“Rasus… ayo dolanan (ayo bermain)!”
Seorang gadis berlari antusias sambil memainkan tali dari jalinan karet gelang di tangannya. Di kepalanya terpasang mahkota daun. Enam penari dewasa yang bersanggul dan memakai kemben mengikuti di belakang, sambil menari gemulai. Seperti bayangan si gadis kecil, enam penari itu menari sambil menebar bunga, dan di satu titik membentuk formasi melingkar. Sejurus kemudian, gerakan tari si gadis seirama dengan enam penari. Bak kerasukan, ia yang semula lincah tak beraturan, kini gemulai bak perempuan dewasa.
Penonton pun segera bisa menebak arah ceritanya.
Memanggil nama “Rasus” adalah petunjuk bahwa nama gadis kecil itu adalah Srinthil. Rasus dan Srinthil, yatim piatu setelah keluarga mereka keracunan tempe bongkrek, adalah karakter sejoli kondang yang jatuh bangun hidupnya cukup dikenal lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk besutan Ahmad Tohari, terbit pada 1982. Novel ini juga yang banyak berperan mengenalkan seni ronggeng—sama dengan lengger—ke publik Indonesia, bahkan dunia.
Adegan pertunjukan di atas adalah pembuka sesi seminar di hari kedua Jagad Lengger Festival 2022. Diadakan selama tiga hari, sepanjang 25-27 Juni lalu, acara ini mengambil tema “Ngunthili & Napak Tilas Tradisi Lengger”. Menurut keterangan tertulis penyelenggara, misi festival ini adalah mengumpulkan data sekaligus membaca rute perkembangan seni tradisi Lengger yang selama ini simpang siur.
Dari Yogyakarta, saya menempuh waktu empat jam untuk sampai ke Pendhapa Si Panji di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebuah area bangunan tua bersejarah yang nampak asri dan wingit. Awalnya merasa jauh, tapi begitu mengikuti rangkaian acara saya yakin memang tak ada lokasi yang lebih pas untuk merayakan lengger selain di bangunan bersejarah di jantung Banyumas, kota tempat lengger lahir dan tumbuh ini.
Lengger, adalah kesenian tradisional asal Banyumas yang dikenal sebagai tari dengan gerakan feminim, dibawakan oleh laki-laki yang berdandan laiknya perempuan. Konon istilah lengger berawal dari celetukan masyarakat yang berbunyi, “Dikira leng, eh jebul jengger” berarti “dikira perempuan ternyata lelaki.”
Lengger sempat menjadi obrolan seiring dengan munculnya kecaman kalangan ormas konservatif terhadap film “Kucumbu Tubuh Indahku” (2019) besutan Garin Nugroho, lantaran dinilai mengandung konten mempromosikan LGBTQ. Tapi festival ini membuka pemahaman saya bahwa lengger tak sekedar urusan ekspresi gender sesuai pola pikir kekinian, tapi jauh mengakar pada sejarah Banyumas.
“Menurutku membicarakan seorang lengger laki-laki apa perempuan itu permukaan sekali, dan enggak penting lagi. Enggak ada lengger lanang atau lengger wadon, lengger aja, cukup,” ujar Otniel Tasman, direktur JLF yang juga seorang koreografer dan penari lengger. Lebih dari 10 tahun ia konsisten mengulik lengger di karya-karyanya.
Sesi diskusi bersama Ahmad Tohari dan Garin Nugroho hari itu membahas soal lengger dalam produk budaya populer kiwari. “Novel Ronggeng Dukuh Paruk itu brilian, sebab membahas seni di luar pusat kebudayaan, lengkap dengan lanskap sosio-ekologisnya,” ujar Garin Nugroho. Hadir pula secara daring penari Lengger Rianto yang berbagi soal pengalaman tubuhnya tumbuh sebagai seorang lengger hari ini, di zaman yang semakin menuntut keseragaman pengalaman tubuh.
Lengger muncul di Banyumas sebagai bagian dari ritus masyarakat agraris. Lengger tampil di semua ritual yang berkaitan dengan siklus tanam-panen sebagai perwujudan dari dewi kesuburan alias Dewi Sri. Konon pertama kali muncul di daerah Jatilawang. Dugaan lain menyebut tarian ini berasal dari Mataram, lalu menyebar ke Kalibagor Banyumas tahun 1755. Tren lengger ditarikan oleh perempuan baru tercatat sejak 1918. Sebelumnya lengger lazimnya ditarikan lelaki.
Di hari yang sama, saya disuguhi pengalaman menonton lengger dalam format klasik tradisional. Saya berkenalan dengan sosok Dariah lewat film dokumenter Leng Apa Jengger, garapan Bowo Leksono yang rilis 2008. Dariah adalah maestro lengger kondang di Banyumas sejak dekade 1960-an. Lahir sebagai anak laki-laki bernama Sadam, ia kemudian tumbuh menyandang nama Dariah.
“Dariah bukan laki-laki, bukan perempuan, dia perwujudan paling nyata dari apa itu lengger,” ungkap Otniel.
Hari kedua festival memang berfokus pada dinamika seni tradisi lengger kekinian. Abdul Aziz Rasjid dan Linda Mayangsari, kurator JLF mengemas konten festival serupa mesin waktu untuk melihat dinamika tradisi lengger masa lampau, kini, dan masa depan.
“Festival ini bukan mau menentukan mana bentuk lengger paling benar, tapi kita membaca rute perkembangannya. Memang seni tradisi selalu berkembang tiap zaman,” ujar Aziz pada saya.
Seperti kesenian wayang kulit yang juga punya banyak gagrag (genre), lenggerpun demikian. Di seantero Jawa Tengah, ada Lengger Banyumasan, Banjarwaru, Wonosobo, Banjarnegara, Baturaden, Jatilawang, Purbalingga, dan beberapa lainnya. Masing-masing punya ciri khas baik di repertoar tembang saat tampil, maupun detail penampilan penarinya.
Setelah di malam pertama disuguhi pertunjukan lengger tradisional Narsihati yang tampil menari sendirian, pertunjukan hari kedua tampil lengger dari kelompok Rumah Lengger dan Calengsai di pendhapa utama. Para penarinya menggenapi alunan calung dengan cengkrama berbahasa ngapak yang khas. Calengsai jadi pertunjukan menarik sebab menggabungkan calung, lengger, dan barongsai. Kelompok Asimihoa ini membahas kultur jawa dan tionghoa yang selaras di Banyumas.
Penampilan paling berkesan muncul di hari ketiga, saat dinamika lengger di masa depan dibahas bersama-sama. Di hari ketiga ini, penari maupun pembicara JLF didominasi anak-anak muda. Mereka bicara soal kemungkinan lengger digarap sebagai seni pertunjukan multi-disiplin. Film “Amongster: A Boyage of Lengge” (Zen Al Ansory, 2019) misalnya membawa pernyataan bahwa lengger adalah spirit yang bisa diwujudkan dalam bentuk apa saja. Film ini merupakan bagian dari karya lengger kontemporer Otniel Tasman dengan judul yang sama.
Linimasa perkembangan tradisi lengger juga terwujud dalam pameran arsip. Di salah satu ruangan, sebuah rekaman pesta lengger dari tahun 70-an diputar di kacamata virtual reality (VR). Ketika kacamata dikenakan, saya merasa sedang melesat masuk mesin waktu dan ikut merasakan meriah dan mistisnya pesta-pesta lengger jaman dahulu.
Bahasan wacana lengger sebagai bagian dari kebudayaan senantiasa menarik. Tapi sepanjang acara berlangsung, saya justru penasaran pengalaman personal para penari lengger ini.
Saya sempat mengobrol dengan Muhammad Yusup sehabis ia menari di JLF. Menurutnya, menjadi lengger membuatnya merasa bebas jadi diri sendiri. “Aku jatuh cinta waktu lihat pucuk melur (hiasan sanggul) lengger pas umur tujuh tahun,” ceritanya, gesturnya begitu halus. Sejak itu, ia bertekad jadi lengger.
Otniel Tasman pun merasa dirinya lahir dengan identitas ganjil alias queer. Ia merasa bukan laki-laki, tapi juga bukan perempuan. “Ketika akhirnya jadi lengger, saya merasa ini diri sendiri. Untukku lengger itu bahasa ibu, aku memaknai dunia dari kacamata lengger,” ujarnya.
Pada saya Otniel juga memaparkan konsep Nyawiji yang jadi esensi lengger. Nyawiji berarti menyatu atau melebur. Lengger adalah representasi keseimbangan semesta yang setiap unsurnya mengandung dualitas namun menyatu, tidak terdefinisi atau terbatas. Budayawan Sutanto Mendut menyebut lengger adalah kehendak semesta, “Lengger itu bagian dari sejarah desa yang otentik. Pelajaran kemanusaiaan lewat estetika.”
Pemaknaan mendalam soal relasi lengger dengan alam dan spiritual sayangnya cukup terhambat arus konservatisme yang kian marak di Indonesia. Gelombang kebencian terhadap pengalaman tubuh yang beragam ini mewujud dalam banyak penolakan atau pencekalan terhadap kebebasan ekspresi.
“Sejak dulu sebetulnya ada kesenian yang female impersonated seperti lengger, tapi dulu hal seperti ini tidak diasosisikan dengan jadi gay, atau LGBT. Sekarang dikit-dikit dihakimi ini itu,” kata Rene Lysloff, peneliti lengger yang bicara di salah satu sesi diskusi.
Setelah mendapat seluruh pemahaman ini, di malam terakhir saya mengalami sendiri bagaimana lengger bisa menyihir dan membawa saya ke pengalaman rasa yang mendalam.
Kelompok Seblaka Sesutane tampil perdana membawakan karya “The Cosmos Of Leng”. Mata saya dibuat terpaku pada lekukan tubuh para penari yang dibalut kemben dan kain batik ketat. Tubuh mereka bergerak gemulai mengikuti lirisnya suara calung, lalu sejurus kemudian pundak mereka menghentak-hentak penuh tenaga. Kadang goyangan pantat atau pundak penari didikte oleh seruan penonton, atau malah sebaliknya. Timbal balik ini membuat penonton dan penari menyatu dalam pertukaran energi yang intens. Di satu titik, Muhammad Yusup mengenakan rok lebar lalu berputar-putar menjadi semakin cepat. Matanya terpejam dan menengadah, sementara tangan kanannya terangkat ke atas. Persis tarian sufi.
“Kuwe lanang apa wadon ya?” (itu laki-laki apa perempuan ya?), seorang ibu-ibu di samping saya bergumam, seperti bertanya pada dirinya sendiri. Kami sama-sama terpukau dan tidak lagi merasa perlu menjawabnya.
Sebagai penutup, “Lengger Laut” karya Otniel Dance Community dibawakan memikat. Penuh guyonan, erotis, sekaligus mistis. Selama 1,5 jam, adegan demi adegan ditampilkan, melukiskan hidup Dariah sang lengger yang penuh gelombang. Satu adegan menghisap seluruh perhatian saya adalah ketika Otniel Tasman, masuk melewati penonton sambil memegang segenggam dupa. Mulutnya merapalkan tembang Banyumasan. Satu orang laki-laki bergulung menempel di kakinya yang melangkah pelan. Bau kemenyan menguar di udara. Namun suasana mistis mencekam meluruh jadi meriah kembali saat semua lengger menarik penonton untuk menari bersama.
Selama tiga hari maraton menonton lengger, hentakan pundak, geyolan bokong, dan sabetan sampur para penari lengger yang begitu menghipnotis saya. Saras Dewi, di esainya “Tubuh yang Elusif” menulis bahwa tubuh penari lengger laki-laki memantik keingintahuan sebab ada keganjilan yang membuat penikmatnya tidak sepenuhnya dapat mengategorikan maupun mengidentifikasi tubuh tersebut. Saya pikir observasi Saras akurat.
Tak keliru menganggap lengger sebagai seni penghubung manusia dan alam, sebab malam itu saya merasa ia merangkum semuanya. Pencari pesta akan menemukan sebuah gelaran meriah dengan candaan binal dan goyangan erotis yang memuaskan dahaga. Pencari makna akan menemukan bahwa lengger sesungguhnya manifestasi dualitas semesta yang nyawiji dalam satu tubuh.
JLF adalah bukti bahwa seni tradisi tetap bisa kontekstual asal ditampilkan dalam kemasan kontemporer. Saya tak hanya belajar soal tradisi, tapi juga soal keberagaman gender, soal ekologi, juga pemahaman spiritual. Di hari-hari dimana masyarakat semakin dituntut untuk seragam dan patuh pada batas-batas, lengger mengajari kita soal kebebasan.
Dalam salah satu sesi diskusi, Rianto menceritakan pengalaman diskriminatif yang pernah ia alami sebagai seorang lengger. Pengalaman pahit yang mengajarinya prinsip menjadi manusia.
“Ada guruku yang pernah bilang, tubuh ini bukan laki-laki atau perempuan. Itu cuma aran (sebutan) saja, yang terpenting kita harus nyawiji. Meleburkan diri kita sebagai bagian dari alam,” tandasnya.