Sistem pendidikan yang menjadikan nilai ujian sebagai alat ukur keberhasilan siswa secara tidak langsung mendorong perilaku menyontek. Pelajar tak pernah kehabisan akal untuk mendapatkan nilai bagus, atau sebatas menghindari remedial dan risiko tidak lulus.
Siswa yang bersikap tidak jujur pasti dicap malas belajar dan ogah mikir. Terlepas dari anggapan tersebut, nyatanya ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang menyontek. Pertanyaan yang keluar di ujian mungkin lebih sulit atau tidak sesuai yang diajarkan di kelas. Mungkin ini kegagalan sekolah memberikan layanan pendidikan berkualitas yang akhirnya memaksa siswa berbuat curang demi “membuktikan” mereka mampu mengikuti pembelajaran.
Kebanyakan dari kita pasti pernah bertemu guru atau dosen yang gampang dikibuli. Ada pengajar di luar sana yang memberi tugas atau ujian, tapi mereka tidak memeriksa jawabannya secara menyeluruh. Celah ini akhirnya dimanfaatkan sejumlah murid untuk memalsukan jawaban atau menggantinya dengan jawaban yang benar.
Saya pribadi kenal seseorang yang menyalin lagu kebangsaan ke makalah penelitiannya untuk memenuhi jumlah halaman yang disuruh. Bagaimana hasilnya? Sukses. Gurunya tak pernah menyadari itu. Yang gurunya ketahui hanyalah dia telah membuat makalah sesuai arahan.
Apa pun alasan mereka menyontek, kebiasaan ini menunjukkan kalau sebenarnya pelajar lebih cerdik daripada yang kita pikirkan.
“Kami diam-diam menyalin lembar ujian yang ada di tukang fotokopi”
Lingkungan sekolah yang terlalu kompetitif tak jarang membuat para siswanya lebih solid dan saling membantu satu sama lain. Contohnya seperti yang dilakukan laki-laki satu ini:
“Kami mengalihkan perhatian tukang fotokopi supaya dia tidak menyadari kami mengambil lembar ujian di tempatnya. Murid pintar bertugas mengisi jawaban, yang kemudian disebar ke seluruh kelas. Guru hanya mengira kami telah menguasai pelajaran saat melihat semuanya mendapat nilai nyaris sempurna,” ungkap alumni sekolah khusus putra yang saat ini menempuh program pascasarjana.
“Saya membantu teman mengisi lembar jawabannya”
Tak peduli seberapa lihai kamu dalam urusan menyontek, ada saat-saat kamu tidak bisa memanfaatkan keahlian ini semaksimal mungkin.
“Saat itu, kami sedang UAS mata pelajaran yang kurang penting. Saya termasuk murid yang sering dapat nilai bagus. Saya tahu teman sebangku tidak belajar sebelum ujian, makanya saya memperlihatkan jawaban kepadanya buat disalin. Tapi, ketika saya iseng mengecek lembar tesnya, ternyata pertanyaan yang ia terima berbeda dariku,” kenang Emilio yang mengambil jurusan manajemen perhotelan.
Waktu ujian hampir berakhir, sehingga Emilio buru-buru mengambil lembar jawaban teman dan mengisinya. Dia tak kuasa memberi tahu kalau pertanyaan yang mereka terima berbeda. Teman sebangku kebingungan, tapi dia membiarkan Emilio melakukan itu. Dia berpura-pura masih mengerjakan soal ujian untuk mengecoh guru.
“Saya segera menyelesaikan soal ujianku, lalu menunggu momen yang tepat untuk menukar jawaban kami. Saya langsung menarik lembar jawaban teman saat guru menulis pengumuman di papan.”
Emilio menghabiskan setengah jam terakhir mengerjakan soal ujian temannya. Begitu dia kelar, mereka berdua mengumpulkan barengan.
“Saya menyalin jawaban teman, tapi ternyata dia cuma mengarang”
Hal paling menegangkan dari menyontek yaitu ketahuan murid lain atau bahkan guru pengawas.
Isabella masih ingat ketika teman sebangkunya mendapati dia menyalin jawabannya. Namun, bukannya marah atau mengadu pada guru, teman Isabella mengaku kalau dia menjawab asal-asalan. Hal itu terjadi selama mereka mengerjakan kuis tentang ibu kota.
“Kamu tahu, kan, kalau saya cuma mengarang? Ini bukan jawaban benar,” kata Isabella, menuturkan kembali ucapan teman sebangkunya. Sebelum dikumpulkan, guru meminta agar mereka menukar lembar jawaban untuk diperiksa. Andai saja ini tidak terjadi, Isabella mungkin akan menghadapi masalah yang lebih besar.
“Saya langsung mencoret jawaban dan menggantinya sebelum dikumpulkan,” ucapnya.
“Guru kami sepertinya pura-pura tidak tahu telah dikelabui”
Daripada menyontek, bukankah lebih baik jika tidak ujian sama sekali? Atau setidaknya mengundur waktu ke hari lain. Kira-kira begitulah yang dipikirkan Gayi dan teman sekelasnya.
“Kami seharusnya ujian hari itu, tapi kami mengganti tanggalnya di kalender kelas. Saat guru datang, kami bersikeras belum waktunya ujian dan mungkin guru salah jadwal,” Gayi mengenang kelicikannya bersama teman-teman.
Menurut Gayi, gurunya memercayai ucapan mereka—atau mungkin gurunya sadar mereka bohong, tapi memilih mengikuti permainan mereka.
“Saya yakin pak guru sadar kami berbohong. Bisa jadi guru sebenarnya sadar kalau murid-muridnya berusaha mengelabui mereka.”
Follow Romano Santos di Instagram.