Sewaktu kecil dulu, kalian pasti pernah diam-diam makan es krim padahal sudah dilarang. Kalian meyakinkan ibu tidak habis jajan dengan wajah celemotan. Perilaku ini ternyata agak mirip dengan bintang-bintang yang melahap planetnya sendiri. Hanya ada jejak kimia yang terlihat dari Bumi.
Temuan ini diuraikan dalam penelitian yang diketuai Lorenzo Spina, astrofisikawan dan ilmuwan data Observatorium Astronomi Padua di Italia. Diterbitkan Senin di jurnal Nature Astronomy, studinya memperkirakan 20-35 persen bintang mirip Matahari telah menelan planet.
Penemuan yang mengerikan sekaligus menarik dapat “mendorong kemajuan generasi ilmu astrofisika”, yang dapat membantu pencarian planet layak huni mirip Bumi dengan menyelesaikan “salah satu contoh paling kontradiktif dalam astrofisika bintang dan sumber ketegangan antara teori dengan pengamatan,” tulis peneliti dalam studi tersebut.
“Model teoretis evolusi sistem planet memprediksi peristiwa penelanan planet dapat terjadi di sekitar bintang mirip Matahari,” Spina menjelaskan melalui email. “Akan tetapi, kami tidak memiliki prediksi yang jelas tentang terjadinya peristiwa dramatis ini. Karena itulah hasil penelitian kami sangat penting. Temuan kami menyajikan kendala pada model teoretis yang tidak tersedia sebelumnya.”
“Selain itu, saya sangat terkejut saat menemukan sebagian besar sistem planet di sekitar bintang mirip Matahari mengalami masa lalu yang sangat dinamis dan kacau, berbeda sekali dengan tata surya kita,” imbuhnya. “Hal itu menunjukkan, meskipun sistem planet umum di galaksi, banyak di antaranya mengalami hal yang berbeda dari tata surya.”
Untuk sampai pada kesimpulan ini, Spina dan rekan-rekan berusaha menjawab pertanyaan yang telah lama menghantui ilmuwan: kenapa ada sistem bintang ganda yang mengandung bintang dengan komposisi kimia yang berbeda?
Model pembentukan bintang saat ini menunjukkan, bintang muncul dari awan molekul “protostellar” dengan komposisi kimia yang homogen. Dengan demikian, bintang kembar yang terbentuk dari proses kosmik yang sama seharusnya memiliki bahan kimia yang sama. Namun, ilmuwan malah menemukan sebaliknya. Banyak bintang biner yang komposisi kimianya berbeda.
Salah satu alasannya mungkin karena awan protostellar tidak begitu seragam seperti yang diperkirakan ilmuwan. Jika benar adanya, kemungkinan ini dapat mengubah pemahaman kita tentang pembentukan bintang. Penjelasan lain yang lebih dramatis yaitu beberapa sistem mengembangkan ketidakstabilan dinamis yang melemparkan planet ke bintang induknya. Akibatnya, atmosfer luar bintang-bintang itu diperkaya oleh komposisi planet macam besi dan litium, membuatnya berbeda dari bintang biner yang lebih stabil.
“Sudah ada beberapa penelitian yang mempelajari anomali kimia pada pasangan biner dalam satu dekade terakhir,” ujar Spina. “Namun, penyebab anomali ini selalu sulit dipahami. Faktanya, selain skenario penelanan planet, banyak teori alternatif yang telah diajukan untuk menjelaskan anomali kimia ini.”
“Meskipun demikian, bukti kuat yang mendukung (atau menentang) skenario penelanan planet akan sangat meningkatkan pemahaman kita tentang evolusi sistem planet dan kemungkinan menemukan sistem yang serupa dengan tata surya,” lanjutnya. “Untuk itulah kami merasa perlu mengisi kesenjangan pengetahuan ini.”
Para peneliti lalu melakukan studi statistik terhadap 107 pasangan biner bintang mirip Matahari dengan suhu efektif yang sama, termasuk 74 pasangan dengan kelimpahan kimia yang cocok dan 33 pasangan dengan konsentrasi besi yang sangat berbeda.
