Pada pertengahan Januari 2022, pengadilan tinggi Ibu Kota New Delhi mulai mempertimbangkan petisi yang mendesak agar pasal KUHP India tentang pemerkosaan segera direvisi. Pasal itu dinilai melindungi laki-laki dari tuduhan pemerkosaan yang terjadi dalam rumah tangga.
Namun, petisinya mendapat penolakan keras dari laki-laki. Mereka melancarkan kampanye online #marriagestrike dan bersumpah tidak akan mau menikah jika pemerintah mengesahkan undang-undang yang mengatur jenis pemerkosaan ini.
Pendukung aksi mogok nikah khawatir laki-laki yang tak bersalah bisa menjadi korban tuduhan palsu, terutama oleh istri yang menginginkan tunjangan tambahan pasca cerai.
“Sekarang, laki-laki yang mau menikah saja dianggap berbuat kejahatan di India. Jika mereka dituduh [memerkosa istri setelah] menikah, tak ada cara lagi untuk membela diri. Sudah tidak ada perlindungan bagi laki-laki,” tukas Anil Kumar, pendiri organisasi pembela hak pria Save Indian Family Foundation yang menginisiasi #marriagestrike, saat dihubungi VICE World News.
Netizen India menanggapi tagar dan ancaman boikot ini dengan sarkas. “Para laki-laki yang mendukung #MarriageStrike – ini ancaman atau janji?” seorang pengguna Twitter berkomentar. “Terima kasih buat para laki-laki India yang sudah memopulerkan #MarriageStrike. Maju terus, pantang mundur. Berkat kalian, saya jadi punya alasan untuk menghindari pertanyaan kapan nikah,” pengguna lain bergurau.
India termasuk dalam 36 negara yang tak kunjung menindak keras perkosaan dalam perkawinan. KUHP negara tersebut mengasumsikan hubungan badan antara suami dan istri dilakukan atas dasar suka sama suka. “Selama usia istri tidak di bawah 15 tahun, hubungan seksual bersama suami bukanlah pemerkosaan,” bunyi salah satu ayat di pasal. Pemerintah Delhi melihat tak perlu ada undang-undang yang secara khusus mengatur jenis pemerkosaan ini, karena sudah termasuk pasal pidana KDRT.
“Marital rape” merupakan masalah serius di India. Survei tahun 2015 menemukan, rata-rata perempuan India 17 kali lebih berisiko menghadapi kekerasan seksual yang dilakukan suami daripada orang lain. Sayangnya, sudut pandang masyarakat yang masih didominasi laki-laki selalu mengesampingkan hal ini. Contohnya bisa dilihat dari keengganan pemerintah merancang undang-undang marital rape.
“Harus dipastikan pemerkosaan dalam rumah tangga tidak menjadi fenomena yang dapat menggoyahkan institusi pernikahan, selain menjadi alat untuk melecehkan suami,” demikian pernyataan pemerintah Delhi dalam pengadilan.
Kelompok aktivis hak laki-laki Purush Aayog menolak secara hukum desakan ini, mengatakan tak ada ruang bagi UU tersebut dalam pernikahan.
“Saya sepenuhnya percaya hubungan badan yang terjadi dalam pernikahan dilandaskan persetujuan kedua belah pihak. Kalau sampai undang-undang perkosaan disahkan dan suami dihukum, siapa lagi yang mau menikah?” kata Barkha Trehan, perempuan yang memimpin Purush Aayog, kepada VICE World News.
“Kemarin, ada kira-kira 15 sampai 20 pria dewasa yang menghubungi saya untuk mengutarakan kegelisahannya. Mereka berkata: ‘Buat apa saya menikah kalau cuma untuk merusak karier? Buat apa menikah kalau akhirnya menghilangkan martabat dan menjadikan saya penjahat terbesar di dunia tanpa alasan?’”
Jurnalis Rituparna Chatterjee, yang kerap meliput politik gender, menyebut gerakan #marriagestrike hanya akan merebut perlindungan yang dibutuhkan para penyintas kekerasan seksual dalam rumah tangga.
“Seks dalam jenis hubungan apa pun membutuhkan persetujuan kedua belah pihak. Ketakutan yang belum terbukti bahwa perempuan akan menyalahgunakan undang-undang ini untuk membuat tuduhan palsu, yang pada gilirannya merenggut perlindungan bagi perempuan yang sudah menikah, [menandakan] betapa laki-laki masih mengontrol tubuh perempuan,” tegasnya saat berbicara kepada VICE World News.
“Akan jauh lebih baik jika kita mengajukan pertanyaan yang tepat, seperti ‘perlindungan apa yang akan diberikan undang-undang? Seperti apa keseimbangannya nanti?’ daripada berusaha menghentikannya melalui tagar yang mementingkan diri sendiri.”
Follow Rimal Farrukh di Twitter.