Direktur Yayasan Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti resmi dilaporkan Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Panjaitan ke Polda Metro Jaya, hari ini (22/9). Laporan ini dibuat setelah dua kali somasi Luhut kepada Haris dan Fatia tidak diladeni. Dasar masalahnya, Luhut menilai obrolan dua aktivis tersebut di channel YouTube Haris mengandung fitnah terhadap dirinya.
Sedikit kilas balik, di video tersebut Haris dan Fatia berbincang soal keterlibatan PT Tobacom Del Mandiri, anak perusahaan Toba Sejahtera Group (TBG), dalam bisnis tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Nama Luhut terseret dalam perbincangan karena dia termasuk pemegang saham TBG.
Obrolan tersebut rupanya membuat Luhut tersinggung. Ia dua kali mengirim somasi berisi permintaan agar Haris-Fatia minta maaf serta menghapus konten itu, kalau enggak mau dipidana.
“Ya, karena sudah dua kali [somasi] dia enggak mau. Saya kan harus mempertahankan nama baik saya, anak cucu saya. Jadi, saya kira sudah keterlaluan karena dua kali saya sudah minta, [mereka] enggak mau minta maaf. Sekarang, kita ambil jalur hukum. Jadi, saya pidanakan dan perdatakan,” kata Luhut, dilansir CNN Indonesia.
Pengacara Luhut, Juniver Girsang, menyebut pihaknya sudah menyertakan bukti video dalam pelaporan dan siap menjerat Haris-Fathia dengan setidaknya tiga pasal pidana, salah satunya menggunakan UU ITE, beleid yang terkenal rutin dipakai membungkam kritik.
Berbarengan dengan masuknya laporan tersebut, akun Instagram Luhut mengunggah penjelasannya mengapa mengambil langkah hukum. Dalam post tersebut, ia menyebut keputusannya melapor ke polisi “sudah sangat saya pikirkan secara matang” dan melabeli obrolan Haris-Fatia sebagai “tuduhan tak berdasar”.
Luhut menolak membuktikan dirinya tidak terlibat bisnis tambang di Papua. Ia menganggap Haris dan Fatia yang mestinya membuktikan tudingan mereka, sebagai pihak yang mengungkap. Sementara Haris Azhar menyebut apa yang diobrolkannya bersama Fatia mengacu pada riset sejumlah LSM. “Laporannya [tentang keterlibatan perusahaan Luhut di tambang emas Papua] sudah dipublikasi di website Jatam, KontraS, Walhi, dan lain-lain. Laporan mereka [KontraS] ada sumber datanya,” kata Haris kepada Tempo.
Menanggapi aksi sang pejabat publik menggugat pakai UU ITE, KontraS segera menggelar konferensi pers di kanal YouTube. Direktur YLBHI Asfinawati menyebut pejabat publik seperti luhut terikat etika pejabat publik sehingga kebijakannya harus bisa dikritik. “Kalau LBP mengatakan [mereka] adalah individu yang memiliki hak [membawa kasus ke hukum], benar dia memiliki hak. Tapi, yang dikritik Fatia justru bukan LBP sebagai individu, tapi sebagai pejabat publik,” ujar Asfinawati dalam konferensi pers.
“Fatia jelas bertindak sebagai ketua KontraS, dia mewakili organisasi. Karena itu dia tidak bisa diindividualisasi. Kalau kita gunakan UU ITE yang merujuk pada KUHP kan [berlaku untuk] tiap orang. Ini bukan orang, Fatia bukan bertindak atas keinginannya sendiri, tapi sebagai mandat dari organisasi,” tambah Asfinawati.
Di kesempatan yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menjelaskan bahwa di berbagai negara, penggunaan hukum pidana pada kasus dugaan pencemaran nama baik telah ditinggalkan.
“Mereka lebih banyak menggunakan hukum perdata. Di hukum perdata, yang diatur adalah hubungan hukum antara satu warga dengan warga lain. Dalam hukum yang demikian, yang boleh menggugat dan digugat adalah sesama warga. Dengan kata lain, pejabat tidak boleh menggugat warga negara. Kalau dilakukan, sama dengan tindakan yang melecehkan warga negara secara hukum atau judicial harassment,” ujar Usman.
Usman juga menyoroti kecenderungan pejabat public memidanakan warga sipil yang melontarkan kritik. “Ini bertolak belakang dengan pernyataan yang sering diulang Presiden bahwa pemerintah berkomitmen melindungi kebebasan berpendapat,” tambah Usman.