Abdul Manan Rasudi lulus pada 2006 dari Universitas Indonesia, salah satu kampus paling top di negeri ini. Ia menyelesaikan kuliahnya tepat waktu dan aktif berorganisasi. Begitu menggondol gelar sarjana, harapannya satu: ingin segera bekerja. Tapi dua tahun berlalu dan hingga 2008 ia masih saja pengangguran. Pelan-pelan ia mulai putus asa.
Perasaan itulah yang menggandulinya ketika pada suatu hari di tahun itu ia luntang-lantung main ke kampusnya. Ia singgah di markas Radio Telekomunikasi Cipta, unit kegiatan mahasiwa yang dulu ia ikuti dan, dalam kata-kata Manan, “masih rela nerima gue yang nganggur nongkrong di situ.” Di sana, televisi tengah menyala. Siaran TVRI yang menayangkan final Olimpiade Beijing cabang bulu tangkis ganda putra. Manan yang penggemar bulu tangkis tenggelam menyaksikan laga Hendra Setiawan/Markis Kido melawan ganda Tiongkok Cai Yun/Fu Haifeng.
Manan ingat ia tegang sekali menonton duel itu. Hendra/Kido bermain jelek di set pertama. Mereka keok 12-21.
“Tapi, setelah dilihat lagi, Kido on fire banget di pertandingan itu. Dia malah banyak maju ke depan, ngambil peran pemain depan yang biasanya dipegang Kojeng,” kata Manan yang dulu kerap menulis seputar badminton di VICE.
Sisa pertandingan itu adalah legenda, sebagaimana juga kedua pemainnya. Hendra/Kido membalikkan posisi di dua set selanjutnya dengan skor 21-11 dan 21-16. Mereka menjadi penyumbang medali emas satu-satunya di kontingen Indonesia.
Itulah medali emas Olimpiade keenam bagi Indonesia sepanjang sejarah. Semuanya dari cabang bulu tangkis. Emas pertama dan kedua diraih Susi Susanti (tunggal putri) dan Alan Budikusuma (tunggal putra) di Olimpiade Barcelona 1992. Emas ketiga dari ganda putra Ricky Subagja dan Rexy Mainaky di Olimpiade Atlanta 1996. Emas keempat dari ganda putra Tony Gunawan dan Candra Wijaya di Olimpiade Sydney 2000. Emas kelima dari tunggal putra Taufik Hidayat di Olimpiade Athena 2004.
Setelah emas Hendra/Kido, tak ada emas yang didulang kontingen Indonesia di Olimpiade London 2012. Baru empat tahun kemudian, pada 17 Agustus 2016, emas yang diperoleh ganda campuran Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di Olimpiade Rio de Janeiro membuat perayaan ulang tahun kemerdekaan jadi teramat nasionalistis.
Final badminton ganda putra Olimpiade Beijing terjadi pada 16 Agustus 2008 memang tak membuat Manan seketika jadi nasonalis. Tapi gelora kemenangan itu membuatnya sejenak lupa bahwa saat itu ia sedang jadi orang kalah dalam hidup.
“Sepanjang pertandingan gue lupa pedihnya nganggur karena deg-degan lihat Hendra/Kido lawan Cai Yun/Fu Haifeng. Masalahnya, pasangan kita lebih sering keok lawan ganda tiongkok. Eh ternyata menang. Mayanlah hari itu dan besoknya, depresi nganggur ilang,” kata Manan.
Sepercik kenangan gembira di masa-masa suram itu membuat Manan larut dalam sedih ketika membaca kabar, Markis Kido berpulang secara mendadak pada Senin kemarin (14/6) saat sedang bermain bulu tangkis di GOR Petrolin, Tangerang, diduga karena serangan jantung.
Menurut veteran bulu tangkis Candra Wijaya, Kido jatuh pada pukul 18.30. Oleh rekan-rekannya, Ia segera dibawa ke RS Omni Alam Sutera, Tangerang, dalam keadaan henti jantung dan henti napas. Ketika tiba di RS pada 19.17, dokter mengatakan Markis Kido telah tiada.
Markis Kido dan Dua Tantangannya
Markis Kido lahir di Jakarta pada 11 Agustus 1984 dari pasangan Minang yang merantau ke Ibu Kota. Mulanya bukan keluarga atlet, kiprahnya di bulu tangkis membuat Kido kakak beradik kini disejajarkan dengan trah pebulu tangkis top Indonesia seperti keluarga Mainaky dan keluarga Wijaya. Ini setelah dua adik Kido, Bona Septano dan Pia Zebadiah, menyusul menjadi pebulu tangkis profesional. Pia bahkan kelak menjadi pasangan ganda campuran Kido.
Di 2019 lalu CNN Indonesia merilis kisah Kido dari penuturannya sendiri, yang kini termasuk salah satu artikel paling lengkap—walau singkat—tentang perjalanan kariernya. Kido membuka ceritanya dengan mengisahkan masa kecil yang dijejali kegiatan olahraga: sepatu roda, renang, dan badminton. Walau ia berprestasi di ketiga cabang itu, orang tuanya ingin ia menekuni salah satu saja agar lebih maksimal, dan badminton yang dipilih. Kido dimasukkan Klub Jaya Raya pada usia 14 tahun (1998), lalu dipanggil Pelatnas PB PBSI di Cipayung pada usia 17 tahun (2001), untuk menjadi pemain tunggal putra.
Belum lama bergabung dengan Pelatnas, Kido tak membuat prestasi mencolok. Pelatih menyarankannya beralih ke ganda putra, dan ia sendiri sadar ia tak cukup bagus untuk bermain sendiri. “Saya rasa saya sudah agak minder karena menyadari postur saya yang kecil,” tulis Kido. Namun gagasan itu ditolak orang tua Kido.
Setelah serangkaian pemberontakan oleh Kido remaja, barulah ayah dan ibunya luluh. Selama setahun kemudian ia dipasangkan dengan Rian Sukmawan. Baru pada 2002 ia dipasangkan dengan Hendra Setiawan. Keduanya seumuran, Kido hanya lebih tua dua minggu. Tapi secara postur beda keduanya lumayan mencolok. Tinggi Hendra 181 cm, sedangkan Kido hanya 168 cm. Duet keduanya menjadi masa keemasan karier Kido. Dengan Hendra di depan dan Kido sebagai pemain belakang, mereka kelak dikenal sebagai “Ganda Petir”.
Emas pertama Ganda Petir didapat di SEA Games 2005. Mereka bahkan memonopoli emas ganda putra gelaran ini selama tiga periode berturut-turut. Pada 2007, setahun sebelum menggondol emas Olimpiade, keduanya menjadi juara dunia ganda putra di Kejuaraan Dunia BWF.
Emas Olimpiade Beijing adalah satu pencapaian, dan keberhasilan Hendra/Kido melewati babak perempat final adalah pencapaian lain. Hendra/Kido memang menang dua set langsung (21-16, 21-18), namun pertandingan itu dikenang sangat menegangkan karena mereka melawan sang nemesis: ganda putra Malaysia Koo Kien Keat/Tan Boon Heong. “Meski sudah berprestasi, saya tetap punya lawan yang ditakuti saat Kejuaraan Dunia 2007. Saya takut bila bertemu Koo Kien Keat/Tan Boon Heong,” tulis Kido. “Hingga Olimpiade kami tak juga menang-menang melawan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong. Tujuh pertemuan kami selalu kalah.
Ketegangan itu juga ia rasakan di final Olimpiade 2008. “Mas Sigit [Sigit Pamungkas, pelatih Hendra/Kido] hanya berkata, ‘Jangan nyerah! Jangan nyerah!’ karena strategi tentu sudah tak akan bisa masuk lagi karena kami sudah habis digebukin di set pertama,” kenangnya. Setelah mereka keluar jadi juara, bukan hanya ketegangan itu yang selesai, juga rasa tertekan yang dialami Kido akibat terus-menerus disorot sejak mereka jadi juara dunia BWF.
“Setelah jadi juara Olimpiade, beban rasanya plong banget, sudah tidak kepikiran apa-apa. Enteng rasanya saat teriak-teriak di lapangan,” Kido mengatakan. Saya menonton ekspresi kemenangan Kido itu di video berikut. Setelah 13 tahun berlalu, kegembiraan masih menjalar begitu nyata sampai-sampai dada saya terasa penuh.
Ada tiga pertandingan terbaik Hendra/Kido sepanjang karier mereka. Perempat final dan final Olimpiade 2008 adalah salah duanya. Satu lagi ialah final Asian Games 2010 di Tiongkok ketika Hendra/Kido menang atas Koo/Tan.
Usai Olimpiade Beijing, Hendra/Kido makin tak terbendung, memborong juara kesatu dari berbagai kompetisi open dan masters. Pada Oktober 2009 dan Januari 2010, keduanya sempat menjadi ganda putra nomor satu dunia versi BWF. Namun di rentang yang sama, Markis memutuskan keluar dari Pelatnas karena alasan kesehatan.
“Pada 2009 dalam sebuah sesi latihan lari di Mabes TNI Cilangkap saya pingsan. Ternyata saya sakit hipertensi. Karena hal tersebut, saya mengundurkan diri dari pelatnas PBSI,” tulis Kido. Rumor yang berkembang menyebut, Kido juga punya masalah problem kontrak dengan Pelatnas.
Dari Pelatnas, ia kembali ke klub lamanya, Jaya Raya. Hendra memutuskan ikut keluar. Mereka masih mengikuti kompetisi internasional dari luar pelatnas. Hingga usai mereka menjuarai Singapura Terbuka 2012, Hendra menyatakan keinginannya menerima tawaran Pelatnas untuk kembali. Kido mengaku menerima keputusan Hendra dengan ikhlas walau akibatnya ia kehilangan pasangan yang sudah 12 tahun bersama. Kido lalu masuk ke ganda campuran, berpasangan dengan adiknya, Pia Zebadiah.
