meyakini di sanalah tempat kabur dua tetangga yang dulu memfitnah sang ayah sebagai pencuri ternak, yang membuat Kampeng meregang nyawa. Pencariannya tak membuahkan hasil, dan dia kembali ke Tanah Air. Baharuddin bersumpah, bila menemukan dua orang itu, dia siap membuat perhitungan. “Kalau bukan saya yang mati dia yang mati. Itu saja pilihannya.”
Karaeng Juma’, sebagai penanggung jawab forum yang menewaskan Kampeng, berkukuh bila anggotanya di kasus itu tak salah sasaran. Dia meyakini data para pencuri ternak yang dieksekusi itu didasarkan bukti kuat, namun tanpa menjabarkannya lebih lanjut. “Tidak mungkin salah,” tukasnya.
Juma’ tak memiliki data pasti jumlah kematian akibat aksi forum bentukannya. Namun, berdasar ingatan saja, dia mengaku jumlah korban tewas perburuan mencapai 105 orang. “Jumlah 35 orang adalah data resmi yang dimasukkan ke kepolisian. Tapi yang tak dilaporkan ada beberapa,” cetusnya santai.
Bantaeng adalah kota kecil di pesisir Sulawesi Selatan. Jaraknya dari Makassar sekitar lima jam perjalanan darat. Sejarah kota ini merentang jauh ke belakang, dulunya bernama Bantayah atau dalam terminologi era kolonial Belanda, disebut Bonthain. Penamaan lainnya adalah Butta Toa (Kampung Tua). Pada Abad ke-16, Bantayah ditundukkan Kerajaan Gowa-Tallo. Seabad kemudian, seluruh penduduk wilayah ini memeluk Islam.
Sebagian besar penduduk Bantaeng bertani. Mereka menghuni kampung-kampung di pesisir hingga di kaki pegunungan Lompo Battang. Tahun 2008, wilayah ini mulai dipimpin Nurdin Abdullah selama dua periode. Nurdin adalah keturunan raja Bantaeng ke-27. Warga menjulukinya Karaeng Nurdin.
Pada masa kempimpinan Nurdin, Bantaeng dianggap berhasil menggeliat, bahkan sempat disebut contoh keberhasilan otonomi daerah. Jalan utama kota ditanami pohon peneduh, dan di dataran tingginya digalakkan perkebunan. Kota ini kemudian terbungkus dengan publikasi yang menawan di hampir seluruh media massa Indonesia. Kawasan Industri dibangun, salah satu ikonnya pabrik nikel yang bahan bakunya didatangkan dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Dua periode kepemimpinan Nurdin Abdullah di Bantaeng yang dianggap sarat prestasi, mengantarnya menjadi Gubernur Sulawesi Selatan periode 2018-2021. Masa jabatan Nurdin sebagai gubernur terhenti di tengah jalan. Dia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2021, lantaran menerima suap dari kontraktor proyek.
Di luar kilau Bantaeng yang positif dari laporan media, sebetulnya tersimpan kenyataan amat berbeda. Tak lagi tersisa kebun-kebun agrowisata apel yang pernah dijanjikan Nurdin bakal menandingi Jawa Timur. Angka buta huruf cukup tinggi, serta pendapatan masyarakat konsisten rendah. Di Bantaeng pula, pernikahaan anak masih marak terjadi, salah satu yang tertinggi di Sulsel.
Di sebuah kedai kopi pusat kota Bantaeng, beberapa anak muda kami ajak berbincang mengenai Forum Massa sepanjang 1999-2001. Hampir semua mengaku tahu kepingan sejarah kelam itu, dan mengatakan pada masa tersebut ada banyak orang dibunuh.
Salah satu peristiwa paling tragis adalah eksekusi seorang lelaki yang dituduh mencuri di pinggir jalan utama Bantaeng–Bulukumba, tepatnya di wilayah Bisappu. Orang itu digorok lehernya, disaksikan ratusan orang. Warga yang melintas berhenti sejenak, menonton pembunuhan sadis itu dengan santai. “Kenapa kita tak pernah membicarakan itu sebagai sebuah pelanggaran ya,” kata salah seorang anak muda.
“Kita seperti membenarkan pembunuhan, karena alasan mencuri,” ujar pemuda yang lain.
Kareang Juma’ dan Haji Duge, dua pentolan ormas pemburu maling, menganggap enteng reaksi massa yang melakukan pembantaian tanpa peradilan di berbagai sudut Bantaeng. Mereka berkukuh pembantaian itu bermanfaat. Setelah forum dibentuk, pencurian ternak di seluruh Bantaeng diklaim menurun drastis. “Jadi waktu itu, ternak seperti sapi, kerbau dan kuda aman sekali. Biar diikat di kebun, tidak ada yang mencuri,” klaim haji Duge.
“Jadi saya bilang ke orang-orang kalau aksi forum waktu itu, biar menjadi tanggung jawab saya. Saya akan menebusnya di hari akhir. Saya tidak takut karena yang dilakukan [massa] adalah hal yang benar,” kata Karaeng Juma’ saat kami temui di waktu berbeda.
