Berita  

Mengupas Tuntas Alasan Orang Ada yang Takut Terlihat Bucin dan Manja

mengupas-tuntas-alasan-orang-ada-yang-takut-terlihat-bucin-dan-manja

Orang yang tak kunjung punya pasangan pasti pernah sekali dua kali mendengar saran, seperti “Urusan jodoh jadi nomor kesekian. Yang penting kamu mencintai dirimu sendiri” atau “Jodoh pasti akan datang tanpa dicari”. Meski dimaksudkan untuk menenangkan hati para jomblo yang gelisah, pesan-pesan self-love semakin ke sini terasa seperti beban. Kamu akhirnya malu mengakui dirimu sebenarnya mendambakan cinta dan ingin dicintai orang lain. “Saya sering dinasihati bahwa mencintai diri sendiri adalah ‘puncak aktualisasi diri’. Kamu dianggap lemah jika memiliki hasrat untuk menjalin hubungan romantis,” tutur Maya Finoh, advokat hak asasi manusia dan seorang model di Brooklyn, New York.

Pertanyaannya, akankah ketakutan kita untuk terlihat lemah menyebabkan paham individualisme tumbuh subur dalam urusan percintaan, yang akhirnya merampas kesempatan kita untuk terhubung dengan orang lain?


Psikolog klinis Dr. Nathan Brandon menerangkan, dialog seputar “bahagia dengan diri sendiri” yang beredar dewasa ini berasal dari pemahaman keliru dan ketakutan kita menjadi sosok yang kodependen. “Istilah ‘kodependensi’ yang diciptakan pada 1979 awalnya untuk menggambarkan sifat hubungan pencandu alkohol dengan pasangan atau keluarganya, yang dikatakan bisa menjadi alasan penyalahgunaan zat,” jelasnya. “Tapi sekarang, istilah itu sering digunakan untuk segala jenis hubungan yang kurang harmonis, dan menggambarkan orang sebagai lemah, manja, atau terlalu bergantung pada pasangan.”

Sayangnya, sifat manja menjadi hal yang kurang disukai dan dianggap tidak menarik. Menurut hasil survei global VICE pada September 2020, “hanya satu dari 10 anak Gen Z yang siap berkomitmen,” yang tercermin dari sentimen umum di media sosial bahwa orang bucin sangat menggelikan. Di mata orang, mereka terlihat lebih buruk daripada pasangan yang bersifat dingin. 

Pada kenyataannya, gagasan hidup melajang yang amat diromantisir belakangan ini bisa saja didasari pada ketakutan seseorang untuk menjalin hubungan intim dan keengganan mereka terlihat rapuh.

Josie Ramirez, 23 tahun, dulu berpegang teguh pada mentalitas “you are enough”, atau kasarnya diri sendiri di atas segalanya, saat membangun hubungan. Dia percaya ada yang salah dengan diri kita jika membutuhkan kehadiran orang lain. “Saya menjauh dari orang lain, dan berhenti berurusan dengan orang yang kurang cocok untukku. Saya baru sadar bertahun-tahun kemudian, selama ini saya sendirian,” tuturnya. 

“Saya mengakhiri hubungan dan enggak punya siapa-siapa selain diri sendiri. Saya bersikeras mencintai diri sendiri sudah cukup, padahal sebenarnya itu tidak bisa dibilang cinta. Yang saya lakukan justru membangun tembok pemisah dan mengasingkan diri dari dunia luar untuk mempertahankan delusi.”

Josie sekarang memahami, dirinya bisa tetap mencintai diri sendiri sembari menerima kehadiran orang lain.

Pesan self-love yang marak digaungkan di media sosial telah menjadi pilar inti dari pola pikir kapitalis “girlboss” yang terus bertahan, meski era ini telah berakhir. Banyak orang mengesampingkan cinta demi meningkatkan produktivitas dan pengembangan diri. Kamu akan terlihat lebih keren saat nge-gym daripada nongkrong bareng teman. Dr. Brandon menegaskan mustahil bagi kita memenuhi kebutuhan yang tiada henti-hentinya untuk mencapai kesempurnaan sebelum memasuki fase hubungan. “Tidak ada yang salah jika orang menginginkan hubungan romantis. Memiliki hasrat untuk menjadi dekat dan berhubungan dengan orang lain sangat normal dalam kehidupan manusia,” ujarnya. “Kamu bisa mencintai diri sendiri sekaligus orang lain. Kamu tidak perlu memilih di antara keduanya. Jika kamu hanya fokus mencintai diri sendiri, kamu masih bisa mengalami kesulitan membangun hubungan yang sehat dan intim dengan orang lain.”

Namun, walaupun memiliki pasangan hidup bukanlah suatu keharusan, kita sebagai makhluk sosial tetap membutuhkan kebersamaan dengan orang lain. “Saya yakin hiper-individualisme, yang berakar kuat pada kapitalisme, telah membuat kita percaya kalau kita harus bisa melakukan segalanya sendirian,” kata Maya. “Kita tidak menerima cinta dari pekerjaan karena institusi tidak mencintai kita. Sementara itu, hubungan platonik masih kurang mendapat perhatian dan dianggap tidak sepenting hubungan romantis.”

Maya menilai gagasan ‘love yourself first’ tidak mempertimbangkan “berbagai bentuk penindasan sistemik dan standar kecantikan menjijikkan yang bikin orang sulit mencintai diri mereka sendiri.”

“Hiper-individualisme mengubah perasaan rendah diri dan kesulitan mencari pasangan sebagai tanggung jawab pribadi. Dengan demikian, kamu sendirilah yang harus belajar mencintai diri karena itu bukan tanggung jawab masyarakat,” lanjutnya. Dia lalu menambahkan, yang kita butuhkan sebenarnya bukan kodependensi, melainkan interdependensi.

Jesse Kahn, direktur dan terapis seks di Pusat Terapi Gender & Seksualitas, New York, menjelaskan, interdependensi dapat diwujudkan dengan mengapresiasi satu sama lain dan menentukan seperti apa hubungan yang kamu inginkan dengan pasangan. “Interdependensi mengutamakan kedekatan, kerentanan dan koneksi, tetapi juga menghargai batasan dan fakta bahwa orang memiliki kehidupan di luar hubungan dengan pasangan,” terangnya. 

Dr. Brandon mengamini ucapan ini. Menjadi pribadi yang mandiri memang penting, tapi tidak ada salahnya untuk bersandar pada dan mencari dukungan emosional dari orang lain. Sesuai namanya, interdependensi bergantung pada kesediaan dua orang saling melengkapi. Dengan cara ini jugalah hubungan platonik yang baik dan sehat dapat tercipta, yang sayangnya masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Karena ogah dicap bucin, banyak orang akhirnya lebih memilih menghindari interdependensi daripada mengatasi kodependensi secara sehat. Ini lama-lama menjadi siklus yang memisahkan kita dari orang lain dan menimbulkan rasa kesepian, sebab self-love dan “rutinitas sehat” tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial.