Setiap orang pasti pernah merasa telah menyia-nyiakan hidup. Kamu mungkin membatalkan janji bertemu sahabat karena tidak mood atau lelah secara mental. Bisa juga kamu jadi malas pergi gegara teman tak juga membalas pesanmu. Kamu beralasan sedang sibuk supaya tidak perlu menghadiri acara reunian bersama kawan lama. Kamu sebetulnya tidak ada kesibukan apa-apa. Hanya saja kamu diliputi rasa gugup tiap kali memikirkan harus berinteraksi dengan banyak orang.
Kita sering mengira kebiasaan semacam ini, yang menandakan kecemasan sosial, berkaitan dengan kesepian. Asumsinya orang dengan kondisi tersebut sudah pasti merasa sepi, begitu juga sebaliknya — orang kesepian pasti sulit bersosialisasi. Padahal, kenyataannya tak selalu seperti itu.
Studi terbaru, yang mempelajari disosiasi perilaku dan saraf dari kecemasan sosial dan kesepian, menyoroti bagaimana gejala keduanya muncul, serta reaksi penderita kesepian dengan tingkat kecemasan sosial yang naik turun ketika dihadapkan pada situasi simulasi. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam Journal of Neuroscience akhir Maret lalu.
Para peneliti mengadakan permainan yang mengharuskan peserta memilih antara mengambil taruhan berisiko rendah dan tinggi. Orang yang memilih risiko rendah akan dihadiahkan sedikit uang, sedangkan mereka yang mengambil risiko tinggi bisa mendapatkan hadiah uang lebih besar. Namun, ada tantangan tersendiri bagi mereka yang mengambil pilihan terakhir. Mereka harus mau menonton video seseorang memuji atau mengkritik pilihan mereka.
Peserta yang tingkat kecemasan sosialnya cukup menonjol cenderung bermain aman. Alasannya karena mereka merasa lebih cemas berhadapan dengan tugas itu. Akan tetapi, beberapa peserta dengan tingkat kesepian tinggi tidak merasakan kecemasan yang sama saat memilih tugas tersebut. Alih-alih terkait secara langsung dengan kecemasan sosial, studinya mengusulkan kesepian terkait erat dengan “reaktivitas emosional yang bias terhadap peristiwa negatif”. Jadi bukan karena menghindari hubungan sosial. Dengan kata lain, orang bisa merasa kesepian bukan karena jarang menghabiskan waktu bersama orang lain; kemungkinan ada hal lain yang memperburuk perasaan itu. Lebih sering bersosialisasi tak serta-merta menghilangkan rasa kesepian.
“Kesepian adalah kondisi unik yang membutuhkan intervensinya sendiri,” tulis para peneliti. Itu masuk akal. Kesepian terkadang membuatmu merasa jauh dari dunia sekitar.
Kesepian dapat diatasi dengan mengakui bahwa perasaan itu ada. Metode ini bersandar pada gagasan kesepian tidak terkait langsung dengan kecemasan sosial. Memang hanya praktisi kesehatan mental yang mengetahui cara terbaik mengatasi masalah ini. Namun, riset semacam ini menjadi pengingat, terkadang cara-cara yang disebut mampu meningkatkan kondisi kejiwaan kita tak seefektif kelihatannya.
Tidak ada yang salah dengan dirimu jika kamu sedang tidak mau bertemu teman. Ada cara lain yang lebih bermakna dan efektif untuk berdamai dengan rasa kesepian.