Setiap kali mendengar kata “Gen Z”, hal-hal yang tebersit di pikiranku adalah e-boy, model rambut mullet dan Greta Thunberg yang berlayar naik kapal untuk menghadiri konferensi iklim. Tapi begitu muncul kata “milenial”, otakku sontak mengeluarkan tanda bahaya.
Jika kalian tipe milenial seperti diriku, kalian mungkin akan setuju generasi kita ini punya selera yang buruk. Rasanya sepanjang hidup kita tidak bisa lepas dari penghinaan. Mungkin karena ini alasannya tak sedikit anak milenial yang berharap mereka jadi Gen Z. Beberapa bahkan tak tanggung-tanggung menyebut diri mereka “zillennial”.
Lisa Walden menulis buku berjudul Managing Millennials for Dummies. Dia memandang hasil beberapa survei persepsi publik, lalu menyimpulkan milenial merupakan generasi yang paling malu dengan kelompok usianya sendiri. Dia memperhatikan ini ketika menyampaikan presentasi di hadapan klien.
“Kami bertanya, ‘Boomer mana suaranya?’ dan boomer akan bersorak-sorai. Gen X lalu bersorak ketika gilirannya. Tapi saat kami bertanya, ‘Milenial mana suaranya?’ Hanya ada suara jangkrik. Sepi,” kenangnya. Alasan mereka begini sepertinya bukan karena umur mereka lebih muda, karena Walden memperhatikan Gen Z tampak lebih bangga dengan label mereka.
Riikka hanyalah satu dari sekian banyak milenial yang tak masalah jika dikelirukan sebagai Gen Z. Perempuan 30 tahun dari London mengaku, “Istilah milenial memiliki asosiasi negatif di pikiranku.”
Dia ingin sekali menjadi Gen Z karena nilai-nilai sosial yang dijunjung oleh mereka lebih inklusif. Selain itu, selera humor generasi di bawahnya sulit ditebak. “Gen Z diajari untuk menerima semua orang. Terkadang saya berharap dididik seperti itu, yang memungkinkan hal-hal ini mendarah daging dalam diri saya dan semua orang di sekitar saya.”
Setelah mengunduh TikTok tahun lalu, Riikka melihat Gen Z jauh lebih humoris dan seru daripada orang-orang sebayanya. “Saya menikmati semua tren yang mereka ciptakan, juga istilah-istilahnya.”
Ebony, 31 tahun, berpendapat Gen Z lebih berani dalam menentukan karier. “Saya rasa Gen Z punya banyak keberanian untuk mencoba hal baru. Mereka lebih memikirkan apa yang benar-benar ingin mereka lakukan. Saya merasa diri saya juga seperti itu, berbeda dari kebanyakan milenial.”
Tak sulit untuk memahami kenapa generasi milenial takjub dengan tingkah Gen Z di TikTok — membuat video menghibur membutuhkan kreativitas lebih tinggi daripada satu-satunya keterampilan yang berkaitan erat dengan milenial: seni bikin latte dengan pola hati di atasnya. Akan tetapi, kecemburuan millennial terhadap Gen Z tak semata-mata berputar di sekitar kepribadian mereka yang keren di media sosial. Lagi pula, sejak dulu, kaum milenial sudah tidak mau mengakui generasinya sendiri, jauh sebelum ada yang namanya Gen Z.
Generasi milenial selalu terlihat buruk di mata orang lain. Pemalas, manja, dan boros hanyalah segelintir contoh kesan jelek yang melekat dalam diri milenial. Walden menganggap ada lebih banyak artikel “clickbaity” tentang generasi milenial daripada generasi lainnya. “Generasi kita bernasib buruk karena memasuki dunia kerja dan menjadi pemula pada saat internet masih dalam masa remajanya. Kita menjadi sorotan,” terangnya.
