Naftali Bennett sejak 13 Juni 2021 resmi menjadi perdana menteri baru Israel, melengserkan Benjamin Netanyahu yang telah berkuasa 12 tahun. Perubahan kekuasaan di Israel terjadi, setelah partai-partai oposisi memilih bersatu, untuk mengakhiri dominasi Partai Likud di parlemen.
Koalisi multipartai itu, mencakup partai sayap kanan Yamina, partai moderat Yesh Atid yang mendukung opsi perdamaian dengan Palestina, hingga partai Arab-Israel Raam yang pemilihnya minoritas muslim di Negeri Zionis. Dalam pemungutan suara di Knesset (parlemen Israel), berbekal selisih satu suara (60-59), koalisi delapan partai itu sukses menjungkalkan Likud sekaligus Netanyahu dari eksekutif.
Bennett, politikus 49 tahun, menjadi PM dengan perjanjian menjabat hingga September 2023. Selanjutnya, jabatan perdana menteri akan dirotasi ke Yair Lapid, pemimpin Partai otak dari koalisi ambisius yang sukses melengserkan Netanyahu. Problemnya, Bennett bukan sosok yang dikenal hendak mencari solusi untuk mengakhiri konflik abadi dengan Palestina.
Beberapa tahun lalu, Bennett dalam pidato terbuka pernah menyebut “tidak pernah ada negara yang bernama Palestina”. Argumen itu dia ucapkan pada 2013, untuk menjustifikasi pendudukan paksa pendatang Yahudi di tanah-tanah yang sebetulnya milik orang Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem.
Bennett bahkan pernah menjadi kepala staf kabinet Netanyahu pada 2006 sampai 2008, tapi kemudian mereka berdua pecah kongsi. Bennett mengklaim punya pandangan nasionalis yang lebih keras dari Netanyahu.
Pemerintah Otoritas Palestina yang menguasai Tepi Barat menolak berspekulasi soal urusan politik dalam negeri Israel. Mereka fokus memperjuangkan pengakuan internasional bahwa Palestina berhak atas wilayah mereka, termasuk penetapan Yerusalem Timur sebagai ibu kota warga Arab.
Sementara Hamas juga tidak yakin koalisi moderat yang menyokong Bennett akan membuat sang PM mengubah kebijakan Israel. Belum sebulan berlalu sejak Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata setelah Gaza porak poranda akibat serangan militer Zionis.
Warga Gaza juga menuding Bennett tidak ada bedanya dari Netanyahu, mengingat dia sendiri berlatar belakang politikus ultranasionalis.
Di tengah perubahan politik Israel itu, koresponden VICE News, Hind Hassan, berusaha melaporkan berbagai perkembangan situasi di Yerusalem dan Gaza. Akar masalah yang memicu serangan ke Gaza pada Mei 2021 masih belum tuntas. Yakni penggusuran permukiman warga Palestina di Yerusalem secara semena-mena. Penggusuran puluhan rumah itu yang jadi ujung pangkal konflik terbaru Palestina-Israel.
Jubir koalisi Bennett sendiri mengaku pemerintahan sang PM baru belum akan fokus ke isu Palestina, tapi lebih ke mengurus berbagai isu dalam negeri israel terlebih dulu. Sebab, Netanyahu dianggap sudah terlalu korup dan otoriter.
Selain itu, Likud meski menang pemilu pada Maret 2021, gagal menjadi mayoritas di parlemen. Alhasil stabilitas politik Israel terganggu karena harus ada pemilu lagi. Momen itulah yang dimanfaatkan koalisi delapan partai untuk menyingkirkan Netanyahu. Presiden AS Joe Biden sudah mengucapkan selamat pada Bennett dan mengaku siap bekerja sama untuk menjaga situasi kondusif Timur Tengah.
Simak podcast berisi laporan Hind Hassan mengenai situasi terbaru di Palestina lewat tautan berikut: