“Bisakah kamu menjawab 12 x 3 + 4?”
Seorang murid aliran lawful good akan menjawab 40. Sedang di ekstrem lainnya, murid beraliran chaotic evil menjawab yakin: “Bisa.”
Pertanyaan dan jawaban itu saya ambil dari foto soal ujian yang pernah viral sebagai contoh betapa soal ujian sekolah sudah jadi genre meme tersendiri. Kamu pasti pernah menyaksikan jenis humor ini. Entah itu gambar segitiga dijejer dengan gambar telapak kaki buat menjawab soal “coba gambarkan segitiga sama kaki”, hingga macam-macam sketsa karya bocah saat mengilustrasikan posisi duduk tahiyat terakhir.
Soal ujian di Indonesia seringkali menjadi tambang kontroversi. Dalam tiga tahun terakhir, minimal sudah empat kali soal ujian menjadi topik perdebatan panas, sampai diliput media. Desember 2020 lalu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengakui ada guru di wilayah mereka bikin soal cerita memakai tokoh bernama “Anies” dan “Mega”.
Setahun sebelumnya, soal ulangan Agama SD di Solok, Sumatera Barat dipermasalahkan karena menyebut daftar “sikap Nabi Muhammad saw. yang tidak patut kita teladani”. Tahun ini sendiri sudah ada dua soal viral, pertama ujian SD di Cimahi, Jawa Barat yang menampilkan ilustrasi Bumi datar. Satu soal pilihan ganda lain menampilkan pertanyaan “Orang yang selalu berkata bohong akan masuk…”. Pilihannya: A. Surga, B. Neraka, dan C. Istana.
Kritik pada soal ujian sekolah juga wira-wiri di media sosial. Soal ujian yang sedang viral di TikTok ini contoh yang pantas disandingkan dengan meme Jackie Chan. Berikut isinya:
Mencari nafkah di dalam keluarga adalah tugas… a. ayah b. anak c. kakek d. nenek
Mari kita ulas singkat: Soal di atas memakai bentuk pilihan ganda. Implikasinya, siswa dipaksa memilih satu jawaban yang benar, dan karena itu, menyalahkan jawaban yang lain. Kita gampang menebak bahwa jawaban yang benar adalah “ayah”. Tapi apa pun jawaban yang benar, bentuk pilihan ganda bikin siswa harus meringkus peran sosial jadi bawaan gender atau anggota keluarga tertentu. Kalau emang jawaban benarnya adalah “ayah”, bukan cuma patriarkal, siswa juga terpaksa menerima gagasan yang abai pada realitas sosial.
Pemaksaan itu karena kenyataan di rumah sangat beragam. Dalam keluarga buruh migran perempuan, ibu jelas berperan sebagai pencari nafkah. Di banyak keluarga non-kantoran seperti petani dan pedagang, semua anggota keluarga yang bekerja bersama bukanlah hal asing. Itu belum menghitung kasus ekstrem tapi jamak terjadi, seperti bocah Muhammad Ali (6) di Polewali Mandar yang menjadi pencari nafkah untuk ibunya yang buta, kakaknya yang mengalami keterbelakangan mental, dan seorang adik balita. Ada pula kasus seperti Muhammad Saputra (12) yang berjualan cilok sambil sekolah karena statusnya sebagai yatim piatu.
Jika opsi pilihan gandanya mencantumkan “negara”, menjawab soal itu akan lebih mudah. Tapi, berlatar pemahaman bahwa hidup ini rumitnya minta ampun, singkatnya kita bisa bilang: menanyakan siapa yang bertugas apa dalam keluarga adalah pertanyaan paling enggak guna di dunia.
Masih dari postingan yang sama, ada soal lain yang bisa membuat Menkeu Sri Mulyani menangis.
Contoh seorang anak perempuan di rumah adalah…
a. mencuci piring b. memperbaiki genting c. mencari nafkah d. melindungi keluarga
“Terus kalau gua jawab memperbaiki genting, salah? Gitu? Mungkin aja di luar sana ada lho anak yang kaya gini. Terus kalau gua bilang mencari nafkah tugas anak perempuan, itu akan disalahkan?” protes akun TikTok @lilis_we, pengunggah soal ujian bermasalah tersebut.
Tenang, bukan cuma masyarakat saja yang geram melihat soal-soal kontroversial macam itu. Guru pun ada yang geregetan.
“Itu gurunya aja yang bego,” kata Yuri*, seorang guru SMA di Jawa Tengah. Ia blak-blakan mengomentari soal-soal aneh yang VICE sodorkan kepadanya, tapi ia meminta namanya disamarkan.
