Oleh : Sofyan Mohammad
LIPUTAN4.COM, Demak- Keistimewaan bulan Ramadhan adalah bulan dimana kitab suci Al-Quran diturunkan. Peristiwa diturunkannya Al-Quran ini menjadi salah satu bukti keistimewaan bulan Ramadhan. Banyak amalan kesalehan yang dapat diamalkan pada bulan suci ini tak terkecuali sholat tarawih. Sholat tarawih memiliki keutamaan di setiap malamnya, sebab sholat tarawih adalah sholat yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.
Sholat tarawih sendiri merupakan sholat sunnah di bulan Ramadhan yang dikerjakan pada malam hari. Setelah sholat tarawih biasanya di akhiri dengan sholat witir. Banyak sekali keutamaan sholat tarawih, baik secara munfarid ataupun berjamaah. Mengutip kitab Durrotun Nashihin dalam bab tentang keistimewaan bulan ramadhan menyebutkan terdapat keutamaan sholat tarawih malam kelima, yaitu “pada malam kelima, Allah SWT memberikan pahala bagi yang tarawih sebagaimana pahalanya orang yang sholat di Masjidil Harom, Masjid Madinah atau Nabawi, dan Masjidil Aqsha.”
Pada malam kelima bulan Ramadhan 1443 H kami bertiga yaitu bersama Sahabat Joko Raharjo asli dari Pengging, Boyolali dan Sahabat Edi Widodo yang berasal dari Weru, Sukoharjo dan saya sendiri. Kami bertiga beriktiar memanfaatkan keistimewaan bulan suci Romadon di Masjid Kadilangu, Demak Jawa Tengah.
Kitab Durrotun Nashihin menyebutkan pahala bagi yang tarawih sebagaimana pahalanya orang yang sholat di Masjidil Harom, Masjid Madinah atau Nabawi dan Masjidil Aqsha, karena hal tersebut untuk mengejar keistimewaannya maka kami bertiga telah bertekad bulat untuk melaksanakan sholat tarawih di Masjid Sunan Kalijogo, Kadilangu, Demak.
Masjid Sunan Kalijogo terletak di area komplek makam Kanjeng Sunan Kalijogo, istri dan ayahnya (Raden Wilotikto) keluarga dan para pendereknya yang berada di Desa Kadilangu, Demak. Melacak berbagai lansiran sumber tertulis tidak ada satupun yang menyebutkan secara persis kapan masjid ini dibangun untuk pertama kalinya, meski ada prasasti yang berada didalam masjid yang dapat petunjuk berupa prasasti yang menyebutkan berdirinya masjid adalah tanggal 16 Dzulhijah tahun Jawa 1456.
Berdasarkan fakta letak Masjid yang hanya beberapa meter dari komplek makam Kanjeng Sunan Kalijogo, dengan demikian masjid ini adalah bagian tidak terpisahkan dengan kisah hidup Kanjeng Sunan Kalijogo. Diceritakan beliau adalah seorang Waliullah legendaris yang merupakan anggota Dewan Walisongo. Kanjeng Sunan Kalijogo dikisahkan sebagai Waliullah yang keramat dan panjang usianya beliau diyakini hidup pada periode akhir Majapahit, era Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang dan pada periode awal Kerajaan Mataram Islam di Kotagede Yogyakarta. Di sebutkan Kanjeng Sunan Kalijaga wafat pada usia 131 tahun, yang menjadikan sebagai waliullah tertua yang pernah hidup di tanah Jawa hingga konon disebut sebagai Guru Suci Ing Tanah Jawi. Setelah meninggal dunia beliau dimakamkan di Pemakaman Kadilangu yang masih ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah hingga saat ini.
Bertitik tolak dari fakta ini maka keberadaan Masjid Kadilangu Demak tak lepas dari perjalanan dakwah Kanjeng Sunan Kalijogo yang di masa tuanya yang lebih memilih untuk tinggal di Desa Kadilangu. Kisah ini bermula dari keinginan beliau untuk mencari tempat tinggal menetap setelah bertahun tahun berdakwah mengelilingi hampir seluruh sudut tanah Jawa, pulau Sumatra hingga tanah Melayu. Diceritakan setelah mendengar keinginan dari Kanjeng Sunan Kalijogo tersebut selanjutnya disambut baik oleh Sultan Fattah selaku Raja Kesultanan Demak dengan menganugrahkan sebidang tanah perdikan yang letaknya tak jauh dari pusat kota pemerintahan Demak Bintoro.
Setelah mendapatkan tanah perdikan yaitu tanah yang bebas dari pajak, selanjutnya Kanjeng Sunan Kalijogo mulai membuka daerah Kadilangu. Dikisahkan sebagai awalan Kanjeng Sunan Kalijogo mulai mendirikan sebuah kompleks pemukiman untuk tempat tinggal keluarga dan beberapa pendereknya. Baru kemudian dilanjutkan dengan membuka daerah untuk dijadikan kawasan pertanian. Dengan bekal ilmu dan pengalaman yang didapat dari petualangannya di berbagai daerah maka daerah ini kemudian tumbuh dengan cepat sebagai Desa untuk peradaban dalam dakwah Islamiyah.
Diceritakan dalam proses perkembanganya wilayah Kadilangu yang sudah mulai berkembang, Kanjeng Sunan Kalijogo mulai mendirikan sebuah bangunan khusus untuk melakukan sembahyang Sholat secara jamaah dengan keluarga maupun para pendereknya. Untuk keperluan tersebut maka mulai didirikan mushola (langgar) sederhana yang letaknya tak jauh dari rumah utama beliau tinggal.
Alasan utama Kanjeng Sunan Kalijogo tidak langsung memutuskan untuk mendirikan sebuah masjid, karena jumlah penderek dan santri belumlah terlalu banyak. Demikian lokasi
tempat tinggal beliau yang tidak terlalu jauh dari masjid Agung Demak, yang mana tentu pada saat itu umat muslim masih dengan mudah menjangkau Masjid Agung Demak untuk menjalankan ibadah Sholat Jumat.
Diperkirakan transformasi perubahan status langgar menjadi masjid jami’ bisa terlacak dalam manuskrip – inskripsi yang terdapat dalam bangunan masjid yang terbaca dengan bunyi “Puniko Titi Mongso Ngadegipun Masjid Kadilangu Dinten Ahad Wage Tanggal 16 Sasi Dzulhijah Tahun Jawa 1456” (Inilah saat berdirinya Masjid Kadilangu pada hari Ahad Wage tanggal 16 Bulan Dulhijah tahun Jawa 1456 (tahun 1532 M)”. Menurut beberapa sumber Masjid ini meski telah beberapa kali mengalami renovasi, namun bangunan induk yang asli tidak pernah diubah dan masih tetap dipertahankan keasliannya. Hal ini tampak dari keempat tiang penyangga utama bangunan (sokoguru) yang terbuat dari kayu jati pilihan dan oleh sebagian masyarakat setempat masih dikeramatkan. Tiang soko guru ini hingga kini masih berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah tentang kisah hidup Kanjeng Sunan Kalijogo dan perkembangan Islam di Kadilangu dan sekitarnya.
Dari berbagai sumber lain dapat diketahui perubahan status tersebut baru dimulai pada zaman Pangeran Wijil (Putra Kanjeng Sunan Kalijogo yang kemudian menjadi pemimpin Kadilangu). Langgar Sunan Kalijaga itu dikembangkan menjadi sebuah masjid karena tuntutan jumlah jamaah yang semakin banyak dan kepentingan dakwah islamiyah di wilayah Kadilangu sudah menuntut adanya bangunan masjid untuk tempat ibadah berjamaah sekaligus untuk mendidik umat.
Kontruksi bangunan Masjid Kadilangu secara arsitektur nyaris memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Demak yang dapat dilihat dari ciri khas bangunan yang berbentuk joglo, atapnya limasan bersusun tiga, yang memiliki makna khusus yakni melambangkan arti Iman, Islam, dan Ikhsan. Genting atap terbuat dari sirap kayu jati dan di depan bangunan induk ada serambi. Didalam Masjid maghrib pengimaman diatasnya terdapat gambar surya majapahit yang merupakan simbol kebesaran Kasultanan Demak Bintoro.