Riikka tak pernah suka dipanggil milenial dan digambarkan sebagai pemakan alpukat yang matre dan terobsesi dengan diri sendiri. “Kita dijelek-jelekkan banyak orang — tak ada yang menyukai [generasi] kita. Semua orang mengolok-olok apa saja yang kita lakukan,” keluh Riikka.
Memang, ada kalanya kritik yang diterima generasi milenial masuk akal, tapi Riikka merasa hujatan yang datang bertubi-tubi sering kali tidak adil. “Kalau tidak salah pada 2017, orang-orang mengejek, ‘Milenial gak bisa beli rumah, gak bisa melakukan ini-itu, karena merekalah planet hancur’. Lalu kemudian, ‘Kalian yang menciptakan pasar ini buat kami. Kalian dulu bisa beli rumah karena harganya murah.’”
Apakah Gen Z tidak pernah dirundung seperti milenial? Bagaimana bisa mereka terbebas dari hinaan? Ebony berpikir Gen Z serba tahu.
“Milenial dinilai susah diatur. Saya rasa ada ketidakpastian kapan kita akan tumbuh dewasa. Menurut saya, Gen Z jarang mendapatkan perlakuan serupa dan dianggap lebih paham bisnis,” tuturnya, menambahkan orang dulu bersemangat tentang milenial, alias pengguna digital pertama di dunia, tapi mereka tidak memenuhi harapan. “Sepertinya ada sedikit perbandingan antara apa yang tidak kita lakukan dan apa yang kini dilakukan Gen Z.”
Tak ada hal yang bisa tetap keren untuk selamanya, dan mungkin saja Generasi Alfa akan menyindir pendahulu mereka dengan julukan “cheugy” (ketinggalan zaman atau norak). Namun, sulit membayangkan itu terjadi karena sepertinya Gen Z bermental baja. Buktinya, saat generasi tua berusaha mengata-ngatai mereka, Gen Z mampu membuat lawannya diam tak berkutik. Caranya? Dengan mengeluarkan jurus “OK, boomer.” Istilah yang tak pernah terpikirkan sama sekali oleh generasi milenial.
Poppy, 19 tahun, menduga generasinya lebih cuek daripada milenial. “Terkadang saya berpikir, ‘Saya bisa saja kesal saat dihina, tapi dunia ini sedang tidak baik-baik saja, jadi saya mending fokus pada hal yang lebih mendesak,’” jelasnya.
Dia percaya alasannya karena dunia Gen Z sudah sangat online sejak mereka masih kecil. “Saya ingat punya Instagram sebelum waktunya, dan saya berurusan dengan komentar jahat yang terus bergulir. Mungkin perbedaannya dari generasi kami yaitu milenial tidak tumbuh dengan banyak perhatian online.”
CJ kaget saat menyaksikan generasi milenial iri dengan Gen Z dan berharap bisa seperti generasinya. “Saya kasihan sama mereka,” ungkapnya. “Kami tumbuh bersama milenial secara online. Mereka jadi orang pertama yang menggunakan internet untuk membicarakan isu-isu politik. Jadi mereka seharusnya tidak perlu kesal dengan diri sendiri.”
Perempuan 18 tahun itu mengapresiasi generasi milenial yang tidak mewarisi kebiasaan mencemooh generasi muda. “Generasi tua jelas lebih sering meremehkan milenial daripada milenial yang meledek Gen Z.”
Jadi tampaknya keengganan kaum milenial menyebut diri mereka milenial adalah… masalah milenial. Sikap generasi tua sulit untuk dimaafkan, tapi kita harus melupakannya. Kita musuh terburuk diri kita sendiri. Kita sering menyebarkan meme tak realistis yang membandingkan kehidupan kita dengan orang tua serta bergurau tentang betapa menyedihkannya hidup kita. Milenial mungkin merupakan generasi paling tidak beruntung dalam sejarah, tapi setidaknya masih ada satu orang yang menganggap kalau kita tidak buruk-buruk amat.