Tahun selanjutnya (2013), Marcus mendengar ada pemain lain keluar dari Pelatnas. Namanya Marcus Fernaldi Gideon. Pemain ganda putra ini keluar karena kecewa tak jadi dikirim ke All England 2013. Kido lalu mengajak Marcus bergabung dengan Jaya Raya untuk berpasangan dengannya. Tiga bulan kemudian mereka mengikuti Prancis Terbuka 2013 dengan status sebagai pemain tak diperhitungkan, bahkan harus mengikuti kompetisi lewat babak kualifikasi karena peringkat mereka terlalu rendah. Mereka akhirnya keluar sebagai juara.
Juara Prancis Terbuka 2013 menjadi penanda sisi lain Markis Kido selain sebagai pemain yang tekun. Ia dianggap berhasil menjadi mentor emosional bagi lima pemain muda yang jadi pasangannya (total, Kido pernah berpasangan dengan 10 pemain). Marcus Gideon, yang lebih muda tujuh tahun, dianggap salah satunya.
Pada 2015, Gideon kembali ke Pelatnas. Sementara Kido akhirnya gantung raket karena cedera pinggang. “Kalau main lagi memang sudah berat karena cedera di sana-sini juga. Musuhnya atlet kan cedera, yang muda juga banyak yang berhenti karena cedera. Saya juga sudah rasa ya sudah sudah saat saya berhenti,” ujar Kido kepada Indosport. Ia beralih menjadi pelatih U-15 dan U-17 di Jaya Raya hingga akhir hayatnya.
“Banyak kenangan selama berkarier, termasuk juara Olimpiade. Bagaimana bisa lupa, kadang sudah lupa, diingatkan lagi sama instagram. Hahaha,” tulisnya dengan rendah hati. “Sedangkan penyesalan terbesar dalam karier saya adalah tidak juara All England. Beberapa kali saya tak ikut All England karena sakit dan tidak dalam kondisi terbaik.”
Problem postur dan sakit menjadi dua hal yang menghantui karier Kido. Ia berhasil mengatasi yang pertama. “Kido merontokan stigma pemain belakang MD kudu tinggi.” Kata Manan. “Tingginya cuma 168 cm dan badannya gempal, kurang ideal buat pemain belakang. Sebagai perbandingan, Tan Boon Heong sama Fu Haifeng itu tinggi. Tapi Kido bisa bersaing di level yang sama. Kenapa? Ya karena pukulan yang variatif dan daya gedornya mantap.”
“Dia jadi panutannya Marcus karena sama berbadan pendek [168 cm],” kata Diana Fitriani, penggemar bulu tangkis. “Badannya kan gempal dan pendek, tapi smesnya keras. Biasanya emang keunikan [pemain badminton] bawa-bawa fisik sih, kayak Minions, sama ada pemain Tiongkok yang dipanggil ‘Tiang Listrik’ juga.”
“Jika disimpulkan karier saya di bulu tangkis bisa berjalan tak sepenuhnya berdasarkan bakat. Karena postur saya kurang mendukung, saya juga harus kerja keras,” tulis Kido.
Legenda bulu tangkis Christian Hadinata yang ketika Kido bertanding di Olimpiade Beijing menjabat Kepala Sub-bidang Pelatnas PB PBSI juga menyebut Kido sebagai atlet berkemauan keras.
“Pekerja keras, atlet yang konsekuen dalam arti kalau dia menargetkan sesuatu, pasti dia jalani. Seperti di Olimpiade Beijing, dia Latihan keras dan habis-habisan. Apalagi permintaannya sudah dipenuhi,” kata Christian kepada VICE. Ia mengingat saat itu Kido memang meminta dilatih Sigit Pamungkas.
“Di sisi lain, dia seorang yang humoris lagi ngobrol dengan teman-temannya. Sering mengeluarkan celetukan lucu yang memancing tawa dari teman-temannya,” kenang Koh Chris.
Sosok humoris, pekerja keras, dan mengayomi itu kini telah tiada di usia sangat muda: 36 tahun. Dedikasinya dikenang oleh sahabat dan rival. “Rest in peace, Bro. The best double player in the world,” tulis Tan Boon Heong di Instagram. Christian Hadinata bilang, tak ada alasan untuk tak menyebut Kido sebagai legenda. Ia sudah memeluk capaian paling tinggi yang diimpikan semua pemain bulu tangkis. Dedikasi Kido kepada olahraga ini tak bisa ditampik, ia masih memegang raket hingga menjelang akhir hayatnya.
Markis Kido, terima kasih sudah membuat kami bersorak gembira dan melupakan masalah hidup lewat permainan-permainan yang Anda tampilkan. Sekali ini saja izinkan kami berduka Anda yang pergi terlalu muda, terlalu tiba-tiba.
Rest in power.