Kilas balik proses transformasi dari langgar menjadi Masjid yang hingga kini telah berusia berabad abad, namun kontruksi dan bahan bangunan masih nampak masih kuat. Secara umum Masjid ini masih berdiri dengan kokoh dan sangat tetawat sekali hal ini tentu karena masih dilakukan pemeliharaan dan perawatan secara kontinyu oleh takmir Masjid dibawah naungan Yayasan Sunan Kalijogo,. Didalam maupun diluar bangunan Masjid diyakini masih terdapat banyak bagian-bagian masjid yang dianggap sudah ada pada masa Kanjeng Sunan Kalijogo yang masih bisa kita jumpai saat ini misalnya dua buah beduk yang berfungsi sebagai penanda masuk waktu shalat. Dari dua beduk itu salah satunya yang berada di sebelah kiri masjid merupakan peninggalan Kanjeng Sunan Kalijogo. Bedug bersejarah itu hingga saat ini masih kuat dan terlihat kokoh. Setelah melihat serambi, di ruangan utama masjid terdapat tiang soko guru atau tiang masjid yang berjumlah empat buah semuanya masih asli dan terbuat dari kayu jati.
Arsitektur Masjid Sunan Kalijogo Kadilangu Demak adalah perpaduan antara nilai sakral dan profan. Lenskap bangunan Masjid ini terbagi menjadi ruangan yang tidak bersifat duniawi (sakral) dan ruangan yang bersifat duniawi (profan). Ruang yang (bukan duniawi) adalah liwan dan pawestren. Sedangkan ruang duniawi adalah pawestren dan serambi. Hal itu yang menjadikan bangunan masjid ini menjadi sakral sekaligus profan.
Bangunan masjid Sunan Kalijogo Kadilangu menjadi sakral dan profan karena sejak dari bahan, arsitektur, karpet, menara dan seluruh wujud fisiknya adalah fenomena budaya yang ditempatkan sebagai bangunan suci sebagai instrumen keagamaan. Sakral berkait dengan keyakinan dalam ritual keagamaan, sedangkan profan adalah entensitas kebudayaan. Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi pada praktik dan kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral dan yang profan, antara agama dan budaya. Hal ini bisa kita lihat dari arsitektur Masjid Sunan Kalijogo Kadilangu Demak yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kisah keteladanan Wali Suci Ing Tanah Jawi Kanjeng Sunan Kalijogo.
————————————————————————————
Ikhtiar mengejar keutamaan sholat tarawih dimalam ke lima di Masjid Sunan Kalijogo Kadilangu Demak yang merupakan lenskap bangunan berarsitektur sakral sekaligus profan maka paling tidak kita bertiga dapat menjalankan ibadah sholat tarawih berjamaah secara khusyu. Dimensi sakral nan profan bangunan Masjid Sunan Kalijogo Demak akan membuat ibadah sholat menjadi khusyu. Perihal sholat khusyu sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (Q.S Al-Mu’minuun: 1-2).
Semoga dengan menjalankan Ibadah Sholat tarawih malam kelima (5) di Masjid Sunan Kalijogo Kadilangu Demak, Jawa Tengah akan memperoleh fadilah sebagaimana pahalanya orang yang sholat di Masjidil Harom, Masjid Madinah atau Nabawi, dan Masjidil Aqsha.
Semoga bermanfaat!
Demak, 8/4/22
————————————————————————————
Daftar Bacaan
1. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok : Pustaka IIMAN, 2012
2. Abdul Baqir Zain, Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press. 1999
3. Muh. Sidiq HM, Redaktur: Tori Nuarizajarah Masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak
https://islamtoday.id
4. Umar Hasyim. Sunan Kalijaga, Kudus : Menara Kudus. 1990
5.https://ganaislamika.com/ziarah-makam-wali-5-sunan
6. Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi, Kitab Durratun Nashihin (Mutiara Nasihat).
————————————————————————————
* Tulisan disusun untuk memumunguti susunan puzle yang berserak dalam perjalanan mencari keutamaan Sholawat Tarawih pada bulan Romadhon 1443 H.
** Penulis adalah santri kilat sehari hari tinggal di Desa.
Berita dengan Judul: Mengejar Keutamaan Shalat Tarawih Malam Kelima di Masjid Sunan Kalijogo Kadilangu Demak pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : Jarkoni