Selepas menjabat jadi menteri sosial ternyata tak membuat tensi mantan wali kota Surabaya Tri Rismaharini turun. Aksi khasnya memarahi anak buah di depan umum sampai diliput media terjadi lagi, kali ini di Kota Bandung.
Risma yang Selasa (13/7) kemrin sedang meninjau dapur umum Kementerian Sosial di halaman kantor Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Wyata Guna gondok berat. Gara-garanya, ia melihat relawan tenaga siaga bencana pontang-panting masak, tapi para ASN malah sibuk kerja di dalam kantor. Menurut Bu Menteri, para ASN kudunya responsif ikut membantu agar kerjaan dapur umum cepat kelar.
“Tolonglah, rakyat susah saat ini. Teman-teman itu masih beruntung, setiap bulan ada gaji. Coba yang jualan di luar, gimana mau ngasih makan mereka kalau masak gitu aja modelnya. Masak telur saja kayak gitu modelnya. Tolong belajar, teman-teman ini bekerja di Kementerian Sosial, paham?” omel Risma di depan pegawai dan Kepala Balai, dilansir Detik.
Risma lalu mengancam ASN Kemensos yang tidak baik kerjanya akan dimutasi ke Papua. “Saya enggak bisa pecat orang, tapi saya bisa pindahin ke Papua,” ujarnya. “Dengar, saya enggak main-main, enggak ada yang susah buat saya pindahkan ke Papua,” katanya.
Ancaman itulah yang kini jadi masalah di media sosial. Warganet mengecam cara Risma memotret Papua sebagai tempat membuang orang tak kompeten, menyebutnya sebagai perilaku rasis dari alam bawah sadar. Terlebih, praktik ini mengingatkan pada cara pemerintah kolonial menjadikan Papua tempat membuang orang hukuman. Sementara pengguna lain berupaya membalikkan stigma Papua dengan menuturkan bahwa mereka bangga jadi orang Papua.
Hingga artikel ini dilansir, respons di internet soal ucapan Risma masih terus mengalir. Pejabat Indonesia seringkali lupa, ucapan yang secara tak langsung mendiskreditkan Papua adalah perkara sensitif. Padahal baru dua tahun lalu Risma menyaksikan sendiri sebagai wali kota Surabaya, bentrok yang dipicu ucapan rasis kepada orang Papua meledak di kota itu dan membesar jadi kerusuhan di berbagai kota. Isu semacam ini mudah memanas mengingat masalah ketidakadilan di Papua tak kunjung selesai.
Perilaku rasis tanpa sadar kepada wilayah dan orang asli Papua ini pernah dibahas intelektual Papua Ligia Judith Ligay dalam opininya merespons kerusuhan Surabaya dan Papua di 2019. Ligay meminjam istilah “tatapan kolonial” dari pemikir pascakolonial Frantz Fanon untuk menyebut cara orang Indonesia di luar Papua memandang pulau ini.
“Orang-orang Papua selalu dianggap ‘terbelakang’ dan ‘pemabuk’. Tak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. […] Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: percaya bahwa Papua serba-kekurangan,” tulis Ligia di Tirto.
Stigma buah dari tatapan kolonial itu terus ditunjukkan. Yang dipraktikkan Risma memang jarang terjadi, menjadikan “dipindahkan ke Papua” sebagai cara menghukum. Yang jauh lebih sering dipakai adalah menjadikan penampilan fisik sebagai objek hinaan. Contohnya adalah kelakuan Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Amin (Projamin) Ambroncius Nababan yang menghina eks komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dengan menjejerkan potret Pigai bersama foto gorila. Kejadian ini membuat Nababan harus berurusan dengan polisi.