Blackberry dianggap gadget paling keren pada masanya, terutama di kalangan remaja. Anak gaul diam-diam mengantongi ponsel lebar ke sekolah, sibuk bertukar pin BBM (BlackBerry Messenger) atau ganti status saat jam istirahat. Gara-gara aplikasi pesan instan ini jugalah chat sampah macam “PING!!!”—sekarang berwujud pesan satu huruf “p” yang dikirim secara beruntun—bisa populer.
Blackberry bertahan cukup lama, dan masih banyak digunakan di sejumlah negara bahkan ketika pamornya mulai meredup. Indonesia sendiri disebut-sebut sebagai pasar terbesarnya di luar AS. Tak sedikit yang merasa nyaman berbisnis dan mengobrol pakai BB, meski sudah ada teknologi yang jauh lebih canggih.
Perusahaan secara resmi menghentikan sistem operasi BlackBerry awal tahun ini. Dengan demikian, pemilik ponsel versi klasik tak lagi bisa menggunakannya untuk berkirim pesan dan melakukan atau menerima panggilan telepon.
Pengumuman ini memicu rasa nostalgia. Banyak orang mengenang masa-masa indah mereka bersama BB.
Tapi kenyataannya, pengalaman menggunakan ponsel ikonik tak selalu menyenangkan. Ada yang hidupnya berubah drastis sejak punya BB, dan sayangnya bukan ke arah yang lebih baik. Berikut pengakuan mereka:
Rashi Singh, 33 tahun
Aku benar-benar seperti orang kecanduan sejak punya BlackBerry. Ini ponsel cerdas pertama yang kumiliki, jadi rasanya ada yang kurang kalau enggak mengecek setiap saat. Dari sinilah momen tergelap dalam hidupku muncul.
Suatu hari HP-ku rusak, padahal belum ada setahun pemakaian. Kejadiannya sekitar tahun 2013, dan itu menjadi titik kritis bagiku. Aku mengurung diri di kamar selama hampir seminggu. Aku menarik diri dan malas mengobrol dengan orang lain, hingga akhirnya menyebabkan serangan panik hampir setiap jam. Saudara perempuan sampai mengeluh kepada ayah ibu kalau BlackBerry merenggangkan kedekatan kami berdua.
Aku menggunakan BlackBerry sebagai mekanisme koping kala itu. Aku introvert dan berada di titik terendah dalam hidup. Aku kerap dihantui keraguan. Ponsel ini menjadi pelarian, yang lama-lama menimbulkan beban mental berat.
Aku masih merasakan efek sampingnya sekarang, seperti sering overshare di media sosial. Aku memposting segala yang terjadi dalam hidup, dari hal sepele macam minum teh hingga putus cinta. Meski masalahnya enggak separah dulu, aku yakin BlackBerry memulai semua itu.
Anannya Sarkar, 29 tahun
Aku menggunakan BlackBerry karena ingin mengatasi masalah komunikasi dengan pacarku dulu. Dia sangat aktif di BBM (BlackBerry Messenger), jadi aku pikir kami bisa lebih sering mengobrol dan bertukar kabar kalau aku juga bikin akun BBM. Itu terjadi pada 2013.
Masalahnya, aku enggak mau samaan kayak orang lain yang pakai BlackBerry Curve. Aku menuntut punya Storm 2 yang harganya mahal supaya terlihat lebih keren. Aku membujuk ayah dan kakek untuk meminta bibi membelinya dari Amerika karena Storm 2 enggak tersedia di India. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, alasanku terdengar sangat bodoh.
Sayangnya, usahaku sia-sia saja. Aku sudah memohon-mohon pada orang tua untuk membelikan ponsel mahal demi memperbaiki hubungan, tapi dia enggak mau berubah juga. Aku masih menyimpan ponselnya, dan itu bukan kenangan indah untukku.
Mrinali Singh, 33 tahun
Pada 2010, aku membeli BlackBerry Curve karena tertarik pada penampilannya yang berani. Aku merasa terlihat lebih profesional saat menggunakan ponsel ini. Tadinya fine-fine saja, tapi semua berubah sejak aku punya pacar baru.
Kepribadian kami memang bertentangan dari awal pacaran. Aku sangat mementingkan privasi, dan bukan tipe orang yang wajib membuktikan kesetiaan pada pasangan. Saat itu, fitur berbagi lokasi sedang populer karena digadang-gadang mencegah pencurian. Cowok satu ini, sebut saja Mr Snoopy, terobsesi dengan fitur itu.
Usiaku baru masuk awal 20-an, dan aku masih di tahap perkembangan kepribadian. Saat itu, aku belum menyadari betapa toksiknya hubungan kami.
Aku bagaikan hidup di penjara sejak berbagi lokasi dengannya. Aku harus memberi tahu ke mana saja aku pergi, sedang makan apa, pergi sama siapa, dan kenapa aku pulang kerja lebih cepat. Masalahnya memuncak saat aku naik kereta suatu hari. Sinyal mendadak hilang, sehingga dia baru menerima update lokasi 10 menit kemudian. Dia lepas kendali dan marah besar, mencurigaiku yang tidak-tidak. Aku berusaha memberi penjelasan, tapi dia enggak mau mendengarkan. Sekarang aku menyadari kalau sebenarnya aku enggak perlu menjelaskan apa pun.
Pengalaman ini membuatku trauma selama berbulan-bulan, tapi setidaknya memberi pelajaran penting tentang dominasi laki-laki. Lelaki toksik macam dia akan selalu mengendalikan hidupmu melalui teknologi atau alat apa pun yang mereka miliki. Tak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan pasangan untuk mengakses penuh perangkat kita.
Follow Arman Khan di Instagram.