“Menulis soal itu ada aturannya,” tambah Yuri. Kepada VICE, ia menjelaskan panjang lebar mekanisme guru menyusun soal ulangan, sesuai panduan Kemdikbudristek. Para pembaca, selamat datang di dunia evaluasi pendidikan Indonesia.
Penilaian hasil belajar di sekolah terbagi dalam dua jenis tes, formatif dan sumatif. Tes formatif berfungsi untuk menilai keberhasilan pembelajaran guru kepada murid, berbentuk ulangan harian, kuis, dan ulangan tengah semester. Sementara tes sumatif adalah penilaian akhir yang lebih komprehensif, digelar di pengujung semester, dan menjadi patokan kenaikan kelas atau kelulusan.
Dalam menggelar tes, guru berpegangan pada silabus, turunan kurikulum berisi daftar kompetensi dasar yang harus dikuasai murid dalam satu periode. “Sumber ulangan itu ya materi per kompetensi dasar tersebut,” kata Yuri.
Silabus adalah panduan materi ajar dan evaluasi guru-guru Indonesia, susunan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbudristek. Dengan demikian, isi silabus menentukan apa yang diajarkan dan diujikan di sekolah-sekolah. Tapi untuk membuat tes berdasarkan silabus tersebut, guru juga dibekali panduan prosedur wajib: yakni membuat kisi-kisi per soal serta menentukan soal tersebut termasuk kelompok taksonomi Bloom yang mana.
Taksonomi Bloom adalah model pengelompokan keterampilan yang menjadi tujuan pendidikan. Model ini dipakai secara internasional, hasil ciptaan psikolog pendidikan Amerika Benjamin Bloom pada 1956. Di dalamnya, pendidikan dipilah ke tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ranah kognitif ini yang digarap guru lewat kegiatan belajar mengajar sehari-hari dalam kelas. Kompetensi kognitif terbagi lagi dalam enam tingkatan hierarkis. Cognitive-1 (C-1) berupa kemampuan menyebutkan, C-2 memahami, C-3 menerapkan, C-4 menganalisis, C-5 membandingkan, dan C-6 mencipta ulang. Semakin besar angkanya, semakin tinggi kompleksitas pembelajarannya.
“Jadi urutan guru buat soal itu harusnya punya kisi-kisi dulu, dan kisi-kisi itu per nomor. Misal, kisi-kisi soal pertama adalah ‘menentukan isi teks tersurat’, soal itu ranahnya apa? C-1, C-2, C-3, atau C-6? Bahkan kapan pakai pertanyaan terbuka atau tertutup itu sudah ada penjelasannya,” kata Yuri.
“Kalau guru bikin soalnya masih di tahap C-1 sampai C-3, itu guru bodoh. Soalnya tuntutan sekarang adalah gimana siswa bisa menganalisis dan mengkritik. Udah enggak boleh bikin soal kayak, ‘Sebutkan tokoh-tokoh Perang Paderi.’ Soal modal begitu sudah haram.
“Cara membuat soal ini sekarang ada lagi aturannya, dua hal: HOTS [high order thinking skill, merangkum keterampilan C-4 menganalisis, C-5 mengevaluasi, dan C-6 menciptakan] dan LOTS [low order thinking skill, sebutan untuk kemampuan C-1 mengingat, C-2 memahami, dan C-3 mengaplikasikan].”
Saya meminta Yuri mengevaluasi soal tugas mencari nafkah di keluarga yang sempat disinggung sebelumnya. “Kalau secara kriteria soal, salahnya di mana sih?”
Ia tak butuh lama untuk menjawab. “Guru tidak menggunakan kaidah penulisan soal dengan benar. Dalam soal itu disarankan ada stimulusnya sebagai jembatan analisis siswa, baru pertanyaan. Lalu, pertanyaan harus bersifat objektif, ada dasarnya, dan opsi jawaban tidak boleh ambigu.”
Mungkin terbawa kebiasaan profesi, ia memberikan contoh soal salah lainnya agar pembaca makin paham.
“Misal ya:
_What … you thinking about?
_A. Are
B. Is
C. Am
D. And
“Soal ini salah karena opsi jawabannya. And bukan merupakan to be atau kata kerja, padahal harusnya opsi yang disediakan seragam kedudukannya. Terus, opsi jawaban ditulis dengan huruf depannya kapital, itu juga salah. Karena jawaban yang diinginkan ada di tengah kalimat.”
