“Saya berpikir akan menjadi sejarawan begitu beranjak dewasa,” tutur Henry Horenstein, fotografer dari Boston yang pernah diajari E.P. Thompson — penulis buku The Making of the English Working Class yang diakui sebagai karya tulis sejarah Inggris terbaik — semasa mudanya dulu. “Guru kami memberi tahu, mengabadikan orang-orang yang akan hilang dari sejarah merupakan tugas terpenting yang diemban sejarawan.”
Henry mulai menyeriusi fotografi di awal usia 20-an, setelah dia dikeluarkan dari kampus. Namun, nasihat sang guru tetap melekat dalam ingatan, yang kemudian diaplikasikan selama ia mengasah kemampuan memotretnya. Ketika mantan sejarawan ini mengarahkan lensa kamera pada komunitas balap di Thompson Speedway, trek balap kendaraan bermotor di Connecticut, Amerika Serikat, ia sempat mengira mereka akan lenyap ditelan waktu. (Dugaan Henry meleset. Ajang balap mobil masih sering digelar di sana.)
Proyek Speedway 72, yang kini tersedia dalam format buku foto, muncul tanpa disengaja. Paul, saudara ipar Henry, adalah seorang pembalap mobil stok di Thompson Speedway. Suatu hari, dia mencari seseorang yang bisa membantunya mendokumentasikan program balapan mingguan komunitas. Henry pun mengajukan diri. “Sebagai guru [di Rhode Island School of Design], saya selalu merenungkan hal-hal macam, ‘seperti apa saya waktu itu, pertanyaan apa yang saya ajukan?’ Saya yakin orang dari berbagai era memiliki rasa tidak aman dan kekhawatiran yang sama. Kurasa dulu saya berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya saya inginkan. Saya baru 22 tahun saat itu. Saya bertanya-tanya, apakah saya ingin jadi fotografer? Proyek apa yang ingin kugarap?” terang Henry, menceritakan proses hingga akhirnya ia banting setir menjadi juru foto.
Sepanjang kariernya di dunia akademis dan fotografi, Henry telah menerbitkan lebih dari 30 buku sejak 1970-an. Selain buku akademik, dia juga menulis sejarah fotografi pribadi bertajuk Shoot What You Love (2016) dan beberapa monografi seperti Close Relations (2007) dan Honky Tonk: Portraits of Country Music (2003). Kedua monografi itu memang disusun pada waktu yang sama dengan Speedway 72 — Close Relations berisi kumpulan foto orang terdekat, sedangkan Honky Tonk: Portraits of Country Music merangkum 40 tahun budaya musik Amerika — karya terbarunya berfokus pada dunia yang benar-benar dipandang netral oleh Henry. “Saya hanya berpikir proyeknya menarik,” ujarnya. “Saya kira budaya itu tak akan bertahan lama.”
“Saya mencari subjek yang jarang diangkat,” Henry melanjutkan. “Saya tertarik pada budaya, subkultur, dan komunitas yang mungkin akan terlupakan oleh waktu.”
Sebagian besar foto dalam Speedway 72 diabadikan malam hari dan memainkan warna monokrom. Bukunya memperlihatkan laki-laki nongkrong dari jendela mobil, dua sejoli menyaksikan balapan sambil selimutan, dan anak-anak bermain balon. Mobil balap bukan fokus utamanya, melainkan keramaian yang terjadi di sekitarnya. “Sekarang zaman sudah berbeda, orang lebih sadar akan fotografi. Tapi dulu, mereka acuh tak acuh atau oke-oke saja [saat difoto],” kenangnya. “Sering kali, mereka merasa tersanjung [karena ada yang tertarik memfotonya]. Mereka bahkan bersedia tampil dalam program itu.”
Henry mulai tertarik membukukan Speedway 72 sekitar satu dekade lalu, setelah menemukan kotak berisi koleksi foto lamanya saat pindahan. “Saya sudah lupa punya foto-foto itu. Setelah dilihat-lihat lagi, saya membatin ‘sepertinya bagus dijadikan buku,’” katanya. “Mungkin karena saya berasal dari latar belakang akademis, makanya saya berpikir buku foto keren banget. Tidak banyak buku foto yang beredar pada masa 1970-an, salah satunya karena mahal.”
Pengalaman dan ekspektasi para muridnya di sekolah desain juga telah berubah dalam beberapa dekade terakhir. “Setiap tahunnya pasti ada fotografer muda dan perubahan bertahap yang bermunculan — dunia selalu berubah, jadi wajar jika banyak hal juga berubah. Saat saya terjun ke dunia ini, belum ada yang namanya museum fotografi. Museum of Modern Art di New York menjadi yang pertama — yang mengubah segalanya di negara ini pada 1976. Saya yang masih muda dulu tidak punya rencana atau cita-cita apa pun — yang kuinginkan hanyalah foto-foto dan menghasilkan uang untuk foya-foya, serta punya banyak teman dan pacar,” tuturnya, merenungkan masa lalu. “Sekarang, peserta didikku sudah punya bayangan ingin melakukan apa sebelum mereka menelurkan karya seninya. Mereka sudah memikirkan strategi karier. Saya berpikir tak ada yang salah dengan itu. Mereka berbeda dan optimis.”
‘Speedway 72’ merupakan buku foto karya STANLEY/BARKER. Bukunya bisa dipesan di sini.