Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, untuk kesekian kali menegaskan posisi pemerintah saat ini yang opresif terhadap kelompok LGBT. Saat berada di Bali, kemarin (18/5), Mahfud menyatakan pemerintah sejatinya sudah sepakat sejak 2017 silam untuk memidana LGBT. Namun, saat itu upaya menyisipkan pasal pidana bagi LGBT pada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak terlaksana akibat kritik dari berbagai pihak.
Dalam pernyataan terbarunya ini, Mahfud menyebut sikap pemerintah tidak berubah. “Kalau pemerintah sudah jelas [sikapnya], sudah menyampaikan. Di RKUHP dipidana, di RKUHP sudah masuk bahwa LGBT itu dalam cara-cara tertentu dan ekspose tertentu dilarang, dan ada ancaman pidananya. Kan begitu, tapi waktu itu [publik] ribut. Iya ribut, iya ditunda,” ujar Mahfud dilansir Merdeka.
Mahfud tidak menjelaskan lebih lanjut maksud dari “cara-cara dan ekspos tertentu” ini. Nasib RKUHP-nya sendiri belum mengalami banyak perkembangan berarti setelah rancangan yang tersebar ke publik pada 2019 menuai banyak kritik akibat kehadiran pasal-pasal absurd (masih ingat soal pasal hewan ternak?). Kabar terakhir, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menargetkan RKUHP akan diselesaikan pada 2022.
Karena ada deadline dan ada preseden draf RKUHP menuai protes, Mahfud juga menyebutkan hal lain yang bikin khawatir. Menurutnya, ia menyarankan RKUHP yang memuat pemidanaan LGBT bisa disahkan dulu, daripada berlama-lama ribut tentang hukum pidana LGBT ini. Nantinya, apabila ada yang tak setuju, bisa diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau masih tidak setuju juga, nunggu kapan [semua] orang setuju di Indonesia? Maka disahkan saja, lalu nanti kalau tidak [setuju] ya berperkara saja ke MK dan dinilai oleh MK. Kan sudah ada prosedurnya,” tambah Mahfud.
Saat ini hukum positif Indonesia memang tak memidanakan LBGTQ. Pembahasan mengenai pasal pidananya di RKUHP kembali menyeruak di antara elite politik usai podcast Deddy Corbuzier yang mendatangkan pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederik Vollert jadi sorotan publik.
Kecaman yang diterima mantan pesulap itu membuat Deddy menghapus konten dan meminta maaf kepada publik. Namun, obrolan tentang isu masih berlanjut hingga ke diskusi pemidanaan LGBT, terutama di kalangan ulama dan politisi. Kegaduhan ini adalah contoh bagaimana sosok berpengaruh harus lebih peka terhadap dampak dan konsekuensi tindakannya terhadap keselamatan orang lain.
menanggapi pernyataan Mahfud, peneliti Institute for Criminal for Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menegaskan logika dasar ranah hukum, yakni negara tak berhak melakukan kriminalisasi pada ranah privat. Hukum pidana, ucap Maidina, memerlukan pembuktian objektif yang menindak berdasarkan sebuah perbuatan. Ia mencontohkan, seseorang dari kelompok LGBT boleh saja dihukum apabila terbukti melakukan aksi kriminal, misalnya kekerasan seksual. Namun, yang jadi dasar pemidanaannya adalah kekerasan seksual, bukan orientasi seksual.
“Hukum pidana enggak akan bisa kriminalisasi orientasi seksual. Ini terkait erat dengan overkriminalisasi. Pemerintah udah kewalahan sama overcrowding [narapidana] narkotika, jangan ditambah-tambahin masalah orientasi seksual begini,” jawab Maidina saat dihubungi VICE. “Ranah itu enggak bisa disentuh hukum pidana, kalau diatur yang ada abusif. Yang dikejar pengakuan, pengakuan ladangnya penyiksaan.”
Saat ditanyai soal sumbangsih saran Mahfud MD agar KUHP kriminalisasi LGBT lebih baik disahkan dulu, sehingga apabila ada yang tak setuju bisa diproses melalui MK, Maidina menolak pendekatan macam itu.
“Enggak boleh gitu. Kan kemarin Pak Jokowi menunda pengesahan RKUHP karena pertimbangan substansi, substansinya bermasalah. Pak Jokowi udah sepakat tidak ada pengesahan karena alasan materi, lah ini malah menterinya yang ingin disahkan langsung [tanpa pendalaman substansi],” tambah Maidina.
Meski sampai saat ini belum ada pasal pidana untuk LGBT, nyatanya kriminalisasi terhadap kelompok tersebut sudah kerap dilakukan. Modus paling umum seperti yang terjadi pada September 2020 lalu di Jakarta. Polisi menggerebek kegiatan privat komunitas gay di Jakarta dan menjeratnya memakai UU Pornografi.