Badai krisis menghantam Lebanon sepanjang 2020. Perekonomian negara terperosok akibat pemerintah yang korup, menyebabkan 74 persen populasinya terpuruk dalam kemiskinan. Pada akhir 2019, jutaan warga turun ke jalan menuntut adanya revolusi pemerintahan. Namun, upaya mereka, yang berpuncak pada pengunduran diri mantan Perdana Menteri Saad Hariri, terhalang pandemi dan serangkaian lockdown yang mengobrak-abrik kehidupan masyarakat selama 18 bulan terakhir.
Kondisi Lebanon kian genting ketika ledakan dahsyat mengguncang Pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020. Peristiwa ini menelan 218 jiwa, mengakibatkan 300.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan menyebabkan kerusakan materi senilai €3,5 miliar (Rp56 triliun). Ledakannya juga memperburuk krisis politik negara tersebut. Hasil penyelidikan mengungkap insiden bisa terjadi akibat salah urus negara.
Dari sekian banyak bangunan yang runtuh, terdapat beberapa diskotek paling nge-hip seantero Beirut. Gemerlap kehidupan malam Beirut kerap disejajarkan dengan Berlin, London dan New York. Kelab-kelab seperti AHM dan The Gärten telah menjadi tuan rumah bagi para bintang house dan techno macam Sven Väth, Gerd Janson dan Henrik Schwarz. Karenanya, Beirut menyandang predikat kota yang tak pernah tidur.
Sudah lama tak terdengar ingar bingar pesta di Beirut, bahkan di diskotek yang tak terdampak ledakan sekali pun. Di saat rakyat berjuang melawan krisis bahan bakar, air, listrik dan obat-obatan, kelab memutuskan untuk menutup pintunya dulu. Faktanya, kebanyakan orang yang tidak memiliki generator harus puas dengan jatah nyala listrik 1-2 jam per hari.
Rasanya memang kurang pantas memikirkan masa depan kancah musik ibu kota pada saat situasi negara tak kunjung membaik. Namun, diskotek seperti B018 dan Ballroom Blitz menawarkan secuil kebahagiaan, eksperimen dan kebebasan berekspresi.
Maret lalu, saya mengunjungi beberapa kelab yang dulu sangat berarti bagi diriku. Saya mengabadikan momen menggunakan kamera analog dengan perlengkapan seadanya. Sejak mata uang Lebanon tak lagi ada artinya, mustahil bagi kami untuk mengimpor barang, yang berarti sulit bagiku menemukan perlengkapan kamera yang bagus. Roll film yang bisa saya dapatkan sebatas hitam putih, sisanya sudah kedaluwarsa.
Saya merasa sudah sepantasnya memberi penghormatan bagi tempat-tempat itu, bahkan ketika tak ada satu pun yang datang ke sana. Musik mungkin belum bisa meramaikannya lagi, tapi saya berharap suatu hari tempat-tempat itu mendapatkan kembali kehidupannya, begitu juga dengan Beirut.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Arabia.