Panduan membuat soal ini menjadi sorotan dua guru lain yang VICE tanyai. Susilarto, guru SMA di Jawa Tengah, menduga ada tahap yang terlewati saat guru membuat soal. “Mungkin ketika buat soal dan kisi-kisinya, enggak dicek tim Kurikulum. Kan soal disetor ke Kurikulum dulu sebelum diujikan, dicek dulu kisi-kisinya, sesuai enggak dengan kompetensi dasar yang diinginkan,” katanya kepada VICE.
Tim Kurikulum yang ia maksud adalah bidang/urusan Kurikulum, struktur yang wajib ada di sekolah, biasanya dipimpin seorang wakil kepala sekolah bidang/urusan Kurikulum. “Kesesuaian antara butir soal, indikator soal, ruang lingkup materi, level penilaian, dan kompetensi dasar, itu yg jadi pedoman dalam mengecek soal layak atau tidak. Pengelolaan kegiatan belajar, mulai dari rencana pembelajaran, proses, penilaian, analisis hasil penilaian, sampai rencana tindak lanjut, itu urusan Kurikulum,” tutur Susilarto.
Gloria*, seorang guru bahasa Inggris SMP di Tangerang Selatan, Banten yang minta namanya disamarkan, menceritakan proses yang serupa, meski sekolah tempatnya mengajar bukan memakai kurikulum nasional, melainkan kurikulum Common European Framework of Reference for Languages (CEFR). Ia sepakat, soal yang disoroti medsos bermasalah, namun menganggap masalahnya lebih mendasar daripada sekadar kesalahan guru.
“Memang kesalahan dari pembuat soal kebanyakan tidak disesuaikan sama konteks anak-anaknya. Tapi, masalahnya sudah mengakar. Kenapa bisa ada soal kayak gitu muncul ke permukaan? Ya, karena di buku tertulis demikian. Mungkin kalau pertanyaan kayak gitu muncul pas aku SD, enggak akan jadi masalah besar ya [walaupun tetap salah]. Tapi sekarang jelas akan jadi masalah. Sayangnya konten buku-buku [pelajaran] kita nggak di-update sesuai dengan berkembangnya kompleksitas kehidupan siswa masa kini.”
Buku pelajaran yang “bermasalah” itu Gloria contohkan dari pengalamannya mengajari siswanya konsep keluarga inti. Secara kolot buku pelajaran mendefinisikan keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang tinggal seatap.
“Terus anak-anakku banyak yang nge-chat, intinya banyak yang orang tuanya udah bercerai, ditinggal ayahnya dari kecil dan enggak balik-balik. Terus mereka tanya, apakah bapaknya yang melarikan diri itu termasuk nuclear family? Karena itu biological father mereka, tapi engak tinggal satu atap,” kisah Gloria.
“Contoh lain, ada salah satu temen aku yang pernah bikin soal uraian yang menginstruksikan anak-anak buat nyeritain pengalaman liburan di rumah nenek-kakek waktu liburan. Soal ini nantinya mau dikolaborasikan dengan mapel Seni Rupa, yaitu tugas menggambar landscape di daerah pedesaan. Karena bayangan temen-temenku [sesama guru], jawaban mereka nantinya adalah deskripsi pedesaan, sawah-sawah gitu. Eee… ternyata rumah kakek-nenek mereka itu kebanyakan di luar negeri atau di daerah perkotaan. Gagal deh kolaborasinya, hahaha.”
Penjelasan para guru di atas, membuat alur masalahnya terbayang. Pembuat soal bisa saja terjebak oleh distorsi pengetahuan dan asumsinya sendiri, sehingga materi tes yang dibikin enggak sensitif sama pengalaman dan pengetahuan murid. Tapi, kalau guru emang keliru, keluar track dari silabus, distorsi itu kudunya bisa dikoreksi oleh alur kisi-kisi, bikin soal, dan supervisi dari tim Kurikulum.
Yang krusial ketika guru udah mengikuti SOP, tapi masalah justru ada sejak dari buku pelajaran kayak dibilang Gloria. Gimana dong mengatasinya?
Pengamat pendidikan dan pengarah sekolah alternatif Sanggar Anak Alam (Salam) Toto Rahardjo menyodorkan akar masalah lain: kemalasan akademik untuk mengembangkan cara evaluasi siswa.
“Konten soal [bermasalah] seperti itu kan hanya akibat. Ada kemalasan-kemalasan akademik untuk mengembangkan model-model evaluasi selain ujian. Padahal, dalam rangka mengecek perkembangan siswa, modelnya enggak selalu gitu [pakai ujian]. Apalagi, instrumen ujiannya sendiri enggak berkembang,” kata Toto kepada VICE.
