Para pengguna sistem operasi Windows punya lelucon legendaris kalau Internet Explorer hanya akan dibuka satu kali seumur hidup: pas mau mengunduh browser lain. Ini mah bukan lelucon, tapi kebenaran universal.
Aku masih ingat betul momen saat aku komplain ke operator warnet karena halaman situs Friendster yang kubuka tak jua termuat di layar, sekitar tahun 2007. Kala menghampiri bilik dan melihat monitorku, sang operator lantas menyampaikan sesuatu yang akhirnya menjadi kalimat paling berpengaruh dalam kehidupan berinternetku.
“Jangan pakai Internet Explorer, pakai Firefox saja,” ujarnya sambil melengos kembali ke meja depan. Benar saja, petuah sakti itu langsung menyelesaikan masalahku. Persepsi bahwa Internet Explorer adalah simbol kelambanan langsung terpatri di pikiran.
Maka wajar ketika aku akhirnya dibelikan laptop untuk keperluan kuliah pada 2011, lelucon di paragraf pertama adalah yang pertama kali kulakukan. Sudah lambat, desain kaku, logo ketinggalan zaman pula. Secara bergantian, aku menggunakan Chrome dari Google dan Firefox dari Mozilla. Kabar Internet Explorer? Semata jadi penghangat bangku cadangan yang melihatku mendapatkan cukup kepuasan dari dua browser kompetitornya—yang berumur lebih muda—itu.
Internet Explorer nyatanya tidak hilang begitu saja dari hidupku. Fase awal kuliah aku begitu keranjingan buka 9gag, situs penyedia meme populer. Di sana, banyak sekali meme tentang betapa lambatnya Internet Explorer yang selalu sukses membuatku tertawa. Akibatnya meski tidak pernah memakainya, peramban ini konsisten hadir di hari-hariku, berperan sebagai pihak yang teraniaya demi konten jenaka.
Per hari ini, 15 Juni 2022, Internet Explorer resmi dimatikan. Posisinya kini digantikan oleh Microsoft Edge yang lebih muda, lebih modern, dan lebih canggih. Sebagai insan yang mudah terbawa perasaan, aku langsung sentimental mendengar kabar si korban “bully” netizen ini harus pamit. Walaupun tidak dengan fungsi semestinya, kehadiran browser ini setia menemani masa-masa awalku mengenal dunia digital.
Bagi perkembangan teknologi, Internet Explorer jelas punya peran penting. Dirilis pada 1995 untuk sistem operasi Windows 95, ia sempat menjadi pintu utama manusia menuju world wide web karena digunakan 95 persen pengguna internet pada 2003. Ia bukan yang pertama, tapi sempat menjadi raja. Kesuksesannya memicu inovasi lanjutan dari banyak pihak yang ujung-ujungnya memanjakan konsumen.
Angka pengguna Internet Explorer turun ketika Firefox hadir pada 2004 dan Chrome muncul pada 2008. Keduanya menawarkan modernitas dan kecepatan yang sampai akhir hayat tak bisa dikejar seniornya itu. Puncaknya, pemakai Internet Explorer semakin minim kala era ponsel pintar hadir. Sistem operasi Android dan iOS yang mendominasi pasar tidak dimanfaatkan Microsoft.
Ketika Firefox, Chrome, dan Safari berupaya menampilkan versi terbaik bagi pengguna ponsel, Internet Explorer memutuskan tidak ikut berlomba. Entah mengapa, Microsoft tidak pernah membuat Internet Explorer versi Android atau iOS. Dari yang tadinya penghuni bangku cadangan, ia berubah jadi penonton pertandingan.
Kalah saing sejak lama, kematian Internet Explorer sebenarnya sudah bisa diprediksi. Banyak pihak yang bahkan merasa keputusan Microsoft menjaganya sampai selama ini sebagai tindakan yang membingungkan. Tapi di akhir sebuah era ini, eksistensinya selama 27 tahun harus tetap dirayakan. Mari kita mengingat hal-hal yang baik tentangnya.
Internet Explorer menjadi bagian penting hidupku karena kaitannya dengan budaya pop saat aku tumbuh dewasa. Ia populer justru karena kelambanannya, menjadikannya sebuah konten jenaka yang setiap kali diulang dalam berbagai bentuk, selalu saja lucu. Alhasil, kematiannya membuatku kembali membuka situs 9gag hari ini, kini dengan perasaan haru. Hari ini bisa jadi hari terakhir meme tentangnya masih relevan.
Terima kasih sudah menjadi bagian penting dari sejarah teknologi, Internet Explorer. Sampaikan salamku pada disket di alam sana.