Terima kasih kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang sudah mengingatkan generasi muda bahwa kami akan sangat kesulitan membeli rumah.
Berbincang di webinar Road to G20-Securitization Summit 2022 hari pertama, Sri mengungkap adanya backlog perumahan di Indonesia sebesar 12,75 juta. Merujuk definisi dari situs Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kemenkeu, angka ini menunjukkan bahwa ada 12,75 juta rumah tangga yang saat ini masih tinggal di rumah yang bukan miliknya: bisa ngontrak, numpang di rumah orang tua, mertua, saudara, atau tinggal di rumah rusak tak layak huni. Data backlog ini mengalami kenaikan dibanding catatan 2015 sebesar 11,4 juta rumah tangga, merujuk Badan Pusat Statistik.
Angka ini terancam terus naik. Menkeu menjabarkan, semakin melonjaknya harga tanah dan bahan bangunan tidak bisa diikuti daya beli generasi muda. “Purchasing power mereka [generasi muda] dibandingkan harga rumahnya lebih tinggi [harga rumahnya], sehingga mereka akhirnya end up tinggal di rumah mertua atau sewa. Itu pun kalau mertuanya punya rumah juga. Kalau enggak punya rumah, itu juga jadi masalah lebih lagi, [masalahnya] menggulung per generasi,” kata Menkeu Sri dalam webinar.
“Kita punya gap antara demand [permintaan] dengan purchasing power [daya beli], itu namanya harap-harap cemas. ‘Saya bermimpi punya rumah’ dan ‘saya berencana punya rumah’, keduanya berbeda. Mimpi ya mimpi, kalau berencana ya berarti sudah ada daya belinya untuk mengeksekusi rencananya,” tambah Menkeu.
Demi menekan ketimpangan ini, Sri menyebut pemerintah coba meluncurkan sejumlah kebijakan. Di antaranya, pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, pembuatan skema kredit rumah rakyat yang disubsidi, hingga fasilitas likuiditas pembiayaan rumah (FLPP) untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) FLPP ini disebut memiliki syarat pengajuan lebih mudah dari KPR non-subsidi dengan jangka waktu angsuran, dikenal dengan istilah masa tenor, yang panjang dan angsuran yang rendah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira sepakat isu kepemilikan rumah di masa depan mesti disikapi serius. Mengingat 75 persen pembelian rumah di Indonesia menggunakan sistem KPR, suku bunga tinggi akan semakin membuat generasi muda terancam tidak memiliki rumah.
“Sebelum ada kenaikan suku bunga aja gajinya milenial enggak bisa ngejar kenaikan harga bangunan dan tanah, apalagi ditambah ini. Sudah jatuh, tertimpah tangga dua kali,” ujar Bhima saat dihubungi VICE.
Ekonom tersebut menggarisbawahi program-program yang dicanangkan pemerintah memang sudah berjalan, namun masih perlu perbaikan. KPR melalui mekanisme FLPP disebut Bhima proses pencairannya masih lamban. Rumah sederhana hasil subsidi di beberapa tempat ternyata jauh dari transportasi publik. “Terus ketersediaan listriknya, infrastruktur dasarnya. Akhirnya, udah dibeli tapi enggak ditempatin. Itu jadi salah satu masalah,” tambah Bhima.
Melihat target backlog 12,75 juta yang harus dikejar, Bhima menyebut isu ketersediaan lahan menjadi penting. Maka, ia berpendapat pemerintah bisa segera merealisasikan program bank tanah untuk perumahan. Entah untuk apartemen atau rumah susun, yang penting terjangkau oleh anak-anak muda yang baru bekerja.
Di samping itu, Bhima mengimbau agar himbara (himpunan bank negara, terdiri atas Bank Mandiri, BTN, BNI, dan BRI) agar lebih banyak memberi keringanan kredit kepada masyarakat, misalnya program fixed rate selama 5 tahun untuk KPR.