Jarum jam sudah melewati penanda tengah malam di kota Przemyśl, Polandia, saat lelaki bernama Luke menaiki taksi di pinggir jalan. Dia baru saja mendarat sehari sebelumnya, setelah menempuh penerbangan panjang dari Kota Birmingham, Inggris, disusul rute naik kereta lebih dari tiga jam. Luke adalah mantan prajurit angkatan darat Inggris, yang memiliki satu tujuan dalam kedatangannya ke kawasan timur Eropa: menyeberangi perbatasan, lalu ikut bertempur membela Ukraina dari invasi Rusia.
“Buat saya, perang saat ini bukan hanya sedang terjadi di Ukraina. Jika kita membiarkan konflik berlarut-larut, bisa jadi perang berikutnya akan berkobar di kawasan Barat Eropa,” ujar Luke kepada VICE World News, yang dia izinkan ikut menumpangi taksi tersebut menuju perbatasan Polandia-Ukraina. Sang sopir taksi, warga negara Ukraina, sudah beberapa kali memfasilitasi para sukarelawan perang dari berbagai negara untuk menyeberang masuk dari perbatasan Polandia.
“Negara-negara Barat mungkin sudah mengirimkan bantuan senjata dan amunisi untuk Ukraina, tapi saya yakin jumlah orang yang bisa menembakkannya terbatas. Itu kenapa orang dengan pengalaman militer seperti saya seharusnya bisa ikut membantu,” imbuhnya.
Luke meminta nama belakangnya tidak disebut, sembari menunjukkan bukti paspor serta catatan pernah mengabdi sebagai tentara Inggris. Dia memiliki pengalaman dalam satuan anti-serangan udara. “Saya berangkat Ukraina setelah menghubungi beberapa kenalan, yang menghubungkan ke beberapa milisi Ukraina,” ujarnya.
Ketika ratusan ribu orang berusaha keluar dari Ukraina ke negara-negara tetangga, Luke justru berusaha masuk ke medan tempur. Dia adalah contoh fenomena modern relawan perang masa kini, yang tak lagi terikat kewarganegaraan. Fenomena serupa, dengan alasan berbeda, sudah marak terjadi saat ISIS sempat menciptakan kekhalifahan di Irak dan Suriah. Demikian pula kala Afghanistan diserbu Uni Soviet pada dekade 80’an.
Orang macam Luke, yang ikut berperang di negara lain karena alasan ideologis, seringkali tidak dianggap sebagai pahlawan. Pengamat maupun media kadang menjuluki mereka sebagai “turis perang”, atau malah setara tentara bayaran.
Namun, Ukraina yang jumlah personel militernya terbatas, menyambut baik relawan asing macam Luke. Pemerintahan Presiden Volodomyr Zelenskyy melonggarkan aturan visa bagi orang asing sejak akhir Februari 2022 untuk masuk ke wilayah mereka. Kebijakan tersebut secara tidak langsung memungkinkan terbentuknya “legiun internasional.”
Seruan Ukraina, yang mengizinkan warga negara asing terlibat upaya mereka mempertahankan diri dari serbuan Rusia, rupanya disambut antusias para veteran perang asal Amerika Serikat dan Kanada. Di berbagai forum veteran, banyak yang bertanya bagaimana cara berangkat ke Ukraina untuk ikut angkat senjata. Antusiasme serupa muncul dari orang-orang dengan pengalaman militer dari berbagai negara Eropa. VICE World News sendiri mendapat puluhan surel, dikirim dari berbagai negara, yang menanyakan apakah redaksi kami memiliki kontak milisi lokal, dengan alasan mereka ingin ikut bertempur membantu rakyat Ukraina.
Tanpa adanya invasi Rusia yang dimulai pada 24 Februari lalu, pengamat politik internasional sudah mengkhawatirkan adanya arus pejuang sukarelawan asing ke kawasan konflik di Ukraina. Sebab, kontak senjata antara tentara Ukraina dengan kelompok separatis di kawasan Donbas sudah berlangsung selama 8 tahun, tanpa ada tanda-tanda akan berakhir.
Batalion Azov, salah satu milisi di Ukraina yang terafiliasi dengan kelompok neo-nazi, tercatat sering merekrut warga negara asing untuk ikut bertempur dengan mereka. Kelompok sayap kanan Amerika Serikat, The Base, juga dalam catatan VICE sudah pernah mengirim satu anggotanya untuk bertempur melawan separatis Donbas (saat itu, dia diusir oleh pemerintah Ukraina karena melanggar aturan visa).
Mollie Saltskog, pengamat kajian intelijen dari Soufan Group, lembaga think-tank geopolitik di AS, meyakini keterlibatan warga negara asing di garis depan konflik Ukraina-Rusia akan membesar seiring waktu.
“Merujuk penelitian kami, sejak 2014 konflik di kawasan timur Ukraina sudah melibatkan banyak relawan lintas negara dari organisasi sayap kanan ultranasionalis. Baik itu untuk membela Ukraina, ataupun kelompok separatis Donbas,” ujar Saltskog. “Sebagian pejuang yang membantu separatis pro-Rusia berasal dari kelompok pendukung supremasi kulit putih.”
Luke sendiri, yang sempat berpisah jalan dengan VICE World News setelah mencapai perbatasan Polandia-Ukraina, ternyata batal ikut berperang. Kami bertemu lagi di kawasan perbatasan, sekitar tiga hari setelah dia menyeberang ke Ukraina.
Luke mengaku sempat meneruskan perjalanan ke kota Lviv (pengakuan ini tidak bisa kami verifikasi dengan narasumber dari pihak milisi Ukraina). Namun, saat berkomunikasi dengan milisi lokal, dia diminta menandatangani kontrak ikut berjuang sampai “dua tahun mendatang.” Karena keberatan dengan syarat tersebut, Luke memilih kembali ke perbatasan untuk membantu imigran dan warga Ukraina kabur dari zona konflik.
Pemuda asal Inggris itu mengaku keluarganya tahu niatnya berangkat ke Ukraina adalah demi berperang (dan kini berubah jadi untuk misi kemanusiaan). “Tapi mereka mendukung saya meski ide ikut perang terdengar gila,” ujarnya. “Konflik ini benar-benar gila. Jadi cara untuk meresponsnya adalah dengan melakukan kegilaan lain.”