Penjelasan Toto selanjutnya mengingatkan kita pada soal-soal ujian yang beberapa kali jadi meme. “[Soal bermasalah] yang tadi dicontohkan itu bagian kecil dari ‘perspektif’, sebetulnya. Bisa [terjadi], misalnya, karena soal ujian dijadikan proyek mencari keuntungan ekonomi dan dikerjakan oleh orang yang enggak tahu asal-usulnya.
“Di Salam, kami riset soal ujian sampai per kata. Contoh sederhana: pertanyaan soal ‘matahari terbit dari sebelah…’, pertanyaan ‘sebelah’ ini kan sudah keliru. Kalau siswanya menjawab sebelah kirinya dia karena dia lagi menghadap selatan, gimana? Mestinya kan pertanyaannya ‘dari arah mana’.
“Itu juga sama seperti contoh tadi. Itu kan soal mutu cara berpikir yang bikin soal. Dia membayangkan keluarga itu selalu ada ayah, ibu, anak. Padahal, kita bisa mengajarkan bahwa semua orang di rumah adalah keluarga, termasuk pembantu. Bagi keluarga yang enggak punya ayah, siapa yang cari nafkah? Susah kan jawabnya. Di Salam ada anak-anak yang ayah-ibunya enggak menikah. Itu kan sifatnya kepekaan sosial. Itu menyangkut soal mutu cara berpikir yang buat soal.”
Toto menyarankan, mestinya orang tua turut dilibatkan sekolah saat menyusun soal ujian. Sebab, orang tua jadi pihak selain guru yang seharusnya tahu persis perkembangan anak.
“Kenapa sih [pembuatan soal] enggak melibatkan orang tua? Orang tua kerap dianggap enggak punya hak untuk menentukan perkembangan anak, hanya jadi klien atau konsumen. Ini yang saya maksudkan perlunya mengembangkan model evaluasi, enggak cuma ujian dan ulangan–itu cara paling gampang karena berpikirnya nasional [semuanya melakukan itu]. Ini mau gampangnya saja menurut saya. Nah, ketidakmutuan poin soal itu cuma akibat dari kemalasan ini.
“Apa yang terjadi sekarang ini: siswa itu harus menyesuaikan apa yang ada di sekolah, bukan sekolah yang melihat keadaan siswanya. Kalau sekadar contoh tadi, itu menyangkut soal perspektif mutu cara berpikir, sehingga menghasilkan teks yang tidak bermutu dan beradab,” tambah Toto.
Sepertinya kita bisa sepakat, cara berpikir guru dan sekolah perlu disegarkan secara berkala. Perihal ini, Gloria bersyukur di sekolahnya, para guru pun dievaluasi secara rutin.
“Kalau di sekolahku itu emang ada pelatihan tentang pemahaman ragam background siswa dan penanganannya. Menurutku itu lumayan helpful. Di sekolah juga ada evaluasi rutin setiap hari Senin, bahas apa yang mau dilakukan seminggu ke depan, dan hari Jumat, bahas apa yang bisa dievaluasi seminggu lalu. Biasanya di situ akan banyak diskusi tentang siswa dan penanganannya. Jadi, evaluasi dan diskusi rutin gini membantu banget. Karena dengan lebih mengenal siswa, soal-soal yang kita rumusin bisa lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Gloria jelas beruntung. Soalnya disiplin mengevaluasi guru secara rutin kayak gini enggak serentak ada di setiap sekolah. Sebagai alumni sekolah negeri akhir ’90-an sampai pertengahan 2000-an, saya bisa membayangkan apa yang terjadi. Siswa-siswa yang bakal beradaptasi, jeli untuk tahu mana jawaban yang diinginkan para pembuat soal ujian, meski kenyataannya berbeda.
Kenangan itu bahkan kuat menempel di kepala saya. Suatu masa di SD, ketika saya ulangan PPKn, mata pelajaran yang saking normatifnya, hampir mustahil ada siswa yang dapat ponten di bawah 8. Saat itu ada pertanyaan di mana sebaiknya siswa membeli makan saat istirahat. Di usia itu saya sudah paham, opsi “beli di pedagang pinggir jalan” adalah jawaban yang akan dinilai “salah” oleh guru. Saya memilih jawaban “kantin”, dan mendapatkan nilai yang memuaskan.
Tepat setelah bel jam pelajaran usai dipukul, saya dan teman sekelas berhamburan ke halaman. Mengunjungi apa lagi, kalau bukan pedagang jajanan di pinggir jalan.
*Ikhwan Hastanto turut berkontribusi dalam artikel ini