Model ciptaan mereka mengungkapkan peristiwa penelanan planet tak hanya menjelaskan pasangan anomali, tapi suhu bintang juga berkorelasi dengan bahan kimianya. Dengan kata lain, bintang yang lebih panas lebih cenderung menunjukkan tanda-tanda penelanan planet di masa lalu karena atmosfer luarnya lebih tipis, menciptakan penampakan lebih jelas dari sisa-sisa planet yang terkonveksi di dalamnya.
“Kami menunjukkan kemungkinan menemukan bintang biner yang anomali kimia meningkat dengan suhu rata-rata pasangan,” terang peneliti dalam studi tersebut. “Hasil ini tidak dapat dijelaskan dengan ketidakhomogenan awan protostellar yang dihipotesiskan.”
Yang jelas ini menunjukkan penghuni Bumi sangat beruntung hidup di tata surya yang stabil dan tenang.
Walaupun terdengar mengerikan, peristiwa ini mungkin bisa membantu kita menemukan planet mirip Bumi yang berpotensi layak huni suatu saat nanti. Namun, proses pencarian kembaran Bumi hipotetis ini akan sulit dilaksanakan, mengingat dibutuhkan ratusan hari untuk menyelesaikan orbitnya. Oleh karena itu, kecil kemungkinannya untuk bisa melihat planet ini saat melewati bintang.
Akan tetapi, pencariannya dapat dipersempit dengan mengamati bintang mirip Matahari untuk menemukan tanda-tanda penelanan planet di masa lalu. Cara ini akan mengisyaratkan sistem semacam itu secara dinamis tidak stabil. Sistem-sistem ini bisa saja tidak diprioritaskan karena cenderung tidak layak huni; lagi pula, setiap kembaran Bumi yang mungkin berkembang di dalamnya akan menjadi santapan bintang induk.
“Salah satu tantangan ilmiah utama untuk dekade ini adalah menemukan planet serupa Bumi yang mengorbit bintang mirip Matahari,” tutur Spina. “Kami menetapkan peristiwa penelanan planet dapat mengubah komposisi kimia bintang mirip Matahari. Oleh karena itu, hasil ini berpotensi membuka kemungkinan penggunaan analisis bintang untuk mengidentifikasi bintang induk planet yang serupa dengan tata surya kita yang tenang.”
“Kenapa penting? Karena ada jutaan bintang terdekat yang mirip Matahari di luar sana: tanpa metode yang bisa mengidentifikasi target paling menjanjikan, pencarian Bumi 2.0 akan seperti mencari jarum di tumpukan jerami,” imbuhnya.
Selain menghasilkan “metode hulu” yang terinspirasi dari penelitian mereka, para peneliti berharap instrumen generasi berikutnya dari Observatorium Selatan Eropa, seperti Multi-Object Spectrograph Telescope (4MOST) 4 meter dan Multi-Object Optical and Near-infrared Spectrograph (MOONS), mampu mengamati secara lebih detail bintang ganda mirip Matahari yang tidak homogen.
Penyelidikan di masa depan dapat membongkar rahasia sistem-sistem ini, seperti akar dari ketidakstabilannya atau kemungkinan kelas planet tertentu lebih cenderung terlempar ke bintang induk.
“Penelitian kami menunjukkan, peristiwa penelanan planet dapat mengubah komposisi kimia bintang mirip Matahari,” terang Spina. “Oleh karena itu, di masa depan, kita harus mengamati lebih banyak sistem bintang ganda untuk mendapatkan persentase peristiwa penelanan yang lebih tepat. Selain itu, kita juga perlu mencari korelasi antara jejak kimia dari peristiwa penelanan planet di bintang induk dengan arsitektur sistem planet.”
“Apakah sistem dengan arsitektur yang lebih kacau menunjukkan tanda-tanda peristiwa planet tertelan? Kita perlu menjawab pertanyaan ini,” simpulnya.