Kisah Jeffrey Dahmer telah mendapat sorotan baru selama sebulan terakhir. Setiap kali namanya muncul di internet, biasanya orang mengekspresikan rasa jijik mereka terhadap pembunuh sadis asal Milwaukie. Popularitas Dahmer kembali melejit berkat serial Monster: The Jeffrey Dahmer Story yang tayang di Netflix akhir September lalu.
Namun, di antara cacian yang mengutuk perbuatan bejat Dahmer, sayup-sayup terdengar suara yang justru mengasihaninya. Bagi mereka, dia hanyalah lelaki kesepian yang membutuhkan kasih sayang. Mereka yakin Dahmer tidak akan berakhir sebagai pembunuh andai saja ia memiliki seseorang yang tulus mencintainya. Serial tersebut digadang-gadang mengangkat “sudut pandang korban”, tapi malah terkesan berusaha memanusiakan tindakan Dahmer dengan memperlihatkan trauma yang terpendam. Tampaknya ini telah menjadi ciri khas serial yang menyelami isi hati pembunuh berantai, yang dikemas secara emosional hingga mengaduk perasaan para penonton dan meraih simpatik dari mereka. Ambil contoh Ted Bundy, yang dipuja-puja karena karakternya yang karismatik dan tampan di setiap film tentangnya.
Maraknya konten true crime telah merasuki otak kita, hingga rasanya kita tak pernah puas dan ingin menggali lebih banyak konten tentang para pembunuh dengan alasan tertarik memahami jalan pikiran mereka. Podcast, serial TV, film hingga buku banyak bertebaran untuk memenuhi permintaan publik terhadap genre tersebut. Akan tetapi, menjadikan “pembunuhan berantai” sebagai bahan konsumsi generasi digital telah menciptakan hubungan yang lebih rumit dengan karakter yang tidak pantas diidolakan.
The Jeffrey Dahmer Story secara serampangan mendokumentasikan lika-liku perjalanan hidup Dahmer, dari masa mudanya yang menyedihkan, ketika ia dengan kejam menghabisi nyawa korban, hingga persidangan dan kematiannya. Kita bertemu ayahnya yang nyaris tidak pernah hadir dalam hidup si kecil Dahmer, ibunya yang kecanduan obat selama hamil, dan teman satu sekolah yang sering mengganggunya. Kurangnya kasih sayang menumbuhkan masalah keterikatan yang tidak sehat dalam dirinya, yang terlihat dari caranya berinteraksi dengan orang lain. Dari sinilah jiwa pembunuhnya terbentuk. Dia “kesepian” dan tidak ada orang yang mau memahami dirinya. Dia membunuh korban karena takut ditinggal sendirian.
Kurang dari sepekan setelah serialnya dirilis secara eksklusif, seorang pengguna TikTok mengutarakan kebingungannya karena merasa kasihan dengan Dahmer. Videonya telah ditonton lebih dari 87 ribu kali.
“Saya tahu dia tidak waras dan tindakannya sangat keji,” tutur perempuan itu. “Tapi hati saya berkata lain. Saya kasihan dengannya. Dia sangat kesepian sampai-sampai nekat melakukan segala cara supaya bisa dekat dengan seseorang.”
Kolom komentarnya lebih parah.
“Jeff aslinya orang baik. Dia membunuh mereka dengan cepat karena tidak mau mereka merasa kesakitan. Saya menangis saat dia meninggal,” tulis seorang pengguna.
“Saya sedih sekali melihat tidak ada yang peduli dengannya. Semua ini bisa dihindari seandainya ada yang bersedia mengajaknya ngobrol,” bunyi komentar lain.
Perempuan itu bukan satu-satunya yang berempati untuk Dahmer di TikTok. Kamu cukup mencari “Jeffrey Dahmer” dan akan menemukan rentetan video serupa, yang kebanyakan diunggah perempuan muda. Ya, mereka kasihan dengan laki-laki yang mengoleksi tengkorak para korban di rumahnya.
Sayangnya, reaksi semacam ini sudah bisa ditebak akan muncul. Banyak netizen mewanti-wanti agar penonton tidak meromantisasi Dahmer.
“Kalian boleh memuji akting Evan Peters yang hebat, TAPI JANGAN MEROMANTISASI PERANNYA SEBAGAI JEFFREY DAHMER,” demikian bunyi twit yang mengumpulkan 10.000 like.
Tak jarang film yang membongkar sisi pribadi pembunuh menjadikan aspek-aspek dalam hidup mereka sebagai suatu pembenaran atas tindakannya. Mereka bisa berubah sekejam itu pasti karena tak mampu menjalani fungsi sebagai manusia layaknya orang kebanyakan, yang disebabkan oleh trauma masa lalu atau masalah kejiwaan.
Dalam sebuah video, Dahmer ditampilkan sebagai sosok penyayang kepada pasangannya yang tuli, Tony Hughes. Hal ini menunjukkan masih ada sisi manusiawi dalam dirinya. Keinginan Dahmer untuk membunuh baru muncul setelah pasangan berusaha meninggalkannya, karena itu mengingatkan Dahmer pada masa lalunya. Adegan semacam ini memisahkan kejahatan dari hitam dan putih, sesuatu yang telah menjadi tren tontonan yang diadaptasi dari kisah nyata para pembunuh. Intinya ingin mengatakan, “Dia tidak akan menjadi penjahat kalau menerima kasih sayang”.
Itu logika yang keliru; sebuah trik untuk membuat karakter lebih mudah dipahami. Dengan menjadikan pembunuh sebagai pusat cerita, para korbannya menjadi figuran. Fokusnya untuk melihat apa yang membentuk seseorang menjadi pembunuh.
Faktanya, sampai episode terakhir, tak ada satu pun adegan yang mengutamakan sudut pandang korban seperti yang diklaim para pencipta serialnya. Keluarga para korban bahkan membeberkan kru film tidak pernah memberi informasi bahwa penggarapan serialnya akan dilanjutkan.
Rita Isbell, saudara korban yang bernama Errol Lindsey, memberi tahu Insider, “Tak ada yang menghubungi saya tentang serial ini. Netflix seharusnya meminta kesediaan kami sebelum menggarapnya.”
“Saya sedih melihat tragedi ini dimanfaatkan demi uang. Mereka benar-benar serakah. Saya hanya menonton bagian saya muncul untuk melihat seperti apa isinya. Saya tidak mau menonton serialnya sampai habis. Keluargaku mengalaminya langsung. Kami yang tahu seperti apa kejadiannya.”
Memang, sih, hanya segelintir orang yang merasa kasihan dengan pembunuh berantai. Namun, ini bisa terjadi akibat ulah Hollywood yang terlalu mengglorifikasi aksi penjahat, serta obsesi kita dengan true crime. Budaya internet yang cepat membuat obsesi dan sikap kita semakin tak terkendali.
Sebagian besar penonton mungkin jijik dengan Dahmer, tapi bagi segelintir orang, dia hot.
Follow Julie Fenwick di Twitter dan Instagram.