Namun benarkah pencurian di Bantaeng kini sepenuhnya hilang? Juma’ mengakui bila bermacam kriminalitas masih sering terjadi. “Beberapa orang bilang lagi ke saya, [berharap] forum mau dibentuk lagi. Karena banyak lagi pencuri,” ujarnya.
Duge mengakui bila aksi sepihak sepanjang 1999 itu sudah masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia. Dia tidak setuju bila aksi main hakim sendiri hendak diulang lagi di Bantaeng. “Sekarang sudah ada [kesadaran] HAM itu…Jadi tidak bisa,” kata Haji Duge.
Selepas memberi makan empat sapi miliknya, Haeruddin menunjukkan pada kami sebuah rumah mungil di tengah hamparan sawah. Saat kami mengunjunginya di desa Lumpangang, Kecamatan Pajukkukang, warga baru saja selesai panen. Di rumah kosong itu, dia bakal bermalam demi menjaga ternak. “Sekarang banyak pencuri lagi. Jadi harus dijaga,” katanya. “Saya di rumah ini sejak jam delapan malam. Pulang setelah pagi. Setiap hari seperti itu.”
Haeruddin membekali dirinya dengan parang dan senter. Beberapa ratus meter dari pondoknya, ada rumah jaga peternak lain. Biasanya pada malam hari mereka berkumpul, lalu bersama melakukan patroli. Kadang-kadang untuk mengusir kantuk mereka bermain domino atau ngobrol tentang apa saja.
Di dekat rumah jaga Haeruddin, sebuah petak lahan dinaungi pohon yang rindang dan semak. Itu adalah lahan pekuburan, salah satunya mencakup makam Subuh Daeng Tinggi. Pusaranya nyaris tertutup rumput. Tertera waktu kematiannya, Jumat, 1 Desember 2000.
Subuh semasa hidupnya dikenal memiliki perawakan tinggi. Ciri fisik itulah yang membuatnya mendapat sapaan Daeng Tinggi (orang yang tinggi). Subuh ditangkap di sebuah rumah persembunyian salah satu sahabatnya setelah salat Jumat. Orang-orang berkumpul di musala, membacakan pengumuman untuk menangkapnya. Subuh yang menyadari diincar forum massa berusaha kabur. Upayanya tak berhasil, karena beberapa orang mengejarnya menggunakan kuda.
Masjid yang menjadi lokasi penangkapan Subuh berada disamping rumah Junaedi. “Saya ingat [momen] itu. Ramai sekali. Banyak sekali orang,” katanya.
Junaedi ingat bapaknya ikut berangkat dengan kerumunan orang menuju penangkapan Subuh. Tapi dia tak berani bertanya, mengapa orang-orang menangkap Subuh, yang masih terhitung kerabat sang ayah. “Kami tahunya, dia mencuri dan di-massa. Itu saja.”
Haeruddin, yang juga menjadi saksi mata peristiwa tersebut, menyatakan eksekusi Subuh berlangsung di sebuah petak sawah. Karena masih kecil, dia hanya ikut melihat jenazahnya diangkut ke rumah panggung di samping masjid desa. Di sana, jenazah Subuh dibaringkan dan dikafani dengan ritual Islam.
Subuh memiliki tiga orang anak yang masih hidup sampai sekarang. Masing-masing Rudi (28 tahun), Sukmawati (27 tahun) dan Ahriani (22 tahun). Ahriani adalah si bungsu. “Saya tidak ingat waktu bapak saya dibunuh. Karena memang saya belum satu tahun. Tapi saya dengar ceritanya waktu sudah besar,” katanya.
Rabasiah, istri dari Subuh, hanya tertegun saat kami memintanya mengenang peristiwa pembunuhan suaminya. Tapi sang anak ingat, dia meraung ketika jenasah suaminya masuk rumah. Rabasiah memeluk dan menciumi jasad Subuh yang sudah dingin.
“Dia orang baik. [Perangainya] berubah dan jadi jarang di rumah, waktu dia [bergaul] sama orang-orang pencuri itu,” kata Rabasiah, setelah tak lagi tertegun.
Ahriani mengaku tak bisa marah saat tahu ayahnya tewas akibat dianiaya. Dia termasuk dari ratusan anak yang kehilangan keluarga akibat terbunuh dalam pengadilan massa rentang tahun 1999 hingga 2001 di Bantaeng. “Tapi bagaimana juga dia bapak saya. Jadi hanya tinggal didoakan.”
Naskah ini didukung oleh Yayasan Pantau dan donasi publik, masuk dalam seri liputan bertajuk Kisah-Kisah Perampokan di Sulawesi Selatan.
Eko Rusdianto adalah jurnalis lepas yang bermukim di Makassar. Liputannya yang lain untuk VICE bisa dibaca lewat tautan berikut.
Iqbal Lubis adalah fotografer lepas berbasis di Makassar. Simak foto-fotonya di tautan ini.